Rabu, 26 November 2008

Esai

Kota dan Dusta
oleh Marwanto
(Kompas (halaman Yogyakarta), 26/11/2008)

Kota adalah lanskap dimana setiap anasir di dalamnya selalu bergerak, dinamis, dan penuh mobilitas. Orang-orang yang berjalan kaki selalu terlihat lebih cepat dari yang kita temui di jalan-jalan pedesaan. Kalaupun ada pejalan kaki yang terlihat lamban di jalan-jalan kota, mereka pasti seorang pengemis atau pemulung yang menjadi korban ritme hidup perkotaan. Atau dua sejoli yang kasmaran dan sedang melupakan hiruk-pikuk keramaian sekitar.
Namun kota juga bisa hadir (dan kita pandang) sebagai bentangan ribuan etalase Yang membuat kita diam, tertegun, dan bengong. Kota mendorong kita untuk berkhayal. Kota adalah gudang ilusi, seperti setting sebagian besar sinetron televisi kita. Meskipun kota sebagai sesuatu yang dicitakan, ia masih membuat kita --masyarakat kebanyakan-- tertegun dan bengong.
Sehingga tak berlebihan jika para pemikir melihat kota adalah konsekuensi fisik dan sosial sekaligus dari kapitalisme. Kapitalisme, dengan industrialisasi sebagai “mesinnya”, secara psikologis memang menghadirkan khayal. Tidak saja gedung-gedung pencakar langit, tower yang menjulang, serta jalan tol mulus, tapi juga papan reklame dan ribuan etalase yang mendorong manusia menciptakan khayal. Lalu, reaksi yang bagaimana yang jamak ditempuh manusia dalam kondisi demikian ?
Ketika orang kampung dari pedalaman Gunung Kidul atau Kulon Progo jalan-jalan di Malioboro dan memandang gemerlap reklame (Dian Sastro yang mengiklankan sabun misalnya), ia sejatinya tak hanya berhenti menatap seorang Dian Sastro. Di dalam file-file otaknya lambat laun terbentuk citra tentang ide kecantikan yang sempurna, yang diidamkan. Kebetulan yang hadir saat itu adalah Dian Sastro.
Maka saat ia pulang kampung, lahirlah trend meniru apa yang dipakai dan dilakukan artis tadi. Kalaupun ia tak secantik Dian Sastro, ia cukup bangga saat menggosokkan sabun yang dipakai Dian Sastro. Itulah reaksi kebanyakan orang dalam menghadapi konsekuensi kapitalisme. Dalam ketakmampuan, orang masih bisa menghibur diri: dengan ilusinya mencipta imej atau citra dalam kesemuan (pseudo). Ironisnya, kesemuan itu acapkali dipandang sebagai realitas dan dijadikan dasar tindakan.
Meski menimbulkan ironisme, tapi kapitalisme memang tak seharusnya dilawan secara membabi-buta: dengan perusakan dan pengeboman tempat hiburan misalnya. Kapitalisme justru bisa menjadi salah satu sparing patner manusia untuk menegakkan eksistensinya. Dalam konteks ini, maka cukup masuk akal jika ada usulan bahwa untuk menunjukkan keistimewaan Yogyakarta perlu mentransfer semangat kepeloporan keraton dan keberanian rakyat Yogya dalam menentang kolonialisme masa lalu untuk menghadapi neo-kolonialisme baru: globalisasi dan ekspansi pasar atau liberalisasi, wajah lain kapitalisme.
Manakala kita gagal menjadikan kapitalisme sebagai sparing patner, kita hanya akan menjadi bagian dari ekornya. Padahal kapitalisme, dengan “kultur kota” sebagai salah satu penampakannya (menurut Nikolai Gogol dalam salah satu cerita pendeknya) adalah bohong selamanya. Sebuah “kota” adalah seribu ilusi, sekaligus dusta yang memikat.***

Jumat, 21 November 2008

OPINI

Obsesi Menjadi PNS
Oleh Marwanto
(Radar Jogja, 21/11/2009)

Pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kembali dibuka. Kabar ini segera disambut antusias oleh banyak pihak di negeri ini –suatu fenomena yang menunjukkan bahwa status sebagai PNS masih menjadi obsesi sebagian besar masyarakat kita. Pertanyaannya, mengapa di era sekarang status PNS masih diminati sebagian besar masyarakat?
Pertanyaan tersebut akan menghantarkan kita pada telaah mengenai sejarah panjang birokrasi di negara ini. Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya Demokrasi dan Budaya Birokrasi, menjelaskan untuk memahami birokrasi di negara kita perlu disimak tiga fase perkembangannya. Tiga fase tersebut meliputi: masa kerajaan, masa kolonial dan masa negara nasional. Dari sini diketahui bahwa corak (kultur) birokrasi kita saat ini merupakan warisan birokrasi model kerajaan –terutama kerajaan agraris.
Pada zaman kerajaan, kedudukan birokrasi disebut dengan nama abdi dalem, sebuah istilah yang lebih berorientasi melayani raja daripada rakyat. Dalam perjalanan waktu, para abdi dalem ini menjadi kelas sosial tersendiri yang berbeda dari masyarakat kebanyakan. Apalagi, kedudukannya kemudian diperkuat dengan berbagai atribut yang diperoleh dari kerajaan, misalnya dengan diberi pangkat atau gelar..
Fase kedua, ketika penjajah datang (masa kolonial), birokrasi dikenal dengan sebutan priyayi atau ambtenaar. Sama halnya dengan abdi dalem, priyayi juga mempunyai kedudukan/satuts yang istimewa dalam masyarakat. Selain itu, para priyayi juga sering menempatkan dirinya sebagai bagian dari kekuasaan kolonial, sebagaimana para abdi dalem menganggap dirinya bagian dari kekuasaan kerajaan.
Terakhir, ketika negara nasional terbentuk, birokrasi kita dikenal dengan nama pegawai negeri. Sama seperti dua masa sebelumnya, pegawai negeri juga memiliki strata sosial yang khusus dibanding masyarakat kebanyakan. Kalau kita simak berbagai kegiatan (hajatan) yang ada di masyarakat sekitar, maka akan selalu melibatkan orang yang dianggap terpandang. Dan salah satu segmen dari orang terpandang tersebut adalah mereka yang berstatus sebagai PNS ! Jadi, meski telah ada berbagai perubahan (reformasi) di negeri ini, sama seperti abdi dalem maupun priyayi, pegawai negeri juga acapkali mengidentikan dirinya bagian dari kekuasaan (status-quo).
Menyimak sejarah birokrasi kita yang amat panjang tersebut, ada satu benang merah yang dapat ditarik: bahwa kedudukan atau status sebagai birokrat sering diidentikan dengan menjadi bagian dari sebuah kekuasaan. Dan menjadi bagian dari kekuasaan, di manapun dan kapapun (terutama pada masa sulit atau tak menentu seperti saat ini) akan membuat seseorang merasa aman atau terjamin hidupnya.
Keyakinan seperti ini terutama akan diterima dengan sangat baik (taken for granted) oleh mereka yang memiliki mentalitas agraris. Sesuatu yang nyata-nyata bertolak belakang dari mentalitas (jiwa) wiraswasta –yang meski bisa membuat orang bebas (mandiri) berusaha, tapi penuh spekulasi dan kondisi yang tak pasti. Sementara seperti kita ketahui, saat ini mayoritas masyarakat kita masih bermental agraris. Itulah mengapa setiap ada lowongan CPNS selalu disambut antusias oleh masyarakat.
Kondisi ini sebenarnya bisa kontra-produktif bagi perjalanan bangsa ke depan. Sebagaimana kita tahu, waktu-waktu mendatang bersamaan dengan diberlakukannya pasar bebas yang berdampak makin ketatnya persaingan hidup (berusaha), tentu akan menuntut hadirnya orang-orang yang berjiwa atau punya mentalitas berwiraswasta. Orang-orang yang mandiri, kreatif, tangguh, dan tahan banting. Pendek kata, generasi yang tak hanya bersandar atau menggantungkan hidupnya pada pemerintah (negara).
Tentu obsesi dan pilihan hidup menjadi seorang pegawai negeri adalah sah-sah saja. Namun satu hal yang harus dicatat: ketika obsesi menjadi pegawai negeri hanya karena dilandasi ingin hidupnya aman, tak kena PHK, meski malas kerja tetap dapat gaji, dan dekat dengan kekuasaan, maka disitulah telah tertanam benih bagi timbulnya patologi (penyakit) birokrasi. Mengapa? Sebab kinerja birokrasi akan lebih berorientasi ke atas (kekuasaan) daripada ke bawah (melayani rakyat).
Dari penelitian (untuk keperluan skripsi) yang pernah saya lakukan menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan munculnya patologi birokrasi, sebagian besar karena orientasi aparatur negara lebih kepada melayani atau membuat senang kekuasaan daripada memberi layanan yang memuaskan pada publik. Dengan kata lain, semboyan abdi negara lebih ditonjolkan dibanding abdi masyarakat
Semoga seleksi penerimaan CPNS kali ini mampu menghasilkan para aparatur negara yang benar-benar beriktikad memberi layanan pada publik daripada sekedar membuat senang kekuasaan. Untuk mencapai tujuan ini, maka harus dimulai dengan transparansi rekruitmen PNS !***

Selasa, 11 November 2008

OPINI

Masih Adakah Sosok “Pahlawan”?
Oleh Marwanto
(Kedaulatan Rakyat, 11 /11/2008)

Tak ada lencana yang lebih menawan dalam kebudayaan nasional modern daripada monumen-monumen dan makam-makan para tentara yang tak dikenal. Sekalipun makam tersebut menyimpan peninggalan mati yang tak dikenal atau jiwa-jiwa kosong, bagaimanapun makam-makan tersebut telah dipenuhi dengan khayalan nasional yang menghantui.

