Selasa, 01 Desember 2009

CERPEN

Tetangga Baru
Cerpen Marwanto

(Dimuat KEDAULATAN RAKYAT, 8 November 2009)


Mijan. Begitu ia memperkanalkan namanya. Pendek memang. Sesingkat ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sebuah jabat tangan erat. Bagai cengkraman harimau yang tak kenal ralat. Belum lagi tatapan matanya yang tajam (Ah, mengingatkan kita pada mata elang !). Jelas, membuat kami semua segan. Tapi tak sedikit diantara kami yang selalu ingin dekat. Karena jauh dibalik ketajaman tatapannya, memancar telaga jernih -- yang membuat kami tak menolak untuk bersahabat.
Ia datang ke desa kami sebulan lalu. Mengaku berasal dari salah satu kampung di Indramayu. Ya, ia membawa beberapa bungkus kardus ukuran besar. Menurut pengakuannya, ia adalah seorang penjual minyak wangi yang mengedarkannya ke pasar-pasar. Namun menilik logat bicaranya, kami ragu kalau ia dari Indramayu.
“Apa benar sampeyan ini dari Indramayu ?”, tanya ketua RT yang juga mewakili warga yang hadir menyambutnya.
“Saya memang lahir di Indramayu.....”
“Tapi logat bicara sampeyan....”
“Benar, logat bicara saya memang Jawa Timuran. Sebab, sejak lulus SD saya berkelana di banyak pesantren di Jawa Timur. Dan hingga kini.... Ah, saya kira dari mana asal kita tak terlalu masalah. Yang penting, kita masih sebangsa, dan sama-sama kawulane Gusti Allah. Nggih mboten ?”
Kami semua manggut-manggut pertanda mengiyakan. Begitu pula ketika ia meminta nginap di salah satu rumah warga. Sebuah permintaan yang tak mungkin kami tolak, sebab meluncur dari mulut manis –mungkin semanis madu atau paling tidak kolak.
“Dengan amat sangat Bapak, saya mohon diperkenankan tinggal di sini. Barang satu sampai dua bulan, sebelum kami menemukan wilayah pemasaran yang tepat”.
“Jadi barang dagangan macam apa yang sampeyan bawa !”
“Minyak wangi non-alkohol.....”
Lalu dengan cekatan ia mengeluarkan beberapa contoh minyak wangi dalam botol-botol ukuran kecil. Dan dalam sekejab ruangan itu menjadi harum: semerbak melati, kasturi, strauberi, .......
Namun saya (dan mungkin juga warga lain) ragu apakah semua bungkusan kardus besar itu berisi minyak wangi. Rupanya keraguanku terbaca dengan baik oleh Mijan. Ia segera menjawab, sebelum saya lontarkan beberapa pertanyaan mengenai hal itu.
“Selain minyak wangi, kami juga menawarkan berbagai jenis baju muslim, sarung, dan pecis....”
Saya pun lega. Demikian pula warga lain yang hadir. Kemudian, dengan bahasa yang sopan pula, Pak RT meminta tanda pengenal tamu itu. Kami heran, melihat wajah Pak RT seperti memendam tanya begitu melihat KTP yang disodorkan Mijan.
“Benar ini KTP sampeyan ?”
“Benar Pak. Memang oleh teman-teman saya dipanggil Mijan, meski di KTP saya terlahir dengan nama Nur Kholil. Tapi apalah arti sebuah nama, ngggih mboten Bapak-Bapak ?”
Kami semua menggut-manggut lagi pertanda tak keberatan. Lalu dengan nada sopan, tamu itu menanyakan akan ditampung di rumah siapa untuk bermalam.
Pak RT menoleh kiri-kanan, seakan minta persetujuan. Dan akhirnya sampai pada kesimpulan.
