Sabtu, 24 Mei 2008

KOLOM BYAR

Bangun

Adakah Kristal//(yang sungguh kristal)//mengganti tatal-tatal
Sebagai indahnya gurun//dilukis waktu bangun (1999)

Puisi tersebut mendadak muncul diingatan ketika saya bangun pada sebuah pagi tanggal 21 Mei 2008 di salah satu sudut kampung Kemayoran (Jakarta Pusat). Memang, tak ada gurun di Jakarta. Lanskap ibukota masih seperti biasa: lalu lintas semrawut, pemukiman kumuh menyobek keindahan gedung bertingkat, dan air sungai mengecer bau tak sedap. Aktivitas warga pun tak ada yang istimewa. Namun, di kampung tempat saya singgah sejenak tersebut, ada juga warga yang bicara satu abad kebangkitan nasional. We-eh, benarkah gema peringatan seabad kebangkitan nasional menyusup hingga ke pelosok orang-orang kecil?
Saya takjub pada obrolan mereka –orang biasa yang hidup terjepit diantara keangkuhan dan hiprokrisi pengusa. “Mana bisa bangkit? Apa yang masih kita miliki? Semua sudah dijual ke orang asing…!” Dan kemudian, masyaAllah, mereka begitu hafal mengabsen aset milik bangsa kita yang telah pindah tangan ke pihak asing. “Yang realistis, kita menjadi gelandangan di kampung sendiri”, lanjut mereka (seakan menirukan sebuah judul buku karya budayawan Emha Ainun Nadjib). Saya hanya bengong mendengar obrolan mereka. Lalu beranjak keluar rumah, keluar gang, mencari metro mini untuk keliling ibukota. Dari jendela bus, gambaran bangsa ini melintas di angan:
Pasca reformasi sepuluh tahun silam, bangsa ini mirip tatal. Pecahan atau kepingan dari keseluruhan. Tatal yang dalam dunia pertukangan hanya layak dibuang. Tak jauh beda dengan sampah. Tapi, sebentar, menurut ilmunya para wali, justru dari kepingan atau tatal itulah kita bisa meraih “kristal”. Mau amsal? Tiang utama Masjid Agung Demak. Barangkali ini yang jarang kita sadari: bangsa kita justru kuat karena berangkat dari tatal-tatal.
Selain mirip tatal, kondisi bangsa kita juga seperti gurun yang gersang: seakan siapa saja yang memerintah tak bakalan merubah keadaan. Tapi bukankah dalam gurun itu ada oase. Dan, seperti bunyi sebuah sajak, bukankah gurun dan oase masih saling setia? Tafsir dari larik kalimat ini memang tidak tunggal. Dalam konteks ini, bisa saja ditafsirkan: dalam kesulitan ada kemudahan. Maksudnya, sesulit apapun kendala yang dihadapi bangsa ini, sebuah kebangkitan dari keterpurukan itu tetap ada. Agaknya, yang luput kita telisik adalah “belum ada kesinambungan antara bangkit dan bangun”. Kita maunya bangkit, tapi sejatinya belum bangun. Padahal kalau kita sudah “bangun”, apapun yang kita lihat terasa indah. Gurun gersang sekalipun.
Sumber: Buletin Sastra LONTAR edisi 17/Th.II/2008

ESAI

KESUSASTRAAN
Puisi, Siapa Masih Peduli?
Kompas: Sabtu, 26 April 2008 01:20 WIB

Konon, penetapan 28 April - tanggal wafatnya penyair Angkatan 45, Chairil Anwar - sebagai Hari Puisi Nasional masih menjadi perdebatan. Namun, bagi sejumlah penggiat seni dan sastra, bagaimanapun bulan April tetap lekat dengan dunia puisi.