Paragraf di atas merupakan pendapat Benedict Anderson yang saya kutip dari buku karya Ross Poole, Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme (1993: 119). Lewat pendapat tersebut, tentu Ben Anderson tak sedang memuja seonggok benda mati bernama monumen. Tidak pula memuja kegagahan seorang tentara. Namun satu hal pasti: bagaimanapun epos kepahlawanan telah menjadi salah satu “ruh” dalam episode sejarah sebuah bangsa. Pembicaraan sejarah suatu bangsa tak akan lengkap tanpa membicarakan para pahlawan. Pada akhirnya, sosok pahlawan telah dan selalu menghantui perjalanan sebuah bangsa.
Maka, tak mengherankan jika dalam tiap periode sejarah dari sebuah negara-bangsa, banyak orang ingin tampil sebagai pahlawan. Tentu, seiring dengan perubahan jaman, maka makna dan sosok pahlawan akan selalu mengalami perubahan. Dulu, orang yang disebut pahlawan adalah mereka yang berjasa dalam pertempuran mengusir penjajah atau menghantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan. Lalu, di jaman sekarang ini, siapakah yang pantas disebut pahlawan ?
Tak mudah menjawabnya. Tapi yang pasti, dari dulu hingga sekarang, seorang pahlawan itu berangkat dari nilai. Pahlawan berjuang dan berkorban untuk menegakkan nilai. Nilai apakah yang ingin ditegakkan oleh seorang pahlawan ? Dari orang-orang bijak kita tahu jawabnya adalah nilai keadilan. Perjuangan dan pengorbaan pahlawan berujung pada terciptanya keadilan bagi umat manusia di muka bumi. Atas dasar titik pijak inilah, maka para pahlawan kita di jaman revolusi memperjuangkan kemerdekaan karena --seperti disebutkan dalam preambule konstitusi kita-- penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Jika kita selidiki lebih jauh, sejatinya keadilan sebagai sebuah nilai merupakan muara dari tiga nilai yang dalam kajian moralitas sering disebut sebagai “ide agung”. Prof Mortimer Jerome Adler dalam karyanya yang telah menjadi klasik The Great Ideas: A Syntopicon of Great Book of The Western World, 1952) menguraikan penyelidikannya tentang “ide agung” tersebut. Menurutnya, setidaknya ada tiga ide agung yang menyangga perdaban manusia, yakni: kebenaran, kebaikan dan keindahan. Nah, dengan tergelarnya tiga ide agung tersebut dalam praktik kehidupan sehari-hari maka dapat dipastikan keadilan juga telah maujud dalam kehidupan.
Dari kajian pustaka di atas, maka jika seseorang telah berjuang untuk menegak-kan kebenaran, kabaikan, dan keindahan demi terwujudnya keadilan di muka bumi maka ia sudah bisa disebut sebagai sosok pahlawan. Namun dalam aplikasinya ternyata amat sulit untuk melihat atau menemukan sosok penegak keadilan. Hal ini karena dalam menegakkan keadilan selalu disertai sebuah pertanyaan: keadilan untuk siapa ? Terlebih ketika rasa kebangsaan kita mulai pudar, maka perjuangan untuk menegakkan nilai menjadi amat partikular sifatnya. Dengan kata lain, menegakkan nilai untuk kepentingan bersama sebagai bangsa menjadi sesuatu yang amat mahal dan jarang (untuk tidak menyebut mustahil) untuk diperjuangkan.
Sebagai contoh kecil, seorang yang ingin memberantas kasus korupsi, tapi kebetulan pelakunya itu ada hubungan (entah kerabat atau kolega) dengan yang hendak memberantas maka tentu akan berpikir dua kali. Alih-alih menegakkan keadilan dengan memberantas korupsi, yang terjadi malah berusaha dengan segala cara (baik secara legal maupun kekuatan politik) untuk menghalang-halngi tindak pidana korupsi tersebut.
Alhasil, yang kemudian terjadi adalah munculnya pahlawan-pahlawan bagi suatu kelompok. Padahal, selain berangkat untuk menegakkan nilai, konsep kepahlawanan juga berangkat dari rasa senasib-sepenanggungan. Perjuangan dan pengorbanan tanpa dilandasi rasa senasib-sepenanggungan hanya akan melahirkan heroisme semu. Heroisme semu inilah yang kini sedang melanda kehidupan di tanah air.
Apalagi ketika salah satu buah dari reformasi politik di negeri kita meng-amanatkan jabatan publik dipilih secara langsung oleh rakyat, maka upaya untuk tampil dengan haroisme semu kian menjadi-jadi. Dalam konteks ini, heroisme cuma disepadankan dengan satu kata: popularitas ! Lihatlah, dari pemilihan presiden sampai kepala desa, maka faktor pertama-tama untuk mendulang suara adalah popularitas. Tentu tidak ada salahnya dengan faktor popularitas, namun yang amat disayangkan adalah popularitas itu acapkali sekedar citra (atau ‘tebar pesona”) yang dibuat lewat media massa dan kurang berhubungan dengan kualitas, terlebih kinerja dari seseorang.
Dari realita itulah maka kini sosok pahlawan telah mengalami pendangkalan makna. Sudah pasti pendangkalan makna kepahlawanan ini menerbitkan sejumlah dampak negatif. Salah satunya adalah sulitnya bangsa ini melakukan perubahan. Ya, karena masing-masing orang hanya mau jadi pahlawan buat kelompoknya atau memikirkan hal-hal yang membuat dirinya supaya tetap populer meski kinerjanya payah.
Di jaman yang serba sulit dimana kohesi sosial kita sebagai bangsa belum sepenuhnya pulih, memang sulit memunculkan sosok pahlawan “sejati”. Pahlawan yang berjuang dan berkorban untuk menegakkan nilai dengan dilandasi rasa senasib-sepenanggungan dan buat kepentingan bersama. Tapi, diantara ribuan orang yang tampil sebagai pahlawan (semu), niscaya suatu saat akan muncul sosok pahlawan sejati. Cuma, pertanyaan yang selalu mengusik kita, kapan ia akan muncul memperbaiki kondisi bangsa kita?***

Kamis, 30 Oktober 2008

STOP PRESS !!!

