Kamis, 30 Oktober 2008

STOP PRESS !!!

Masuk KPU, Tunda Terbitkan Buku
(Kedaulatan Rakyat, 30/10/2008)

LANTARAN dilantik menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kulonprogo periode 2008-2013, cerpenis dan penyair Marwanto terpaksa menunda rencana menerbitkan buku antologi cerpen-nya. Buku antologi cerpen yang sedianya akan diberi judul ‘Hujan Telah Jadi Logam’ tersebut sebenarnya sudah disodorkan ke sejumlah penerbit. Perihal rancangan buku tersebut, ia mengatakan seorang teman dekatnya menyarankan untuk menghilangkan 2 judul dari 16 judul cerpen yang akan dimuat. “Hingga kini belum fix, antologi cerpen tersebut akan berisi 16 atau 14 judul,” kata Marwanto, Sabtu (25/10). Penulis yang pernah bekerja sebagai Manajer Koperasi Serba Usaha (KSU) di Bank Pasar Wates tersebut menjelaskan bahwa padatnya pekerjaan di KPU mengharuskan dia untuk rehat beberapa saat dari aktivitas menulis. “Saya hanya mengurangi intensitas, bukan berhenti menulis”, tandas Koordinator Lumbung Aksara ini. Ia juga mengaku masih akan menyisakan waktunya untuk menggelorakan kegiatan sastra di Kulonprogo lewat komunitas ‘Lumbung Aksara’. (Cdr)-g

Minggu, 05 Oktober 2008

CERPEN

Teriakan Menjelang Lebaran
Cerpen MARWANTO
(KORAN MERAPI, 28/9/2008)