“Bagaimana kalau di rumah Mas Gatot saja”
Saya terkejut nama saya disebut. Tapi kemudian saya memahami alasan Pak RT. Saya adalah ketua Karang Taruna, disamping itu rumah saya luas, belum beristeri, dan kerap dipakai nongkrong anak muda. Saya pun kemudian mengatakan tak keberatan Tapi, tamu itu justru yang tak berkenan. Alasananya, agak bersifat pribadi memang. Bahwa tiap malam ia tak terbiasa dengan suasana gaduh nan ramai. Sebab, katanya, ia selalu menghabiskan malam untuk mengaji dan sujud pada Tuhan. Maka dia mohon dicarikan rumah yang agak sepi, tak banyak orang berkerumun terutama di malam hari.
Selidik punya selidik, Pak RT dan kami menemukan pilihan rumah Mbokde Sayem –seorang janda yang hanya ditunggui cucunya bernama. Rahmat. Memang rumah itu tak begitu luas, tapi cukup untuk menampung barang bawaan Mijan --dan yang penting sepi, seperti yang ia inginkan.
Seminggu berlalu, tetangga baru kami segera bisa beradaptasi dengan lingkungan. Ia rajin nongol pada acara hajatan di kampung, seperti gotong royong atau kerja bakti. Tapi untuk kegiatan kepemudaan, Mijan jarang menampakkan diri. Satu-satunya kedekatan Mijan dengan pemuda hanyalah kalau ada acara pengajian di masjid –dan akhir-akhir ini ditambah dengan rutinitasnya mengajar anak-anak kampung baca Qur’an. Ah, dengan Rahmat pun Mijan terlihat akrab sekali. Cucu Mbokde Sayem itu kini lebih rajin ke masjid, menjadi muadzin setiap maghrib.
Namun yang membuat kami heran, hampir sebulan tak kami lihat Mijan ke pasar membawa dagangannya. Menurut keterangan Rahmat, selama ini Mijan hanya di rumah saja. Dan ketika saya selidik lebih jauh, bocah yang belum lama disunat itu hanya menjawab pendek: tidak tahu. Hal ini mendorong saya dan beberapa rekan pemuda desa menyambangi rumahnya. Mijan agak terjekut menerima kedatangan kami sore itu.
“Monggo Mas Gatot. Mari teman-teman... ...”
Ia mempersilahkan kami sambil dengan sigap membetulkan letak kardus-kardus besar itu, yang kelihatanya bukan berisi botol minyak wangi --dan mungkin juga bukan baju muslim, sarung atau peci.
“Kok masih di rumah saja Mas Mijan ?”
“Iya.”
“Lho, bagaimana dengan dagangannya. Kapan lakunya ?”
“Ceritanya kan begini Mas Gatot. Saya ini sebenarnya cuma membawakan barang milik seorang teman. Dan saya tak berani menjual barang-barang ini sebelum teman saya datang. Rencaanya dalam minggu ini .... ah paling lama awal minggu depan, teman saya itu akan datang. Sekarang ia masih ada urusan dagang di Temanggung”.
Saya dan pemuda desa lainnya saling berpandangan. Pandangan yang penuh terka. Sikap ini kami lakukan karena dalam pertemuan Karang Taruna se-kabupaten dua hari lalu, Pak Bupati menganjurkan supaya kami hati-hati kalau menerima tamu dari luar daerah yang belum dikenal. Dan tadi malam, kami memang mengumpulkan pengurus Karang Taruna desa untuk membicarakan pesan Pak Bupati tersebut. Jadi kedatangan kami hari ini adalah keputusan rapat tadi malam. Namun, ketika kami berusaha untuk menyelidik lebih jauh barang dagangannya, dalam kardus besar yang menurutnya berisi pakaian muslim, ia menolak halus.
“Maaf Mas Gatot, saya tak berani membuka barang milik teman saya ini sebagaimana diamanatkannya. Bukankah sebagai seorang muslim kita wajib melaksanakan amanat ? Tapi, kalau kardus yang satu ini, monggo silahkan lihat, ini milik saya,”
Lalu Mijan menyodorkan kardus yang sering dibukanya itu, yang dulu waktu dia datang pertama kali ke kampung kami telah membukannya dan berisi minyak wangi. Mungkin kardus itu memang sebagai sampel. Tapi yang kami inginkan adalah kardus lainnya, yang tak boleh dibuka itu.
