Selasa, 01 Januari 2008

BYAR

Nggetih ....

Setelah karyanya dimuat majalah Mimbar Indonesia dan Sastra (H.B. Jassin), ia memutuskan untuk “hidup-mati” dari menulis. Itulah Hadjid Hamzah, salah satu sastrawan low-profile Yogya yang wafat tengah malam 9 Desember 2007.
Apa yang istimewa dari Pak Hadjid? Sejumlah karya yang dihasilkan, tak ada yang membuat gempar publik sastra. Bahkan, orang awam lebih mengenalnya sebagai Hendrasmara: penulis beragam tema –dari soal tinju, kisah (skandal) para diva sampai masalah humaniora. Agaknya, keistimewaan Pak Hadjid tak mudah dikenali. Tapi begitu kita menghampiri…..
Ia adalah pribadi yang hangat, santun dan care. Ya, Pak Hadjid adalah sosok yang peduli –-peduli pada penulis yang memandang penting sharing dan tegur sapa. Sebagai pribadi maupun redaktur sastra di Minggu Pagi (MP), ia “merasa bertanggung-jawab” atas nasib seorang penulis dan dunia sastra. Sehingga, ketika hendak meloloskan sebuah karya untuk dimuat di MP, ia tak hanya melihat materi (untuk disajikan pada pembaca), tapi juga punya misi “memelihara dan membakar elan vital penulis”. Dan, Pak Hadjid mampu mensinergikan dua standar tersebut secara apik: tak mengorbankan pembaca sekaligus mampu melahirkan penulis muda. Dari sisi ini, sulit kiranya mencari pengganti redaktur (sastra) seperti Pak Hadjid.
Sebagai “orang tua” bagi sejumlah penulis di Yogya, Pak Hadjid memang bisa bersikap bijaksana. Ia sama sekali tidak mengindap penyakit khas seorang redaktur: merasa bangga jika rubrik yang diasuhnya sulit ditembus. Namun ia juga jauh dari sikap memanjakan anak-anaknya. Pak Hadjid pernah tidak memuat tulisan saya setahun penuh, padahal sejak tulisan sastra saya dimuat di MP tahun 2002, hingga kini saya terus mengirim rata-rata dua tulisan perbulan. Pada suatu siang di bulan September 2006, di kantor MP, Pak Hadjid pernah berkata pada saya: “Sebagai penulis, sepertinya kamu kurang prihatin….”
Seminggu sebelum wafat, ketika saya sowan bersama sejumlah penulis dari Lumbung Aksara (LA) maupun Sangsisaku, ia sempat memberi cambuk yang terakhir: “Jadi penulis itu yang total, sampai berdarah-darah atau nggetih…..” Saya selalu teringat pesan itu sambil membayangkan bunyi mesin ketik manual yang hingga akhir hayatnya masih sering ia pakai. Bunyi mesin ketik itu: tak…tik…tak…tik…tak…tik…. –bagai suara tetes darah yang mengiringi setiap kelahiran karya-karyanya.
Ayah, darahmu akan kami lanjutkan……..
sumber: buletin sastra Lontar edisi 13/tahun II/2008

STOP PRESS !!!

Dongkrak Potensi Sastra Tiga Kota
-Cinta Kesusastraan Jawa karena Memiliki Gereget Rasa
Kompas (hlm: Yogya-Jateng, 14 Januari 2008)