Tentu bukan tanpa alasan, wafatnya Chairil Anwar dijadikan momentum Hari Puisi Nasional. Dengan tidak mengecilkan peran dan eksistensi penyair lainnya, mulai dari Amir Hamzah, Sitor Situmorang, WS Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, dan seterusnya, mesti diakui Chairil Anwar memiliki kedudukan khusus dalam khazanah sastra (terutama puisi) di Indonesia.

Pada umumnya, sebagian pengamat berpendapat bahwa jasa terpenting Chairil Anwar adalah ”pendobrakannya” terhadap bahasa ungkap penyair angkatan sebelumnya (baca: Pujangga Baru). Dengan penjelajahan bahasa yang intens, akhirnya ia temukan sebuah bahasa ungkap yang khas dirinya: lugas, padat, tegas, langsung menghunjam ke jantung hati para pembaca karyanya. Hal inilah yang menjadi tonggak penting perkembangan kesusastraan Indonesia sehingga HB Jassin menyebut Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan ’45.

Sebenarnya tidak hanya dari sisi sebagai penyair, kita bisa becermin pada sosok Chairil Anwar. Dari pengakuan Sri Ajati, gadis yang namanya diabadikan dalam sajaknya, Senja di Pelabuhan Kecil, kita bisa tahu Chairil adalah sosok yang di dalam hatinya selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu. Atau dari surat ”Pernyataan Gelanggang” yang ia buat bersama Asrul Sani, yang penggalannya berbunyi: Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, …… tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Dari sinilah sebenarnya peran Chairil Anwar tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang berjasa (pahlawan) pada masa itu. Namun, mengapa di bulan April ini kita lebih mengenal sosok RA Kartini?

Bisa jadi, bukan karena RA Kartini lebih ”hebat” daripada Chairil Anwar, tetapi lebih karena di zaman yang serba pragmatis saat ini, keberadaan puisi sudah tak dipandang penting lagi. Ah, puisi! Siapa yang masih peduli? Apakah di zaman yang serba susah di mana banyak orang kelaparan, puisi bisa menggantikan nasi? Apa kegunaan puisi?

Sudah tentu jika titik berangkat kita seperti itu (pragmatisme hidup), puisi tak akan bisa menjawab. Sebab, puisi adalah bahasa batin, ungkapan kejujuran, dan penghalus rasa. Ia akan terasa absurd jika dihubungkan secara langsung dengan problem riil (perut) sehari-hari. Orang yang kelaparan tak akan bisa menjadi kenyang hanya dengan membaca puisi.

Pun ungkapan terkenal dari John F Kennedy, ”bahwa jika politik bengkok, maka puisi yang akan meluruskan”. Pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat tersebut akan janggal jika kita terima secara mentah apa adanya (tersurat).

Dulu, salah seorang anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, almarhum KH Yusuf Muhammad, sering membaca puisi saat sidang di parlemen mencapai titik buntu.

Pengenalan puisi pada ranah kehidupan praktis, misalnya politik, seperti yang dilakukan KH Yusuf Muhammad di atas, tentu tidak untuk menyelesaikan masalah secara langsung.

Perdebatan di gedung wakil rakyat akan terus berjalan alot meski seribu puisi dikumandangkan. Korupsi juga masih jalan terus meski puisi dihadirkan. Namun, paling tidak, pada saat ”kesadaran kemanusiaan” kita genting, batin kita diketuk, kejujuran digugah, dan kehalusan rasa dibangkitkan. Maka, kiranya hanya orang yang tak beradab yang menganggap puisi tak penting. Dan, seperti dikatakan HB Jassin, hanya koran bar-bar yang tak memberi ruang (rubrik) kepada puisi.

Sudah pasti kita akan tersinggung jika dianggap tak beradab. Sakit hati dipandang sebagai bangsa bar-bar. Namun, kita tak risi sedikit pun jika dinilai sebagai orang (bangsa) yang tak mengenal puisi. Padahal, puisi adalah salah satu jalan menuju kita beradab dan bermartabat.