Masuk KPU, Tunda Terbitkan Buku
(Kedaulatan Rakyat, 30/10/2008)

LANTARAN dilantik menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kulonprogo periode 2008-2013, cerpenis dan penyair Marwanto terpaksa menunda rencana menerbitkan buku antologi cerpen-nya. Buku antologi cerpen yang sedianya akan diberi judul ‘Hujan Telah Jadi Logam’ tersebut sebenarnya sudah disodorkan ke sejumlah penerbit. Perihal rancangan buku tersebut, ia mengatakan seorang teman dekatnya menyarankan untuk menghilangkan 2 judul dari 16 judul cerpen yang akan dimuat. “Hingga kini belum fix, antologi cerpen tersebut akan berisi 16 atau 14 judul,” kata Marwanto, Sabtu (25/10). Penulis yang pernah bekerja sebagai Manajer Koperasi Serba Usaha (KSU) di Bank Pasar Wates tersebut menjelaskan bahwa padatnya pekerjaan di KPU mengharuskan dia untuk rehat beberapa saat dari aktivitas menulis. “Saya hanya mengurangi intensitas, bukan berhenti menulis”, tandas Koordinator Lumbung Aksara ini. Ia juga mengaku masih akan menyisakan waktunya untuk menggelorakan kegiatan sastra di Kulonprogo lewat komunitas ‘Lumbung Aksara’. (Cdr)-g

Minggu, 05 Oktober 2008

CERPEN

Teriakan Menjelang Lebaran
Cerpen MARWANTO
(KORAN MERAPI, 28/9/2008)

Pada awalnya Miskinem ragu menerima tawaran Tuan Suryo untuk menjadi pembantu di rumahnya. Sebab selama ini ia telah menjalani profesinya dengan senang hati. Profesi sebagai pencari barang rongsokan yang dilakoninya sebelum mengenal Surip, sang suami. Meski tak menghasilkan banyak uang, tapi pekerjaannya itu mendatangkan banyak sedulur alias kenalan. Bagaimana tidak, dalam sehari ia selalu mengayuh sepeda ontel berpuluh-puluh kilometer untuk mendatangi minimal tiga puluh rumah.
Karena itu Miskinem tak bisa membayangkan kalau nanti harus beralih profesi sebagai pembantu rumah tangga. Tentu hari-harinya hanya akan dilalui di dalam kungkungan tembok tinggi ala penjara. Tapi, dalam setiap kesempatan, Surip selalu mendesak isterinya. Dalam benaknya, profesi pembantu lebih menjanjikan kesejahteraan keluarga dibanding mencari barang rongsokan.
“Tidak kau pikirkan lagi tawaran Tuan Suryo itu, Mak ?”
“Apa sih enaknya jadi pembantu ?”
“Lho, kamu itu gimana to, ya jelas enak ! Tuan Suryo itu kan orang kaya. Pokoknya, ikut orang besar itu akan kena sawab sukses.”
“Ah, mbok jangan mengada-ada. Pembantu ya pembantu.“
“Yang pasti, kamu tidak terlalu capek seperti sekarang. Ya, ndak?”
“Meski capek, aku senang menjalaninya.....”
“Itu sekarang ! Apa sampai tua kamu akan keliling desa terus ?”
Inem mencoba mengerti jalan pikiran suaminya. Ia membayangkan masa depannya: saat tubuhnya sudah renta, apa akan kuat mengayuh sepeda berpuluh kilometer. Ah pasti sudah banyak penyakit menggerogotinya tubuhnya. Hati Inem mulai goyah.
Sampai akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya Tuan Suryo mendatangi keluarga itu, hati Inem luluh juga. Keberangkatan Inem dilepas suaminya dengan harapan akan memperbaiki nasib keluarga. Gatot, anak satu-satunya yang masih kelas lima, terlihat sedih saat emaknya melambaikan tangan dari dalam mobil sedan yang membawanya.
“Jangan sedih Tot! Besok kalau Emakmu pulang, kau pasti dibawakan sepatu bagus.......”
***
Sehari dua hari Inem masih agak kaku menjalani profesi barunya. Benar, yang ia rasakan pertama kali adalah rasa sumpek. Sejauh mata memandang hanya dinding-dinding yang terkesan angkuh dan kaku. Sehabis jam tujuh pagi, rumah yang besar dengan halaman seluas lapangan bola itu pasti telah lengang. Tuan Suryo, sebagai direktur utama di sebuah perusahaan real-estate, telah menuju kantornya yang berada di pusat kota. Sementara isterinya, Nyonya Lis, pergi mengantar Bagas ke sekolah. Wanita enerjik yang aktif diberbagai yayasan itu baru akan pulang selepas jam dua siang.
Praktis Inem hanya berteman dengan televisi dan Pak Jo, satpam di rumah itu. Tapi karena Pak Jo kurang familier diajak bicara, Inem jarang bertukar sapa dengan lelaki itu. Akhirnya, sehabis mencuci dan memasak Inem hanya berteman televisi. Satu-satunya teman ngobrol yang bisa diharapkan adalah kalau ada pedagang sayur keliling lewat. Itupun tak seberapa, cuma sekitar lima menit. Juga, kalau pas ada pencari barang rongsokan datang. Saat ada pencari barang rongsokan itulah Inem sering teringat masa lalunya.
“Enak ya Dik Nem, jadi pembantu orang kaya itu. Kerjanya ndak terlalu capek, tapi gajinya gedhe. Tiap hari makannya bergizi, tidurnya nyaman”.
“Ah, Mbakyu ini. Ya..... enakan seperti sampeyan itu to Yu Mur ...”
“Apa enaknya orang yang seharian penuh cuma keliling kampung ?”
“Ya enak, kan bisa bebas kesana kemari, mengenal banyak orang.....”
“Wah, berarti benar ya kata orang tua dulu. Urip ki mung sawang sinawang....”
“Dan enakan yang nyawang to daripada disawang atau nglakoni..?”
Mereka tersenyum, lalu tertawa kecil. Inem merasa terhibur sekali. Ia tak menyangka kalau pertemuannya dengan tukang rongsokan di siang itu justru menjadi awal kemarahan nyonya rumah. Sore harinya, setiba di rumah, Nyonya Lis kaget mengetahui ada termosnya yang raib. Inem mengaku kalau ia menjualnya ke pedagang rongsok.
“Kok berani-beraninya kamu menjual termos itu Nem ?”
“Kan sudah tidak panas lagi buat nyimpan air Nyonya.....”
“Itu berarti tinggal mengganti kacanya, dengan ongkos sepuluh ribu. Kalau beli yang baru, kan paling tidak dua puluhlima ribu. Jadi termos bekas itu seharusnya masih berharga limabelas ribu. Hayo.... tadi kamu menjualnya berapa ?”
Inem tertunduk. Jelas termos bekas itu tak laku dijual lebih dari lima ribu. Ia tak menyangka Nyonya Lis punya tabiat seperti itu: pelit dan perhitungan. Lain waktu, katika Inem membersihkan gudang, matanya melihat sepatu bekas milik Bagas. Ingatan Inem langsung tertuju pada Gatot, yang beberapa waktu lalu merengek minta dibelikan sepatu. Tapi, ketika Inem bermaksud membawa sepatu itu, Nyonya Lis memergokinya.
“Buat apa sepatu itu Nem ?”
“Anu Nyonya.... buat Gatot. Sepertinya Mas Bagas sudah tak memakainya lagi...”
“Enak saja, kan bisa dijual ke pedagang rongsokan. Simpan di gudang lagi sana !”
Sejak itu Inem tak berani minta barang apapun di rumah itu. Pengalaman terakhir yang paling membuat Inem sakit hati adalah saat membeli sayur dalam jumlah besar.
“Nem, kok banyak amat kamu beli sayur hari ini?”
“Anu Nyonya, tukang sayur itu bilang kalau besok mau libur”.
“Lho..... kamu kan bisa beli di pasar”.
“Maksud saya, daripada harus jalan ke pasar....”
“Eee...jadi kau pikir di sini cuma disuruh untuk duduk-duduk ?!”
***
Baru sebulan Inem jadi pembantu, tapi serasa setahun berlalu. Tubuhnya memang tidak lelah, tapi batinnya letih dan pecah. Di akhir bulan, Inem pulang menengok keluarganya sambil membawa gaji bulanan. Setiba di rumah, Inem mengadu pada Surip, suaminya. Tapi lelaki yang sehari-harinya kerja di bengkel itu menanggapinya dingin.
“Ah, biasa...”
“Biasa bagaimana maksud Bapak ini ?”
“Sebagai pengatur keuagan rumah tangga, Nyonya Lis memang harus begitu, perhitungan !”
“Ini bukan perhitungan lagi namanya, tapi pelit !”
“Mak, Mak, kamu cuma belum terbiasa saja. Mana ada kerjaan yang tanpa resiko. Oya, jadi kamu bawakan sepatu ndak Si Gatot ?”
“Boro-boro sepatu Pakne, damprat Nyonya Lis yang kudapat !”
Di bulan-bulan berikutnya, saat pulang, Inem selalu mengadu hal serupa pada suaminya. Tapi Surip selalu bilang “Ah, kamu cuma belum terbiasa“. Ini membuat Inem jengkel. Dan di bulan keenam, Inem merasa sudah tak kuat lagi. Ia mendesak suaminya untuk menemaninya pamit dari rumah Tuan Suryo.
“Wis tok pikirke sing wening, Mak ?”
“Sudah ! Aku sudah tak kuat lagi.”
Kening Surip berkerut lusuh. Matanya menerawang jauh. Impiannya merubah nasib dengan mengabdi pada orang besar punah sudah.
“Baik kalau memang niatmu sudah bulat. Aku tak bisa memaksa. Tapi mbok ditunggu sehabis lebaran. Biar nanti bisa padang-padangan semuanya. Mungkin selama ini Tuan Suryo tak mengetahui kalau Nyonya Lis bersikap keterlaluan padamu. Dan, siapa tahu sehabis Ramadhan Nyonya Lis berubah sikap. Kan tujuan puasa membuat orang tambah bertaqwa, tambah baik perilakunya. Itu yang kudengar di ceramah-cermah lho Mak.”
Inem mengangguk. Ia juga berharap, saat lebaran nanti ada sedikit uang ekstra atau THR (Tunjangan Hari Raya) dari majikannya.
“Apalagi Tuan Suryo itu orangnya baik, ya kan Mak ?”.
Inem mengangguk lagi. Keyakinan Inem akan kebaikan Tuan Suryo kini terbukti. Saat bulan puasa tiba, di rumah Tuan Suryo seminggu sekali diadakan buka bersama untuk anak-anak miskin. Bahkan di minggu terakhir, anak-anak itu diberi bingkisan yang berisi sarung, baju muslim, dan peci.
Sehari menjelang idul fitri tiba, Inem pamit untuk merayakan lebaran bersama keluarga.
“Barang empat atau lima hari saja Tuan”, Inem berkata sambil menunduk. Lalu pandangannya melirik ke arah Nyonya Lis dan meneruskan permintaannya: “Bisa kan Nyonya ?”
“Baiklah. Tapi kamu tahu sendiri kan, sekarang lagi jaman susah. Harga-harga melonjak tak karuan. Jadi untuk tahun ini dengan terpaksa kami tak bisa memberimu THR. Hanya uang bulanan seperti biasanya”, kata Nyonya Lis ketus –belum menunjukkan perubahan sedikitpun meski telah sebulan berpuasa. Tapi kata-kata Nyonya Lis itu segera ditimpali suaminya.
“Mam....! Em, begini Nem, kalau sekedar buat anakmu Gatot, kami masih ada sekedar oleh-oleh......”
Wajah Nyonya Lis mendadak masam. Ia menggeser duduknya, menjauhi suaminya yang selalu bersikap penuh belas kasihan.
“Mam, tolong ambilkan sisa bingkisan yang kita bagikan kemarin !”
“Kan sisa itu sudah dijatah buat anak-anak yayasan !”
“Sampun Tuan, sampun. Uang bulanan ini sudah cukup buat lebaran kami.”
Setelah mohon diri, dengan langkah gontai, Inem meninggalkan majikannya. Dalam benaknya ia terus berhitung: gaji bulanan itu memang baru cukup untuk menutup lumbung. Ia tak tahu uang dari mana buat membelikan baju dan sepatu anaknya. Namun, saat Inem sampai di pintu pagar, Tuan Suryo mencegatnya dengan raut muka hingar.
“Nem, ini ada sedikit uang buat Gatot, sebagai ganti bingkisan itu”.
Wajah Inem mendadak berseri, melihat Tuan Suryo mengeluarkan uang seratusan ribu – THR yang ia nanti..
“Matur nuwun sanget, terima kasih sekali Tuan”
Dalam perjalanan pulang hati Inem bernyanyi riang. Sampai alpa suasana dalam bus yang begitu padat, penuh tangan jail yang kesana-kemari mengemban muslihat. Setelah turun dari bus, mendadak tubuh Inem gemetar. Tangannya menggeledah mencari uang seratusan ribu dari Tuan Suryo. Saku, tas, dan bungkusan lainnya sudah ia periksa, tapi nihil alias tak beroleh apa-apa.
Dari kejauhan teriakan Gatot yang diiringi suara bedug menjelang Lebaran tiba sangat nyaring menyambut kedatangan Miskinem: “Mak,...sepatu baruuuu ....!!!.”***