Yogyakarta. Kompas - Potensi sastra di Kabupaten Kulon Progo, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Purworejo cukup besar, tetapi masih belum tergali. Seniman dari tiga kota tersebut berkumpul dan menerbitkan antologi puisi, geguritan, dan cerpen pada Minggu (13/1) di Kulon Progo.
Diharapkan pertemuan sastrawan serupa akan rutin digelar untuk mendongkrak potensi sastra yang ada. Dalam kegiatan bertajuk "Temu Sastra Tiga Kota" tersebut, para sastrawan tidak sekadar bertemu, tetapi juga saling menampilkan karya. Temu ini diharapkan bisa menjadi awal yang baik untuk saling berinteraksi. Kulon Progo juga bisa berperan sebagai penghubung antara kebudayaan adiluhung yang berasal dari Keraton Yogyakarta dan budaya rakyat yang berkembang di Purworejo.
"Baru kali ini kami menggelar pertemuan antarpenulis. Kami berkomitmen untuk terus mewadahi ide serta kreativitas para sastrawan," ujar Koordinator Komunitas Lumbung Aksara Marwanto yang turut menggagas acara tersebut bersama Komunitas Sanggar Seni Kulon Progo.
Kebangkitan
Kebangkitan sastra diharapkan bisa dimulai dari pertemuan tersebut. Apalagi, penulis yang hadir tidak hanya dari kalangan anak muda, tetapi juga dari generasi tua. Selama ini hanya sedikit dari penulis Indonesia yang terus menghasilkan karya sastra hingga usia senja. Mayoritas penyair senior kini tidak begitu aktif berkarya maupun menjalin interaksi kesusastraan dengan penyair dari kota lain.
Padahal, pada era 1980-an, menurut sesepuh penyair Kulon Progo, Ki Soegiyono, para penyair Kulon Progo telah mampu menjalin komunikasi yang erat dengan penyair Purworejo maupun Yogyakarta. Saat ini penulis muda Kulon Progo yang masih aktif cenderung hanya menjalin interaksi ke Yogyakarta. Penulis Kulon Progo lebih memilih memublikasikan karyanya di media Yogyakarta, sedangkan penulis Purworejo menyukai media Jawa Tengah.
"Karya tulis harus punya fungsi rekreasi, apresiasi, edukasi, dan apresiasi. Kali ini kami berupaya agar edukasi minat menulis bisa diteruskan ke generasi muda," ujar Soegiyono.
Beberapa penulis senior, seperti Hersri Setiawan, Soekoso DM, Hasta Indriyana, dan Koh Hwatt, menyumbangkan karya pada antologi tersebut. Koh Hwatt, misalnya, membacakan geguritan bertajuk "Basa Jawa". "Saya mencintai sastra Jawa karena memiliki gereget rasa. Selain itu, ada tata krama yang mencerminkan kebudayaan Jawa," tuturnya. Halaman K Foto 1 Kompas/Mawar Kusuma Seniman dari tiga kota, Purworejo, Kulon Progo, dan Yogyakarta, berkumpul dan masing-masing membacakan karyanya, Minggu (13/1), di Kulon Progo. Diharapkan pertemuan sastrawan serupa akan rutin digelar untuk mendongkrak potensi sastra yang ada.

STOP PRESS !!!

Hari Ini di Gedung PC NU Kulonprogo;
Pertemuan Besar Sastrawan Tiga Kota
( Kedaulatan Rakyat, 13/01/2008 )
KULONPROGO tak mau kalah dengan daerah lainnya di Yogyakarta yang getol menggelar kegiatan dunia seni, khususnya sastra. Seolah ingin membuktikan bahwa di Kulonprogo seni dan seniman masih tetap 'hidup' maka pada hari Minggu ini (13/1) bertempat di Gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Jl Purworejo Km 1 Wates, akan digelar pertemuan besar penyair, cerpenis dan sastrawan yang berasal dari Yogya, Kulonprogo dan Purworejo. Bukan bidang sastra saja yang akan dihadirkan, tapi ada kegiatan eksperimen musik oleh Joko Mursito. Hajatan seharian penuh akan berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 19.00. "90 persen siap hadir," kata Marwanto, panitia yang juga Koordinator Lumbung Aksara, Jumat (11/1). Dikatakan , kegiatan 'Temu Sastra Tiga Kota' menghadirkan berbagai bentuk acara mulai diskusi, pembacaan puisi, pembacaan geguritan alias puisi Jawa, pembacaan cerpen oleh Joni Ariadinata, St Suryani, Teguh Winarsho AS, Evi Idawati. Selain membaca juga sekaligus menjadi pembicara diskusi tentang 'Pengalaman Penulisan Kreatif' dan 'Membangun Jaringan Sastra' dengan moderator Dhanu Priyo Prabowo, Samsul Maarif. "Bagi penyair dan cerpenis diberi kesempatan berpartisipasi. Khususnya penyair diberi kesempatan membaca puisi karyanya sendiri, maksimal 2 puisi/geguritan. Kalau puisi/geguritan panjang cukup 1 puisi," ujarnya. Sampai menjelang pelaksanaan, puluhan penyair dan cerpenis, pengamat sastra, atau siapapun yang peduli kegiatan sastra sudah banyak yang menyatakan untuk hadir. Dari Kulonprogo tercatat 54 peserta, Yogya 18 peserta, Purworejo 10 peserta, serta tamu undangan pejabat. Marwanto menyebut kegiatan ini untuk membangun silaturahmi antarpenulis, sastrawan muda, baik penyair maupun cerpenis. "Selama ini kebanyakan melakukan tegur sapa budaya lewat tulisan, tapi secara langsung masih sangat jarang dilakukan," ucap alumnus UNS. Selain itu, membangun jaringan sastra dari 3 kota, Kulonprogo, Yogya dan Purworejo. "Meski Kulonprogo termasuk Yogya, secara karakter karya-karya yang dihadirkan berbeda.. (Jay)-k