Oleh : Marwanto
(Dimuat Harian Kedaulatan Rakyat, 15 Oktober 2011)
Di tahun 2000-an, di kalangan aktivis pembangunan Kulonprogo sempat beredar wacana mengganti nama Kabupaten Kulonprogo menjadi Yogya-Barat. Ide tersebut mengacu Jakarta. Kita tahu, Provinsi DKI terbagi dalam: Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur. Sebagai kota metropolitan, tak jarang Jakarta dijadikan acuan untuk mengembangan kawasan lain. Sebab Jakarta adalah kota yang paling dinamis dengan perkembangan yang cepat.
Karena itu logis jika salah satu argumen dari pihak yang mengusulkan perubahan nama tersebut adalah memudahkan pengembangan daerah (kabupaten) di Kulonprogo. Menurut para aktivis pembangunan saat itu, nama Kabupaten Kulonprogo (juga kabupaten lain di DIY) kurang komersil bagi telinga investor. Seorang pengembang dari ibu kota pernah bercerita ia telah berulangkali melakukan perjalanan Jakarta-Yogyakarta (dalam hal ini lewat jalur darat) tapi ia tak merasa telah melewati sebuah daerah (kabupaten) yang bernama Kulonprogo. Setelah melewati Purworejo, ia (investor tadi), tahunya hanya memasuki sebuah daerah Yogya bagian barat, setelah itu terus masuk Yogya.
Dari pengakuan pengembang itulah, ide penggantian nama Kulonprogo menjadi Yogya-Barat bermula. Saat itu, meski dalam pertemuan tidak formal, teman-teman FLPP se DIY juga sepakat untuk melontarkan wacana tentang penggantian nama kabupaten di seluruh DIY mengacu pada nama-nama kota yang ada di Jakarta. Sleman diganti Yogya-Utara, Bantul diganti Yogya-Selatan, Gunung Kidul diganti Yogya-Timur, dan Kota Yogyakarta diganti Yogya-Tengah.
Memang, lontaran wacana tersebut kurang direspon publik. Mungkin disebabkan saat itu orang masih disibukkan masalah politik dan hukum. Tapi kini, ketika masyarakat mulai jenuh pada euforia politik, mungkinkah ide tersebut mendapat dukungan yang cukup semarak ? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang jelas, catatan kritis yang perlu dikemukakan disini adalah bahwa ide penggantian nama-nama kabupaten itu menunjukkan adanya arus gerak urbanisasi yang nyata.
Dalam konteks ini, urbanisasi tidak hanya dilihat sebagai perpindahan (atau mengalirnya) manusia dari desa ke kota. Tapi, esensi urbaniasasi adalah adanya “peng-kota-an” atau munculnya kota-kota di seluruh kawasan. Timbulnya kota adalah dengan proses gerak sentrifugal: dimulai dari yang paling dekat dengan pusat/ perbatasan kota kemudian menyebar ke seluruh penujuru.
Hadirnya urbanisasi seiring dengan arus deras kapitalisme yang melanda negeri kita. Sebagaimana diungkap oleh Karl Marx dalam Das Kapital (terbit 1867), kapitalisme merupakan fenomena sentral kehidupan modern. Lebih jauh, pemikir sosial yang lahir tahun 1818 (setahun setelah pemikir ekonomi David Richardo meluncurkan buku The Principles of Political Economy) itu menjelaskan bahwa fenomena kapitalisme dapat dicermati dari bekerjanya uang, modal, dan komoditas.
Menurut Marx, uang dan modal adalah penggerak adanya komoditas. Tapi dalam perjalanan waktu, karena sifatnya yang lebih fleksibel, uang-lah yang menjadi penentu arah bekerjanya kapitalisme. Alhasil, membicarakan kapitalisme adalah membicarakan uang. Dan membicarakan uang adalah membicarakan kota. Mengapa ? Sebab, sekitar 80% uang yang ada di negeri kita beredar di Jakarta. Sementara di tiap-tiap daerah, 80% uangnya beredar di kawasan kota. Jadi, kota adalah perwujudan yang nyata dari kultur kapitalisme. Bahkan para pemikir sosial memandang kota adalah konsekuensi fisik dan sosial sekaligus dari kapitalisme.
Kultur kota yang merupakan konsekuensi fisik dan sosial dari kapitalisme tersebut ternyata tak hanya menyebabkan kota sebagai ranah yang dinamis. Ada implikasi lain yang perlu dikritisi. Sebab, kapitalisme dengan industrialisasi sebagai “ruhnya”, secara psikologis sering menghadirkan khayal (ilusi) bagi manusia. Tidak saja gedung pencakar langit, tower yang menjulang angkuh, serta jalan tol yang mulus, tapi juga papan reklame dan ribuan etalase lainnya, adalah pesona yang mendorong manusia mencipta khayal.
Reaksi awam saat terpesona kultur kota mungkin bisa dianalogikan kisah ini: ketika ada gadis kampung dari pedalamam Gunung Kidul atau Kulonprogo jalan-jalan di Malioboro dan memandang gemerlap reklame (Dian Sastro yang mengiklankan sabun misalnya), ia sejatinya tak hanya berhenti menatap seorang Dian Sastro. Dalam file otaknya lambat laun terbentuk ide kecantikan yang sempurna, yang mereka idamkan. Kebetulan yang hadir saat itu adalah Dian Sastro.