Minggu, 27 Juli 2008

ESAI

Rindu Rumput Halaman

(KOMPAS (Halaman YOGYA), 23 /06/2008)
Beberapa waktu lalu saya dan sejumlah penulis dari Kulonprogo berkunjung ke rumah (baca: kamar kos) penyair Iman Budhi Santosa di Dipokusuman. Ada dua hal yang menjadi ciri menonjol kos-kosan Mas Iman: pohon sawo yang cukup besar menjulang tinggi dan halamannya yang luas. Ya, halaman berupa tanah yang kalau hujan datang pasti becek tak terelakkan.
“Saya sengaja memilih halaman yang tidak ber-konblok”,
“Lho, bukannya halaman yang ada kon-bloknya akan terlihat rapi dan bersih?”
“Iya, memang. Tapi, masa’ rumput saja dilarang tumbuh….” demikian Mas Iman berdalih pada kami.
Rumput. Jenis tumbuhan ini memang masih bisa tumbuh di halaman rumah-rumah perkotaan, meski halaman tersebut berkon-blok. Sebab, rumput akan dengan jeli tumbuh diantara himpitan kon-blok atau dimana saja area yang memungkinkan ia tumbuh. Tapi, saya kira tidak demikian maksud pernyataan Mas Iman. Apa yang dikatakan Mas Iman seakan sedang “mengoreksi” pemahaman kita akan kecintaan terhadap tanaman.
Ya, sejak booming tanaman (hias) beberapa waktu lalu, hampir tiap orang beramai-ramai “mencitai tanaman”. Rumah-rumah disulap dan dipenuhi aneka tanaman hias. Lalu ada imej: bahwa rumah beserta penghuninya sedang ramah lingkungan dengan banyaknya aneka tanaman (hias) dijejer di halaman sampai ruang tamu. Tapi, benarkah mereka benar-benar mencintai tanaman? Bukankah dengan “melarang” rumput tumbuh di halaman dengan memasang kon-blok, kita sejatinya mengekang tanaman?
Mencintai memang tidak gampang. Begitu juga mencintai tanaman dan lingkungan. Salah-salah, yang kita lakukan adalah menegakkan ego: mereka (tanaman) kita perlakukan sebagai objek penderita demi kesenangan dan hobi kita semata. Di sisi lain, hak tumbuh mereka secara wajar terus kita kebiri bahkan kita sumbat dan kekang.
Bagi orang yang menyuntukkan diri di dunia kreatif, seperti mas Iman, perilaku mencintai seperti itu jelas sangat bertentangan. Dunia kreatif sangat membenci kekangan. Di sini, Mas Iman adalah antitesa terhadap sikap mencitai tanaman (lingkungan) yang menjadikan tanaman sekedar objek penderita. Barangkali seperti tata kelola kota yang “mengharuskan” segala yang hidup tunduk pada logika dan konsep-konsep perkembangan kota modern.
Benarkah orang semacam Mas Iman adalah antitesa terhadap logika kehidupan kota? Mas Iman hanya salah satu amsal. Saya yakin masih ada orang lain seperti Mas Iman. Mereka ini akan terus memilih tinggal pada pekarangan yang di situ ada rumputnya. Dengan tinggal di tanah yang berumput, Mas Iman bisa terus selalu berkarya (menulis) sambil memandang pohon sawo atau rumput belukar di depan kamar kos-nya. Mungkin sambil menahan “letih” merasakan laju perkembangan kota dengan mengutip sebaris sajak Federico Garcia Lorca: Verde que te quiero verde…: Hijau, kumau engkau hijau://Bintang agung beku dingin//Tiba dengan bayang ikan//Yang merintis fajar.