Pada awalnya Miskinem ragu menerima tawaran Tuan Suryo untuk menjadi pembantu di rumahnya. Sebab selama ini ia telah menjalani profesinya dengan senang hati. Profesi sebagai pencari barang rongsokan yang dilakoninya sebelum mengenal Surip, sang suami. Meski tak menghasilkan banyak uang, tapi pekerjaannya itu mendatangkan banyak sedulur alias kenalan. Bagaimana tidak, dalam sehari ia selalu mengayuh sepeda ontel berpuluh-puluh kilometer untuk mendatangi minimal tiga puluh rumah.
Karena itu Miskinem tak bisa membayangkan kalau nanti harus beralih profesi sebagai pembantu rumah tangga. Tentu hari-harinya hanya akan dilalui di dalam kungkungan tembok tinggi ala penjara. Tapi, dalam setiap kesempatan, Surip selalu mendesak isterinya. Dalam benaknya, profesi pembantu lebih menjanjikan kesejahteraan keluarga dibanding mencari barang rongsokan.
“Tidak kau pikirkan lagi tawaran Tuan Suryo itu, Mak ?”
“Apa sih enaknya jadi pembantu ?”
“Lho, kamu itu gimana to, ya jelas enak ! Tuan Suryo itu kan orang kaya. Pokoknya, ikut orang besar itu akan kena sawab sukses.”
“Ah, mbok jangan mengada-ada. Pembantu ya pembantu.“
“Yang pasti, kamu tidak terlalu capek seperti sekarang. Ya, ndak?”
“Meski capek, aku senang menjalaninya.....”
“Itu sekarang ! Apa sampai tua kamu akan keliling desa terus ?”
Inem mencoba mengerti jalan pikiran suaminya. Ia membayangkan masa depannya: saat tubuhnya sudah renta, apa akan kuat mengayuh sepeda berpuluh kilometer. Ah pasti sudah banyak penyakit menggerogotinya tubuhnya. Hati Inem mulai goyah.
Sampai akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya Tuan Suryo mendatangi keluarga itu, hati Inem luluh juga. Keberangkatan Inem dilepas suaminya dengan harapan akan memperbaiki nasib keluarga. Gatot, anak satu-satunya yang masih kelas lima, terlihat sedih saat emaknya melambaikan tangan dari dalam mobil sedan yang membawanya.
“Jangan sedih Tot! Besok kalau Emakmu pulang, kau pasti dibawakan sepatu bagus.......”
***
Sehari dua hari Inem masih agak kaku menjalani profesi barunya. Benar, yang ia rasakan pertama kali adalah rasa sumpek. Sejauh mata memandang hanya dinding-dinding yang terkesan angkuh dan kaku. Sehabis jam tujuh pagi, rumah yang besar dengan halaman seluas lapangan bola itu pasti telah lengang. Tuan Suryo, sebagai direktur utama di sebuah perusahaan real-estate, telah menuju kantornya yang berada di pusat kota. Sementara isterinya, Nyonya Lis, pergi mengantar Bagas ke sekolah. Wanita enerjik yang aktif diberbagai yayasan itu baru akan pulang selepas jam dua siang.
Praktis Inem hanya berteman dengan televisi dan Pak Jo, satpam di rumah itu. Tapi karena Pak Jo kurang familier diajak bicara, Inem jarang bertukar sapa dengan lelaki itu. Akhirnya, sehabis mencuci dan memasak Inem hanya berteman televisi. Satu-satunya teman ngobrol yang bisa diharapkan adalah kalau ada pedagang sayur keliling lewat. Itupun tak seberapa, cuma sekitar lima menit. Juga, kalau pas ada pencari barang rongsokan datang. Saat ada pencari barang rongsokan itulah Inem sering teringat masa lalunya.
“Enak ya Dik Nem, jadi pembantu orang kaya itu. Kerjanya ndak terlalu capek, tapi gajinya gedhe. Tiap hari makannya bergizi, tidurnya nyaman”.
“Ah, Mbakyu ini. Ya..... enakan seperti sampeyan itu to Yu Mur ...”
“Apa enaknya orang yang seharian penuh cuma keliling kampung ?”
“Ya enak, kan bisa bebas kesana kemari, mengenal banyak orang.....”
“Wah, berarti benar ya kata orang tua dulu. Urip ki mung sawang sinawang....”
“Dan enakan yang nyawang to daripada disawang atau nglakoni..?”
Mereka tersenyum, lalu tertawa kecil. Inem merasa terhibur sekali. Ia tak menyangka kalau pertemuannya dengan tukang rongsokan di siang itu justru menjadi awal kemarahan nyonya rumah. Sore harinya, setiba di rumah, Nyonya Lis kaget mengetahui ada termosnya yang raib. Inem mengaku kalau ia menjualnya ke pedagang rongsok.
“Kok berani-beraninya kamu menjual termos itu Nem ?”
“Kan sudah tidak panas lagi buat nyimpan air Nyonya.....”
“Itu berarti tinggal mengganti kacanya, dengan ongkos sepuluh ribu. Kalau beli yang baru, kan paling tidak dua puluhlima ribu. Jadi termos bekas itu seharusnya masih berharga limabelas ribu. Hayo.... tadi kamu menjualnya berapa ?”
Inem tertunduk. Jelas termos bekas itu tak laku dijual lebih dari lima ribu. Ia tak menyangka Nyonya Lis punya tabiat seperti itu: pelit dan perhitungan. Lain waktu, katika Inem membersihkan gudang, matanya melihat sepatu bekas milik Bagas. Ingatan Inem langsung tertuju pada Gatot, yang beberapa waktu lalu merengek minta dibelikan sepatu. Tapi, ketika Inem bermaksud membawa sepatu itu, Nyonya Lis memergokinya.
“Buat apa sepatu itu Nem ?”
“Anu Nyonya.... buat Gatot. Sepertinya Mas Bagas sudah tak memakainya lagi...”