Malam harinya, dalam sebuah rapat mendadak di Balai Desa, kejadian siang itu kami konsultasikan dengan perangkat desa dan BPD. Ternyata, sikap baik Pak RT dan saya yang mengijinkan tamu itu bermalam di rumah Mbokde Sayem kurang berkenan di hati Pak Lurah.
“Saya pikir, Pak RT dan Mas Gatot terlalu gegabah menerima orang itu”
Pak RT terdiam. Wajahnya tertunduk, menunjukkan watak khas seorang bawahan yang selalu siap menerima kemarahan atasan. Namun, saya agak tersinggung dengan ucapan Pak Lurah, apalagi pandangan matanya memancarkan sikap arogan.
“Begini Pak Lurah, sebagai sesama manusia, terus terang hati kami terketuk, dan tak kuasa menolak permintaannya. Apalagi permintaan itu diungkapkan dalam bahasa yang sangat halus dan sopan. Dan lagi, bukankah tamu itu sudah menunjukkan tanda pengenal dan juga mengakui pekerjaannya ?”
“Dan satu hal lagi Pak Lurah”, tiba-tiba salah satu pengurus Karang Taruna menyela pembicaraan, “Bukankah wajah Mijan tak ada kemiripan secuilpun dengan potret wajah yang disebar aparat beberapa waktu lalu ?”
Ternyata argumentasi yang kami lontarkan tak memuaskan Pak Lurah. Dan sebelum peserta rapat lainnya urun rembug, ketua BPD tampil memberi jalan tengah.
“Begini Bapak-Bapak sekalian, yang sudah ya sudah. Meski begitu, kita tak boleh lengah. Jadi, jangan buang waktu lagi. Besok pagi kita mengklarifikasi hal ini. Kita temui tetangga baru kita itu bersama-sama”.
.Forum yang hadir sepakat dengan usulan ketua BPD. Namun satu hal yang diluar dugaan kami: ternyata isi pertemuan malam itu cepat tersiar. Akhirnya, rencana menemui Mijan yang hanya melibatkan Pak Lurah, Pak RT, anggota BPD, dan beberapa pengurus Karang Taruna, ternyata diikuti pula oleh pihak Polsek
Pagi itu belum ada jam enam. Rombongan kami sudah tiba di rumahnya Mbokde Sayem – ini perintah Kapolsek yang harus kami laksanakan. Seperti biasa, rumah itu lengang dan sepi. Apalagi halamannya belum terkena sorot matahari. Ketika kami uluk salam, nampak perempuan tua itu membuka pintu dengan sangat hati-hati. Bukannya ia tak bisa lagi cekatan, gerakannya yang terlalu kuat akan mengakibatkan pintu tua dari kayu itu gogrok berantakan.
Ia adalah perempuan yang telah renta, dan semakin menunjukkan kepikunannya melihat rambongan kami. Karenanya saya membisikkan pada telingannya berkata ingin menemui Rahmat. Dengan panggilan khas, Mbode Sayem menyuruh cucunya itu keluar. Bgaimanapun, bocah ingusan itu agak kaget dan sedikit keder melihat kedatangan kami
“Jangan takut, Mat. Bapak-bapak ini cuma mau bertemu dengan Mijan...”
Rahmat diam sejenak. Lalu berkata dengan suara berat tertahan, “Emm anu Mas Gatot, tadi malam selepas tahajud Mas Mijan telah pamit?”
“Pamit ???”, kata kami serentak.
“Ya, membawa semua barangnya....”
Pak polisi, karena nalurinya yang mengharuskan tak percaya pada orang paling alim sekalipun, segera menghambur masuk menyelidik seluruh ruangan. Hasilnya nihil dan kami harus meninggalkan rumah Mbokde Sayem –rumah tua yang sejak saat itu menyimpan beribu pertanyaan.
Mijan telah pergi. Tak ada kejadian luar biasa selama sebulan ia bersama kami. Ya, kecuali anak-anak menjadi lebih rajin ke masjid untuk mengaji.***