Kolom BYAR

Kethoprak
( Utik TW )
Ajakan nonton kethoprak. Itulah SMS terakhir yang kuterima darimu. Sebelum kau berpulang –pada sebuah pagi yang tak lagi dingin. Matahari, di pagi itu, telah senyum begitu lebar. Ah, bahkan tertawa. Ya, seperti tawamu yang amat lepas: ketika kita sedang tadarus puisi, menyiapkanTBM atau menggarap laporan PMK yang tak kunjung rampung. Dan di jalan Deandeles itu agaknya kau juga tertawa –meski dalam dekapan malaikat--, tawa yang terakhir.
Dan bukankah kethoprak (setidaknya dalam perspektif modern) mengajak kita tertawa? Mungkin memang bukan yang utama. Tapi, dalam konotasi tertentu, tawa dalam istilah kethoprak tidak bisa sekedar disebut bumbu. Simak misalnya dalam ungkapan: “Wah, malah kethoprak-an” atau “Jangan sok kethoprak-an, ah”. Ungkapan tersebut sering diartikan: jangan membuat lelucon. Akhirnya, pada tafsir kontemporer, acapkali seni kethoprak direduksi sekedar (pentas) lelucon.
Padahal, pada awal kemunculannya, kethoprak bukanlah berisi cerita yang cuma mengajak kita tertawa. Konon, sejarah kethoiprak yang bergulir tahun 1887 dengan jenis kethoprak lesung, dimulai dengan mengusung tema-tema “serius”: babad, legenda, dan adaptasi karya pujangga ternama semacam Pangeran Hamlet karya Shakespeare. Tapi, dalam perkembangnnya kethoprak diidentikan pentas yang mengusung lelucon. Muncullah kethoprak plesetan dan kethoprak humor.
Hal ini agaknya karena kehidupan yang kian pragmatis dan gersang. Dalam pragmatisme hidup, mengusung keseriusan ibarat berteriak ditengah gemuruh gelombang. Dan di dunia yang telah gersang, sesuatu yang serius acapkali membuat kram otak. Sebaliknya, lelucion/humor menjadi segelas es pelepas dahaga. Lalu dengan ditunjang perkembangan audio visual, pentas kethoprak meraih booming. Tapi, kejemuan memang gejala alamiah. Publik pun bosan. Masyarakat muak. Kethoprak tak lagi lucu. Sebab kehidupan nyata itu sendiri yang kemudian menjelma lelucon. Dan, dalam konteks ini, Utik tak salah: menyikapi dunia yang letih dengan tawa yang lepas.
Ah, Utik. Mungkin teman-teman lebih mengenangmu sebagai aktivis yang tak jenak diam (mobilitas telah identik dengan dirimu) atau kedua tahi lalat di pipimu. Namun ijinkan aku selalu terkenang dengan tawamu. Seperti di sore itu, memang ada isak dan air mata mengiringi jenazahmu –tapi selanjutnya yang terngiang adalah tawamu. Tawamu yang khas. Mengingatkanku pada pepatah Yahudi: saat manusia berpikir, Tuhan tertawa.***
Sumber: Buletin Sastra LONTAR Edisi 19/Th.II/2008

Jumat, 06 Juni 2008

Kolom BYAR

Pamflet

Tiga bulan lalu saya mendapat kiriman 2 eksemplar Inilah Pamflet Itu. Buku antologi puisi tersebut di-pos-kan oleh Hersri Setiawan dari salah satu sudut kota Jakarta. Memang, sejak digelar Temu Sastra Tiga Kota (Yogyakarta, Kulonprogo, Purworejo) di Wates pada Januari lalu dimana ia tak bisa menghadiri, saya dan Pak Hersri berulangkali berniat jumpa darat. Namun selalu gagal. Mungkin, untuk sementara, hadirnya buku tersebut menjadi pengganti pertemuan kami.
Tapi mengapa Hersri memilih judul Pamflet? Dua ratus tiga puluh dua tahun lampau Thomas Paine menerbitkan Common Sense --dengan tebal 47 halaman, hemat saya, ia adalah “pamflet dalam arti yang sebenarnya”. Sebab pamflet adalah membakar. Dan tak ada buku dalam sejarah kesusastraan yang mempunyai pengaruh begitu cepat seperti Common Sense. Buku ini bagai sangkakala memanggil kolonis Amerika untuk bangkit memperjuangkan kemerdekaan mereka tanpa kompromi dan tiada sangsi”, demikian tulis Robert B Down dalam Books That Change The World.
Dan, memang, Inilah Pamflet Itu bukanlah Common Sense. Tapi, dalam salah satu sajaknya, kita bisa menemui semangat yang membakar. Coba simak bait akhir sajak “Suara Jalanan”: hidup//merebut kemerdekaan, hidup//merebut kemanusiaan. Sebuah ungkapan lugas nan sederhana. Tapi, agaknya, ada magma yang (tak henti-hentinya) hendak dimuntahkan --oleh seorang tua berambut perak yang senantiasa berjiwa muda, yang pernah merasakan betapa kejamnya kekuasaan yang tercerabut dari cinta.
Ya, meski gema muntahan itu tak sedahsyat goresan Paine. Apalagi ditengah masyarakat ramai bangsa ini yang notabene telah bebal terhadap bisikan hakiki kemanusiaan. Pada bangsa yang terdiri dari tatal-tatal, anasir di dalamnya justru amat peka terhadap hal yang berbau remeh temeh. Aliran, Klik, komunitas, golongan, dan segala bentuk pengkotakan lainnya bagaikan bom bersumbu poendek. Alhasil, organisasi semacam FPI tak butuh lagi selembar pamflet. Sebab “ia adalah pamflet itu sendiri”.
Di sini, masihkah hidup//merebut kemerdekaan, hidup//merebut kemanusiaan mampu bergema? Saya ragu. Tapi, saya yakin masih ada yang sudi bersuara …..
SUMBER: Buletin Sastra LONTAR edisi 18/Th.II/2008

Sabtu, 24 Mei 2008

KOLOM BYAR

Bangun

Adakah Kristal//(yang sungguh kristal)//mengganti tatal-tatal
Sebagai indahnya gurun//dilukis waktu bangun (1999)

Puisi tersebut mendadak muncul diingatan ketika saya bangun pada sebuah pagi tanggal 21 Mei 2008 di salah satu sudut kampung Kemayoran (Jakarta Pusat). Memang, tak ada gurun di Jakarta. Lanskap ibukota masih seperti biasa: lalu lintas semrawut, pemukiman kumuh menyobek keindahan gedung bertingkat, dan air sungai mengecer bau tak sedap. Aktivitas warga pun tak ada yang istimewa. Namun, di kampung tempat saya singgah sejenak tersebut, ada juga warga yang bicara satu abad kebangkitan nasional. We-eh, benarkah gema peringatan seabad kebangkitan nasional menyusup hingga ke pelosok orang-orang kecil?
Saya takjub pada obrolan mereka –orang biasa yang hidup terjepit diantara keangkuhan dan hiprokrisi pengusa. “Mana bisa bangkit? Apa yang masih kita miliki? Semua sudah dijual ke orang asing…!” Dan kemudian, masyaAllah, mereka begitu hafal mengabsen aset milik bangsa kita yang telah pindah tangan ke pihak asing. “Yang realistis, kita menjadi gelandangan di kampung sendiri”, lanjut mereka (seakan menirukan sebuah judul buku karya budayawan Emha Ainun Nadjib). Saya hanya bengong mendengar obrolan mereka. Lalu beranjak keluar rumah, keluar gang, mencari metro mini untuk keliling ibukota. Dari jendela bus, gambaran bangsa ini melintas di angan:
Pasca reformasi sepuluh tahun silam, bangsa ini mirip tatal. Pecahan atau kepingan dari keseluruhan. Tatal yang dalam dunia pertukangan hanya layak dibuang. Tak jauh beda dengan sampah. Tapi, sebentar, menurut ilmunya para wali, justru dari kepingan atau tatal itulah kita bisa meraih “kristal”. Mau amsal? Tiang utama Masjid Agung Demak. Barangkali ini yang jarang kita sadari: bangsa kita justru kuat karena berangkat dari tatal-tatal.
Selain mirip tatal, kondisi bangsa kita juga seperti gurun yang gersang: seakan siapa saja yang memerintah tak bakalan merubah keadaan. Tapi bukankah dalam gurun itu ada oase. Dan, seperti bunyi sebuah sajak, bukankah gurun dan oase masih saling setia? Tafsir dari larik kalimat ini memang tidak tunggal. Dalam konteks ini, bisa saja ditafsirkan: dalam kesulitan ada kemudahan. Maksudnya, sesulit apapun kendala yang dihadapi bangsa ini, sebuah kebangkitan dari keterpurukan itu tetap ada. Agaknya, yang luput kita telisik adalah “belum ada kesinambungan antara bangkit dan bangun”. Kita maunya bangkit, tapi sejatinya belum bangun. Padahal kalau kita sudah “bangun”, apapun yang kita lihat terasa indah. Gurun gersang sekalipun.
Sumber: Buletin Sastra LONTAR edisi 17/Th.II/2008

ESAI

KESUSASTRAAN
Puisi, Siapa Masih Peduli?
Kompas: Sabtu, 26 April 2008 01:20 WIB

Konon, penetapan 28 April - tanggal wafatnya penyair Angkatan 45, Chairil Anwar - sebagai Hari Puisi Nasional masih menjadi perdebatan. Namun, bagi sejumlah penggiat seni dan sastra, bagaimanapun bulan April tetap lekat dengan dunia puisi.

Tentu bukan tanpa alasan, wafatnya Chairil Anwar dijadikan momentum Hari Puisi Nasional. Dengan tidak mengecilkan peran dan eksistensi penyair lainnya, mulai dari Amir Hamzah, Sitor Situmorang, WS Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, dan seterusnya, mesti diakui Chairil Anwar memiliki kedudukan khusus dalam khazanah sastra (terutama puisi) di Indonesia.