“Enak saja, kan bisa dijual ke pedagang rongsokan. Simpan di gudang lagi sana !”
Sejak itu Inem tak berani minta barang apapun di rumah itu. Pengalaman terakhir yang paling membuat Inem sakit hati adalah saat membeli sayur dalam jumlah besar.
“Nem, kok banyak amat kamu beli sayur hari ini?”
“Anu Nyonya, tukang sayur itu bilang kalau besok mau libur”.
“Lho..... kamu kan bisa beli di pasar”.
“Maksud saya, daripada harus jalan ke pasar....”
“Eee...jadi kau pikir di sini cuma disuruh untuk duduk-duduk ?!”
***
Baru sebulan Inem jadi pembantu, tapi serasa setahun berlalu. Tubuhnya memang tidak lelah, tapi batinnya letih dan pecah. Di akhir bulan, Inem pulang menengok keluarganya sambil membawa gaji bulanan. Setiba di rumah, Inem mengadu pada Surip, suaminya. Tapi lelaki yang sehari-harinya kerja di bengkel itu menanggapinya dingin.
“Ah, biasa...”
“Biasa bagaimana maksud Bapak ini ?”
“Sebagai pengatur keuagan rumah tangga, Nyonya Lis memang harus begitu, perhitungan !”
“Ini bukan perhitungan lagi namanya, tapi pelit !”
“Mak, Mak, kamu cuma belum terbiasa saja. Mana ada kerjaan yang tanpa resiko. Oya, jadi kamu bawakan sepatu ndak Si Gatot ?”
“Boro-boro sepatu Pakne, damprat Nyonya Lis yang kudapat !”
Di bulan-bulan berikutnya, saat pulang, Inem selalu mengadu hal serupa pada suaminya. Tapi Surip selalu bilang “Ah, kamu cuma belum terbiasa“. Ini membuat Inem jengkel. Dan di bulan keenam, Inem merasa sudah tak kuat lagi. Ia mendesak suaminya untuk menemaninya pamit dari rumah Tuan Suryo.
“Wis tok pikirke sing wening, Mak ?”
“Sudah ! Aku sudah tak kuat lagi.”
Kening Surip berkerut lusuh. Matanya menerawang jauh. Impiannya merubah nasib dengan mengabdi pada orang besar punah sudah.
“Baik kalau memang niatmu sudah bulat. Aku tak bisa memaksa. Tapi mbok ditunggu sehabis lebaran. Biar nanti bisa padang-padangan semuanya. Mungkin selama ini Tuan Suryo tak mengetahui kalau Nyonya Lis bersikap keterlaluan padamu. Dan, siapa tahu sehabis Ramadhan Nyonya Lis berubah sikap. Kan tujuan puasa membuat orang tambah bertaqwa, tambah baik perilakunya. Itu yang kudengar di ceramah-cermah lho Mak.”
Inem mengangguk. Ia juga berharap, saat lebaran nanti ada sedikit uang ekstra atau THR (Tunjangan Hari Raya) dari majikannya.
“Apalagi Tuan Suryo itu orangnya baik, ya kan Mak ?”.
Inem mengangguk lagi. Keyakinan Inem akan kebaikan Tuan Suryo kini terbukti. Saat bulan puasa tiba, di rumah Tuan Suryo seminggu sekali diadakan buka bersama untuk anak-anak miskin. Bahkan di minggu terakhir, anak-anak itu diberi bingkisan yang berisi sarung, baju muslim, dan peci.
Sehari menjelang idul fitri tiba, Inem pamit untuk merayakan lebaran bersama keluarga.
“Barang empat atau lima hari saja Tuan”, Inem berkata sambil menunduk. Lalu pandangannya melirik ke arah Nyonya Lis dan meneruskan permintaannya: “Bisa kan Nyonya ?”
“Baiklah. Tapi kamu tahu sendiri kan, sekarang lagi jaman susah. Harga-harga melonjak tak karuan. Jadi untuk tahun ini dengan terpaksa kami tak bisa memberimu THR. Hanya uang bulanan seperti biasanya”, kata Nyonya Lis ketus –belum menunjukkan perubahan sedikitpun meski telah sebulan berpuasa. Tapi kata-kata Nyonya Lis itu segera ditimpali suaminya.
“Mam....! Em, begini Nem, kalau sekedar buat anakmu Gatot, kami masih ada sekedar oleh-oleh......”
Wajah Nyonya Lis mendadak masam. Ia menggeser duduknya, menjauhi suaminya yang selalu bersikap penuh belas kasihan.
“Mam, tolong ambilkan sisa bingkisan yang kita bagikan kemarin !”
“Kan sisa itu sudah dijatah buat anak-anak yayasan !”
“Sampun Tuan, sampun. Uang bulanan ini sudah cukup buat lebaran kami.”
Setelah mohon diri, dengan langkah gontai, Inem meninggalkan majikannya. Dalam benaknya ia terus berhitung: gaji bulanan itu memang baru cukup untuk menutup lumbung. Ia tak tahu uang dari mana buat membelikan baju dan sepatu anaknya. Namun, saat Inem sampai di pintu pagar, Tuan Suryo mencegatnya dengan raut muka hingar.
“Nem, ini ada sedikit uang buat Gatot, sebagai ganti bingkisan itu”.
Wajah Inem mendadak berseri, melihat Tuan Suryo mengeluarkan uang seratusan ribu – THR yang ia nanti..
“Matur nuwun sanget, terima kasih sekali Tuan”
Dalam perjalanan pulang hati Inem bernyanyi riang. Sampai alpa suasana dalam bus yang begitu padat, penuh tangan jail yang kesana-kemari mengemban muslihat. Setelah turun dari bus, mendadak tubuh Inem gemetar. Tangannya menggeledah mencari uang seratusan ribu dari Tuan Suryo. Saku, tas, dan bungkusan lainnya sudah ia periksa, tapi nihil alias tak beroleh apa-apa.
Dari kejauhan teriakan Gatot yang diiringi suara bedug menjelang Lebaran tiba sangat nyaring menyambut kedatangan Miskinem: “Mak,...sepatu baruuuu ....!!!.”***