Ini berarti, dalam persepsi masyarakat, belum ada korelasi yang positif antara keberadaan puisi dan keberadaban sebuah bangsa. Mengapa?

Tak dianggap penting

Mengapa masih saja keberadaan puisi tak dianggap penting? Berapa persen dari pembaca surat kabar yang menyempatkan dirinya membaca (atau sekadar melihat sekejap) rubrik puisi? Dan berapa persen dari masyarakat yang hobi membeli buku tiap bulan menyisihkan uangnya guna membeli buku-buku puisi?

Dari sini kritik terhadap keberadaan puisi wajar dilontarkan. Salah satu jawaban yang paling mungkin dikemukakan adalah muatan puisi tak relevan dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, puisi (beserta penyairnya) hanya asyik menikmati dunianya sendiri. Isi puisi tak lagi membumi dan menyentuh realita kehidupan.

Benarkah puisi yang kini berseliweran di media massa tak lagi menyentuh dan membumi? Sebagian dari kita mungkin menjawab ya. Sebab, pascajaya-jayanya WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, atau Wiji Thukul yang mengusung ”puisi sosial”, kini terasa sulit ditemui puisi sosial yang dapat diandalkan, puisi sosial yang menggetarkan.

Kebanyakan puisi yang kini hadir relatif hanya bertutur dan bergumam pada diri sendiri. Kalau puisi-puisi yang tercipta tak lagi membumi, siapa yang masih peduli pada puisi tentu akan bisa dengan mudah dihitung dengan jari.

Dari sinilah sejatinya, para penyair dituntut untuk terus-menerus intens menggauli hidup dan menjelajah bahasa ungkap supaya karyanya membumi. Dan yang perlu dicatat: setiap episode zaman tentu membutuhkan kecerdikan tersendiri untuk menghasilkan sebuah puisi yang ”bisa diterima” publik. Maka teruslah berkarya, berkreasi, mengetuk batin, menggugah kejujuran, menghaluskan rasa. Tanpa henti, tanpa henti. Hingga hilang pedih peri….

MARWANTO, Sastrawan, Bergiat di Komunitas Lumbung Aksara (LA), Kulon Progo, Yogyakarta

STOP PRESS !!!

Penulis yang Baik Tak Layak Pensiun
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 25/04/2008

CERPENIS dan penyair Marwanto meluncurkan antologi puisi bertajuk 'Menaksir Waktu'. "Karya-karya puisi atau sajak ini saya tulis tahun 1992 hingga 2002," ucapnya. Materi tersebut sudah menumpuk terlalu lama, kemudian Komunitas Lumbung Aksara bersama www.makbyar.blogspot.com punya ide menerbitkan secara sederhana. Meski beberapa puisi juga sudah ada yang muncul dalam antologi 'Seorang Gadis Sesobek Indonesia: Antologi Puisi Kulonprogo' (2006). Tentang materi puisi-puisi itu, Marwanto berkisah. Pertengahan tahun 1991, ketika kuliah di UNS Solo, mulai membiasakan diri mencoret-coret buku harian. Ia ingat nasihat, kata orang menulis di buku harian merupakan awal yang baik untuk menjadi penulis. "Memang sampai sekarang saya merasa belum berhasil menjadi penulis," ucap Marwanto. Dari dokumentasi coret-coret, ada sejumlah tulisan yang dianggap layak untuk dijadikan antologi dan dihadirkan ke publik sastra. Diakui, pensiun menulis puisi memang terasa tidak enak. "Saya sering mengibaratkan seperti lelaki yang dipaksa menyeret syahwat, atau sepasang kekasih yang menahan rindu," ucapnya. Marwanto juga berbaur dengan Lumbung Aksara, dirinya membatalkan ikrar tidak menulis puisi. "Saya akhirnya berkesimpulan, penulis yang baik tak layak pensiun dari menulis puisi. Puisi tidak boleh mati," tandasnya. (Jay) -m