Pada umumnya, sebagian pengamat berpendapat bahwa jasa terpenting Chairil Anwar adalah ”pendobrakannya” terhadap bahasa ungkap penyair angkatan sebelumnya (baca: Pujangga Baru). Dengan penjelajahan bahasa yang intens, akhirnya ia temukan sebuah bahasa ungkap yang khas dirinya: lugas, padat, tegas, langsung menghunjam ke jantung hati para pembaca karyanya. Hal inilah yang menjadi tonggak penting perkembangan kesusastraan Indonesia sehingga HB Jassin menyebut Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan ’45.

Sebenarnya tidak hanya dari sisi sebagai penyair, kita bisa becermin pada sosok Chairil Anwar. Dari pengakuan Sri Ajati, gadis yang namanya diabadikan dalam sajaknya, Senja di Pelabuhan Kecil, kita bisa tahu Chairil adalah sosok yang di dalam hatinya selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu. Atau dari surat ”Pernyataan Gelanggang” yang ia buat bersama Asrul Sani, yang penggalannya berbunyi: Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, …… tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Dari sinilah sebenarnya peran Chairil Anwar tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang berjasa (pahlawan) pada masa itu. Namun, mengapa di bulan April ini kita lebih mengenal sosok RA Kartini?

Bisa jadi, bukan karena RA Kartini lebih ”hebat” daripada Chairil Anwar, tetapi lebih karena di zaman yang serba pragmatis saat ini, keberadaan puisi sudah tak dipandang penting lagi. Ah, puisi! Siapa yang masih peduli? Apakah di zaman yang serba susah di mana banyak orang kelaparan, puisi bisa menggantikan nasi? Apa kegunaan puisi?

Sudah tentu jika titik berangkat kita seperti itu (pragmatisme hidup), puisi tak akan bisa menjawab. Sebab, puisi adalah bahasa batin, ungkapan kejujuran, dan penghalus rasa. Ia akan terasa absurd jika dihubungkan secara langsung dengan problem riil (perut) sehari-hari. Orang yang kelaparan tak akan bisa menjadi kenyang hanya dengan membaca puisi.

Pun ungkapan terkenal dari John F Kennedy, ”bahwa jika politik bengkok, maka puisi yang akan meluruskan”. Pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat tersebut akan janggal jika kita terima secara mentah apa adanya (tersurat).

Dulu, salah seorang anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, almarhum KH Yusuf Muhammad, sering membaca puisi saat sidang di parlemen mencapai titik buntu.

Pengenalan puisi pada ranah kehidupan praktis, misalnya politik, seperti yang dilakukan KH Yusuf Muhammad di atas, tentu tidak untuk menyelesaikan masalah secara langsung.

Perdebatan di gedung wakil rakyat akan terus berjalan alot meski seribu puisi dikumandangkan. Korupsi juga masih jalan terus meski puisi dihadirkan. Namun, paling tidak, pada saat ”kesadaran kemanusiaan” kita genting, batin kita diketuk, kejujuran digugah, dan kehalusan rasa dibangkitkan. Maka, kiranya hanya orang yang tak beradab yang menganggap puisi tak penting. Dan, seperti dikatakan HB Jassin, hanya koran bar-bar yang tak memberi ruang (rubrik) kepada puisi.

Sudah pasti kita akan tersinggung jika dianggap tak beradab. Sakit hati dipandang sebagai bangsa bar-bar. Namun, kita tak risi sedikit pun jika dinilai sebagai orang (bangsa) yang tak mengenal puisi. Padahal, puisi adalah salah satu jalan menuju kita beradab dan bermartabat.

Ini berarti, dalam persepsi masyarakat, belum ada korelasi yang positif antara keberadaan puisi dan keberadaban sebuah bangsa. Mengapa?

Tak dianggap penting

Mengapa masih saja keberadaan puisi tak dianggap penting? Berapa persen dari pembaca surat kabar yang menyempatkan dirinya membaca (atau sekadar melihat sekejap) rubrik puisi? Dan berapa persen dari masyarakat yang hobi membeli buku tiap bulan menyisihkan uangnya guna membeli buku-buku puisi?

Dari sini kritik terhadap keberadaan puisi wajar dilontarkan. Salah satu jawaban yang paling mungkin dikemukakan adalah muatan puisi tak relevan dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, puisi (beserta penyairnya) hanya asyik menikmati dunianya sendiri. Isi puisi tak lagi membumi dan menyentuh realita kehidupan.

Benarkah puisi yang kini berseliweran di media massa tak lagi menyentuh dan membumi? Sebagian dari kita mungkin menjawab ya. Sebab, pascajaya-jayanya WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, atau Wiji Thukul yang mengusung ”puisi sosial”, kini terasa sulit ditemui puisi sosial yang dapat diandalkan, puisi sosial yang menggetarkan.

Kebanyakan puisi yang kini hadir relatif hanya bertutur dan bergumam pada diri sendiri. Kalau puisi-puisi yang tercipta tak lagi membumi, siapa yang masih peduli pada puisi tentu akan bisa dengan mudah dihitung dengan jari.

Dari sinilah sejatinya, para penyair dituntut untuk terus-menerus intens menggauli hidup dan menjelajah bahasa ungkap supaya karyanya membumi. Dan yang perlu dicatat: setiap episode zaman tentu membutuhkan kecerdikan tersendiri untuk menghasilkan sebuah puisi yang ”bisa diterima” publik. Maka teruslah berkarya, berkreasi, mengetuk batin, menggugah kejujuran, menghaluskan rasa. Tanpa henti, tanpa henti. Hingga hilang pedih peri….

MARWANTO, Sastrawan, Bergiat di Komunitas Lumbung Aksara (LA), Kulon Progo, Yogyakarta

STOP PRESS !!!

Penulis yang Baik Tak Layak Pensiun
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 25/04/2008

CERPENIS dan penyair Marwanto meluncurkan antologi puisi bertajuk 'Menaksir Waktu'. "Karya-karya puisi atau sajak ini saya tulis tahun 1992 hingga 2002," ucapnya. Materi tersebut sudah menumpuk terlalu lama, kemudian Komunitas Lumbung Aksara bersama www.makbyar.blogspot.com punya ide menerbitkan secara sederhana. Meski beberapa puisi juga sudah ada yang muncul dalam antologi 'Seorang Gadis Sesobek Indonesia: Antologi Puisi Kulonprogo' (2006). Tentang materi puisi-puisi itu, Marwanto berkisah. Pertengahan tahun 1991, ketika kuliah di UNS Solo, mulai membiasakan diri mencoret-coret buku harian. Ia ingat nasihat, kata orang menulis di buku harian merupakan awal yang baik untuk menjadi penulis. "Memang sampai sekarang saya merasa belum berhasil menjadi penulis," ucap Marwanto. Dari dokumentasi coret-coret, ada sejumlah tulisan yang dianggap layak untuk dijadikan antologi dan dihadirkan ke publik sastra. Diakui, pensiun menulis puisi memang terasa tidak enak. "Saya sering mengibaratkan seperti lelaki yang dipaksa menyeret syahwat, atau sepasang kekasih yang menahan rindu," ucapnya. Marwanto juga berbaur dengan Lumbung Aksara, dirinya membatalkan ikrar tidak menulis puisi. "Saya akhirnya berkesimpulan, penulis yang baik tak layak pensiun dari menulis puisi. Puisi tidak boleh mati," tandasnya. (Jay) -m


Jumat, 07 Maret 2008

Kolom BYAR

Cerutu & Celana (1)

Foto itu masih saya ingat hingga kini: seorang penguasa yang sedang menghadapi gemuruh demonstrasi rakyatnya tampak menggigit ujung cerutu ketika menerima laporan dari salah satu pembantunya. Wajahnya garang. Tentu amarah sedang membuncah, dan belum tahu akan mengetukkan palu dengan cara apa: menyerah atau perang ! Foto itu beredar di sejumlah media pada 19 Mei 1998.
Dua hari kemudian Soeharto memang lengser. Tapi, agaknya, itulah potret ketika “Sang Raja” sedang berada dalam masa puncak menghadapi tantangan. Meski, kenyataannya, jarak ketika seorang dalam posisi “on” dan “off” teramat pendek. Benar pula kata orang arif: bahwa sebelum mengakhiri nyala terakhir sebuah lentera akan berkobar-kobar sebentar. Amsal lain: seorang yang sedang orgasme tentu akan menggebu-neggebu, sebelum akhirnya lemas-lunglai. Agaknya, waktu itu Soeharto tak sedang "orgasme". Ia lebih mendekati amsal yang pertama. Dan itulah tafsir dari foto tersebut: ekspresi dari nyala yang berkobar-kobar sebelum akhirnya padam.
Disamping itu, barangkali bisa diajukan tesis yang lain: bahwa cerutu telah menjadi alat pelampias dari (beberapa kemungkinan rasa berikut): kalap, gundah, marah, … Konon, kita sering juga disuguhi adegan ini: orang yang mendapat tekanan berat (stres), berulang kali mematikan cerutunya dan menyulut yang baru untuk secepat mungkin ia matikan lagi. Begitu seterusnya, berulang-ulang. Di sini, cerutu bukan karib yang baik untuk dinikmati kelezatannya atau bersama-sama si penghisap “menikmati ngehnya suasana”. Cerutu tinggal obyek penderita.
Jika seluruh manusia penghuni planet bumi ini mengalami hal serupa tentu yang paling untung adalah pabrik rokok. Sebab ia akan mengalami peningkatan penjualan secara drastis. Bayangkan, jika dalam kondisi biasa seorang perlu sehari untuk menghabiskan satu sampai dua bungkus rokok, dalam kondisi stres (kalap), ia cuma perlu satu atau dua jam. Dan, selain tak baik bagi kesehatan (fisik manusia), juga bisa memunculkan peresaingan usaha yang tidak adil.
Barangkali, ya barangkali, karena tak bersetuju dengan dampak yang ditimbulkan dari kasus “cerutu sebagai alat pelampias”, maka bebberapa tahun kemudian seorang nomor satu di sebuah republik memilih celana sebagai “alat pelampias”. Benarkah? Apa maksudnya? (Bersambung)
Sumber: Buletin Sastra LONTAR, edisi 16/Tahun II/2008

Sabtu, 01 Maret 2008

Kolom BYAR

Gemuyu

Maafkan. Ini adalah catatan yang terlambat Tapi bagaimanapun harus saya tuliskan. Sebab, semasa hidupnya ia selalu membuat wong cilik gemuyu –meski ia bukanlah pelawak. Ya, Ki Hadi Sugito, dalang kebanggaan warga Kulonprogo yang wafat Januari lalu itu, kiranya tiada duanya dalam hal membuat penonton “gemuyu” –kata ini kurang tepat benar jika disepadankan dengan tertawa. Tertawa hanyalah salah satu aspek saja dari gemuyu. Dan Pak Gito mampu membuat orang tertawa justru karena ia tidak berniat menjadi pelawak. Lalu, apa rahasianya?
Tampaknya lagi-lagi ini soal jarak. Ketika mendalang, Pak Gito tak membuat jarak: baik dengan penonton maupun kru (wiyogo-nya). Penonton dan kru, yang notabene “orang luar cerita”, ia anggap sebagai “satu kesatuan” dari cerita yang ia bangun. Alhasil, lakon yang disuguhkan pun menjadi mengalir lancar dan enak diterima audiens. Dialog antar tokoh wayang pun bisa berloncatan. Kesana-kemari (seakan) tanpa merusak pakem. Seorang Abimanyu bisa pekoleh bersinggungan dengan kentut. Apalagi Punakawan, bebas bicara dari A sampai Z. Padahal, dibanding dalang segenerasinya, Pak Gito lebih “carangan”. Meski jika dibanding dalang masa kini semacam Ki Enthus Susmono dan Warseno Slank, Pak Gito lebih konservatif. Carangan, bagi Pak Gito, kiranya lebih pada “penceritaan”, dan bukan tampilan fisik.
Tentu Pak Gito bukan satu-satunya pemilik teknik ini. Di bidang lain, misalnya, kita pernah mengenal obrolan Pak Besut di RRI. Di dunia tulis menulis, kita ingat kolom Umar Kayam dengan ikonya yang sempat populer: Pak Ageng, Mister Rigen, dll. Di dunia entertainmen kontemporer, banyak yang punya teknik tak hendak berjarak dengan penonton. Talkshow “empat mata” dari Thukul, juga demikian. Semua itu intinya ingin megajak “orang luar” untuk masuk menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita yang disuguhkan.
Tapi, hemat saya, Pak Gito lebih berhasil membawa masuk orang luar itu daripada contoh pencerita (penghibur) lainnya. Apa karena ia sukses memangkas jarak tak hanya tatkala tampil di panggung, namun juga dalam kehidupan sehari-hari? Atau karena wayang memang media yang paling pas digunakan untuk membuat orang gemuyu? Entahlah. Yang jelas dengan meninggalnya Pak Gito kita kian kehilangan stok orang yang bisa mengajak wong cilik gemuyu, tertawa, senang dan bahagia. Yang kita saksikan kini justru banyak orang yang senang mengajak untuk menertawakan kesusahan orang. Seperti kata Thukul: SMS, senang melihat orang lain susah.***
Sumber: Buletin Sastra LONTAR Edisi 15/Thn.II/2008

Minggu, 03 Februari 2008

Kolom BYAR

Warna

Dulu saya sering berpikiran (mungkin ini sebentuk kecengengan) begini: dua warna yang sama ketika digabung menjadi satu tak kan menimbulkan warna lain. Misal: warna putih dibaurkan dengan putih, hasilnya tentu juga putih. Sementara dua warna yang berbeda, jika dicampur, akan menghasilkan warna yang sama sekali lain: warna biru dan kuning, kalau kita oplos maka hasilnya hijau. Menurut guru gambar saya, fenomena oplos warna ini tak hanya berlaku di dunia lukis, tapi juga pada kehidupan sehari-hari.
Awalnya, mungkin karena kecengengan pula, saya memercayai “hukum” ini. Namun kini, seiring bertubi-tubinya peristiwa yang datang menghunjam tak sesuai kaidah oplosan warna tersebut, saya berani berkata non-sens pada apa yang dikatakan guru gambar saya. “Ah teori”, kata sepenggal iklan yang dulu sempat kondang. Persoalannya tentu tak terletak pada “menerima” atau “menolak” hukum tersebut. Tapi, mengapa hal demikian bisa terjadi?
Konon, Romeo dan Juliet –juga kisah asmara lain yang menggetarkan-- berangkat dari rasa (warna) yang sama: cinta. Namun, alih-alih mereka bisa membangun mahligai, justru yang mereka temui adalah akhir yang tragis? Pada kehidupan kenegaraan: tak ada satu partai politik pun yang punya asas dan landasan perjuangan bersifat “nista”, namun mengapa pentas politik selalu tak jauh dari main kayu dan praktik dagang sapi? Dan contoh yang sulit kita tampik: sejumlah aliran keagamaan sama-sama ingin mempergelarkan tatanan kehidupan berdasar firman Tuhan, tapi mengapa yang terjadi adalah saling menghunus pedang?
Dalam koteks ini, saya tak hendak memberi argumentasi: bahwa gagalnya mereka membaurkan warna yang sama karena mereka baru berangkat pada tataran konsep (akan warna) yang sama, tapi miskin bahkan nol dalam praktik. Agaknya, radikalisme logika mesti kita arahkan pada: bahwa diantara mereka yang hendak “menyatu” membawa warna yang sama tadi terbentang jarak. Dan jarak adalah “warna” itu sendiri. Perjuangan menempuh jarak adalah pergulatan merangkai warna kehidupan. Semakin jauh dan intens seseorang menempuh, mengolah dan menggauli jarak (di sini jarak tidak mesti diukur dengan parameter fisik seperti kilometer dsb), kian berwarna pula kehidupannya. Dan ketika kehidupan seseorang makin berwarna, bukan tidak mungkin ia bisa mencapai pada kesimpulan: bahwa sejatinya warna-warni itu hanya pantulan dari Yang Maha Cahaya.
Daun itu sejatinya tak berwarna hijau, ia hanya memantulkan Cahaya Hijaunya Tuhan. Sementara Cahaya Kuning Tuhan, dipantulkanlah oleh kenanga. Dan seterusnya. Demikian pesan orang bijak. Pertanyaannya: warna buram kehidupan ini pantulan dari mana? Ya, bagi insan yang taat, ia tak berjarak dengan Tuhan. Tapi bagi yang ingkar, jarak-jarak yang mereka ciptakan membuat warna kehidupan terasa berat untuk dibelai dengan kasih sayang.***
SUMBER: Buletin Sastra Lontar Edisi 14/Tahun II/2008

Selasa, 01 Januari 2008

BYAR

Nggetih ....

Setelah karyanya dimuat majalah Mimbar Indonesia dan Sastra (H.B. Jassin), ia memutuskan untuk “hidup-mati” dari menulis. Itulah Hadjid Hamzah, salah satu sastrawan low-profile Yogya yang wafat tengah malam 9 Desember 2007.
Apa yang istimewa dari Pak Hadjid? Sejumlah karya yang dihasilkan, tak ada yang membuat gempar publik sastra. Bahkan, orang awam lebih mengenalnya sebagai Hendrasmara: penulis beragam tema –dari soal tinju, kisah (skandal) para diva sampai masalah humaniora. Agaknya, keistimewaan Pak Hadjid tak mudah dikenali. Tapi begitu kita menghampiri…..
Ia adalah pribadi yang hangat, santun dan care. Ya, Pak Hadjid adalah sosok yang peduli –-peduli pada penulis yang memandang penting sharing dan tegur sapa. Sebagai pribadi maupun redaktur sastra di Minggu Pagi (MP), ia “merasa bertanggung-jawab” atas nasib seorang penulis dan dunia sastra. Sehingga, ketika hendak meloloskan sebuah karya untuk dimuat di MP, ia tak hanya melihat materi (untuk disajikan pada pembaca), tapi juga punya misi “memelihara dan membakar elan vital penulis”. Dan, Pak Hadjid mampu mensinergikan dua standar tersebut secara apik: tak mengorbankan pembaca sekaligus mampu melahirkan penulis muda. Dari sisi ini, sulit kiranya mencari pengganti redaktur (sastra) seperti Pak Hadjid.
Sebagai “orang tua” bagi sejumlah penulis di Yogya, Pak Hadjid memang bisa bersikap bijaksana. Ia sama sekali tidak mengindap penyakit khas seorang redaktur: merasa bangga jika rubrik yang diasuhnya sulit ditembus. Namun ia juga jauh dari sikap memanjakan anak-anaknya. Pak Hadjid pernah tidak memuat tulisan saya setahun penuh, padahal sejak tulisan sastra saya dimuat di MP tahun 2002, hingga kini saya terus mengirim rata-rata dua tulisan perbulan. Pada suatu siang di bulan September 2006, di kantor MP, Pak Hadjid pernah berkata pada saya: “Sebagai penulis, sepertinya kamu kurang prihatin….”
Seminggu sebelum wafat, ketika saya sowan bersama sejumlah penulis dari Lumbung Aksara (LA) maupun Sangsisaku, ia sempat memberi cambuk yang terakhir: “Jadi penulis itu yang total, sampai berdarah-darah atau nggetih…..” Saya selalu teringat pesan itu sambil membayangkan bunyi mesin ketik manual yang hingga akhir hayatnya masih sering ia pakai. Bunyi mesin ketik itu: tak…tik…tak…tik…tak…tik…. –bagai suara tetes darah yang mengiringi setiap kelahiran karya-karyanya.
Ayah, darahmu akan kami lanjutkan……..
sumber: buletin sastra Lontar edisi 13/tahun II/2008

STOP PRESS !!!

Dongkrak Potensi Sastra Tiga Kota
-Cinta Kesusastraan Jawa karena Memiliki Gereget Rasa
Kompas (hlm: Yogya-Jateng, 14 Januari 2008)

Yogyakarta. Kompas - Potensi sastra di Kabupaten Kulon Progo, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Purworejo cukup besar, tetapi masih belum tergali. Seniman dari tiga kota tersebut berkumpul dan menerbitkan antologi puisi, geguritan, dan cerpen pada Minggu (13/1) di Kulon Progo.
Diharapkan pertemuan sastrawan serupa akan rutin digelar untuk mendongkrak potensi sastra yang ada. Dalam kegiatan bertajuk "Temu Sastra Tiga Kota" tersebut, para sastrawan tidak sekadar bertemu, tetapi juga saling menampilkan karya. Temu ini diharapkan bisa menjadi awal yang baik untuk saling berinteraksi. Kulon Progo juga bisa berperan sebagai penghubung antara kebudayaan adiluhung yang berasal dari Keraton Yogyakarta dan budaya rakyat yang berkembang di Purworejo.
"Baru kali ini kami menggelar pertemuan antarpenulis. Kami berkomitmen untuk terus mewadahi ide serta kreativitas para sastrawan," ujar Koordinator Komunitas Lumbung Aksara Marwanto yang turut menggagas acara tersebut bersama Komunitas Sanggar Seni Kulon Progo.
Kebangkitan
Kebangkitan sastra diharapkan bisa dimulai dari pertemuan tersebut. Apalagi, penulis yang hadir tidak hanya dari kalangan anak muda, tetapi juga dari generasi tua. Selama ini hanya sedikit dari penulis Indonesia yang terus menghasilkan karya sastra hingga usia senja. Mayoritas penyair senior kini tidak begitu aktif berkarya maupun menjalin interaksi kesusastraan dengan penyair dari kota lain.
Padahal, pada era 1980-an, menurut sesepuh penyair Kulon Progo, Ki Soegiyono, para penyair Kulon Progo telah mampu menjalin komunikasi yang erat dengan penyair Purworejo maupun Yogyakarta. Saat ini penulis muda Kulon Progo yang masih aktif cenderung hanya menjalin interaksi ke Yogyakarta. Penulis Kulon Progo lebih memilih memublikasikan karyanya di media Yogyakarta, sedangkan penulis Purworejo menyukai media Jawa Tengah.
"Karya tulis harus punya fungsi rekreasi, apresiasi, edukasi, dan apresiasi. Kali ini kami berupaya agar edukasi minat menulis bisa diteruskan ke generasi muda," ujar Soegiyono.
Beberapa penulis senior, seperti Hersri Setiawan, Soekoso DM, Hasta Indriyana, dan Koh Hwatt, menyumbangkan karya pada antologi tersebut. Koh Hwatt, misalnya, membacakan geguritan bertajuk "Basa Jawa". "Saya mencintai sastra Jawa karena memiliki gereget rasa. Selain itu, ada tata krama yang mencerminkan kebudayaan Jawa," tuturnya. Halaman K Foto 1 Kompas/Mawar Kusuma Seniman dari tiga kota, Purworejo, Kulon Progo, dan Yogyakarta, berkumpul dan masing-masing membacakan karyanya, Minggu (13/1), di Kulon Progo. Diharapkan pertemuan sastrawan serupa akan rutin digelar untuk mendongkrak potensi sastra yang ada.

STOP PRESS !!!

Hari Ini di Gedung PC NU Kulonprogo;
Pertemuan Besar Sastrawan Tiga Kota
( Kedaulatan Rakyat, 13/01/2008 )
KULONPROGO tak mau kalah dengan daerah lainnya di Yogyakarta yang getol menggelar kegiatan dunia seni, khususnya sastra. Seolah ingin membuktikan bahwa di Kulonprogo seni dan seniman masih tetap 'hidup' maka pada hari Minggu ini (13/1) bertempat di Gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Jl Purworejo Km 1 Wates, akan digelar pertemuan besar penyair, cerpenis dan sastrawan yang berasal dari Yogya, Kulonprogo dan Purworejo. Bukan bidang sastra saja yang akan dihadirkan, tapi ada kegiatan eksperimen musik oleh Joko Mursito. Hajatan seharian penuh akan berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 19.00. "90 persen siap hadir," kata Marwanto, panitia yang juga Koordinator Lumbung Aksara, Jumat (11/1). Dikatakan , kegiatan 'Temu Sastra Tiga Kota' menghadirkan berbagai bentuk acara mulai diskusi, pembacaan puisi, pembacaan geguritan alias puisi Jawa, pembacaan cerpen oleh Joni Ariadinata, St Suryani, Teguh Winarsho AS, Evi Idawati. Selain membaca juga sekaligus menjadi pembicara diskusi tentang 'Pengalaman Penulisan Kreatif' dan 'Membangun Jaringan Sastra' dengan moderator Dhanu Priyo Prabowo, Samsul Maarif. "Bagi penyair dan cerpenis diberi kesempatan berpartisipasi. Khususnya penyair diberi kesempatan membaca puisi karyanya sendiri, maksimal 2 puisi/geguritan. Kalau puisi/geguritan panjang cukup 1 puisi," ujarnya. Sampai menjelang pelaksanaan, puluhan penyair dan cerpenis, pengamat sastra, atau siapapun yang peduli kegiatan sastra sudah banyak yang menyatakan untuk hadir. Dari Kulonprogo tercatat 54 peserta, Yogya 18 peserta, Purworejo 10 peserta, serta tamu undangan pejabat. Marwanto menyebut kegiatan ini untuk membangun silaturahmi antarpenulis, sastrawan muda, baik penyair maupun cerpenis. "Selama ini kebanyakan melakukan tegur sapa budaya lewat tulisan, tapi secara langsung masih sangat jarang dilakukan," ucap alumnus UNS. Selain itu, membangun jaringan sastra dari 3 kota, Kulonprogo, Yogya dan Purworejo. "Meski Kulonprogo termasuk Yogya, secara karakter karya-karya yang dihadirkan berbeda.. (Jay)-k