Maka saat ia pulang kampung, lahirlah trend meniru apa yang dipakai dan dilakukan artis tadi. Kalaupun tak secantik Dian Sastro, ia cukup bangga menggosokkan sabun yang dipakai artis tadi. Itulah reaksi awan (orang kebanyakan) dalam menghadapi konsekuensi kapitalisme. Dalam ketidakmampuan (kondisi riil SDM belum kapabel), dengan ilusi (khayalnya) orang mencipta imej atau citra dalam kesemuan (pseudo). Ironisnya, apa yang semu acapkali dipandang sebagai realitas lalu dijadikan dasar/pijakan bertindak.
Dari penggambaran di atas, apakah ide penggantian nama-nama kabupaten yang ada di DIY sekedar seperti reaksi awan ketika terpesona dengan konsekuensi kapitalisme sehingga dengan ilusinya menciptakan sesuatu yang semu ? Tentu kita tidak serta merta menganganggapnya demikian. Sebab dalam perspektif sosiologi pembangunan, hidup manusia modern ini memang terbangun atas tiga kaitan: yakni sektor bisnis, badan publik dan komunitas. Dari sinilah maka paling tidak ada dua hal yang perlu dicermati.
Pertama, harus adanya keterkaitan sinergis dan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara ketiga sektor tersebut. Apakah sekarang hal itu telah terjadi? Jawabannya belum. Sebab, dalam beberapa penelitian dan analisis menunjukkan adanya keterlepasan kinerja sektor bisnis dari poros badan publik dan komunitas. Dengan kata lain, demi urusan bisnis maka apa-apa yang berhubungan dengan eksistensi sebuah komunitas sedikit banyak bisa diabaikan. Padahal sejatinya, komonitaslah yang menjadi titik balik dari seluruh kinerja ketiga unsur tersebut. Kata pepatah lama, pembangunan itu untuk manusia bukan manusia untuk pembangunan.
Kedua, penyiapan SDM atau infra-struktur komonitas (baca: kawasan lokal). Bukannya bersikap pesimis, tapi kiranya saat ini infra-struktur kawasan lokal (non-perkotaan) masih perlu pembenahan untuk menghadapi konsekuensi kapitalisme. Dan pembenahan atau pengembangan itu seharusnya berpacu sekurang-kurangnya pada tiga hal: intelektualitas (pinter), moralitas (bener), dan profesionalitas (pener). Tanpa ketiga hal itu terbangun seimbang maka urbanisasi hanya menimbulkan kompeksitas permasalahan, utamanya permasalahan sosio-kultural yang mendasar karena menyangkut perubahan tata nilai dalam sebuah masyarakat.
Kalau dua hal di atas berjalan, maka ide penggantian nama bukanlah sesuatu yang primer sifatnya. Ia hanya bersifat mengikuti saja. Ibarat anak kita saat harus pindah dari SMP ke SMA, dengan sendirinya ia akan memakai celana panjang. Artinya, ia memakai celana panjang sebagai konsekuensi karena kualitasnya telah memenuhi syarat untuk duduk di SMA. Semoga Kulonprogo dengan pucuk pimpinan baru akan lebih cepat naik kelas. Kuncinya adalah, kepemimpinan yang baru mampu menghantar rakyat Kulonprogo mengikuti gerak dinamis arus modernisasi dengan bekal penguatan masyarakat lokal.***
Kamis, 20 Oktober 2011
Selasa, 19 Juli 2011
Politik Biaya Tinggi
Oleh : Marwanto
(Dimuat Harian Jogja, 17 Juli 2010)
Akhir-akhir ini banyak kritik yang dialamatkan pada mekanisme pemilihan langsung (baik itu pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah dan kepala negara/presiden). Salah satu kritik yang paling santer adalah bahwa pemilihan langsung memakan biaya yang sangat tinggi. Biaya tinggi tersebut dikawatirkan akan membawa dampak negatif terhadap kepemimpinan yang terbentuk lewat mekanisme pemilihan langsung tadi.
Meski mekanisme pemilihan langsung punya beberapa sisi positif (misalnya lebih demokratis dan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi kuat), tetapi dalam realitanya sang pemimpin terpilih tadi tidak bisa menyelenggarakan kepemimpinan secara efektif. Hal ini karena sang pemimpin menanggung beban terhadap biaya besar yang dikeluarkan saat mencalonkan.
Biaya tersebut dikeluarkan calon untuk meraih dukungan pemilih dan partai politik (parpol) yang mengusungnya. Dalam konteks Pilkada, walau ada peluang jalur independen namun faktanya parpol tetap sebagai kendaraan utama. Karena banyak tokoh yang mengincar untuk maju di Pilkada, parpol pun akhirnya “dijual” dengan harga selangit.
Tingginya biaya tersebut diperberat kondisi riil bahwa sebagian besar pemilih bersikap pragmatis. Pemilih cenderung memilih calon (pemimpin) yang mampu “memberi sesuatu”. “Sesuatu” itu bisa berujud uang atau benda, yang intinya alat untuk memengaruhi pemilih. Inilah substansi politik uang (money politic) yang kini marak terjadi pada setiap pemilihan pemimpin publik.
Ketika proses pemilihan pemimpin publik mengharuskan biaya tinggi, sebetulnya pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak “bersih”. Tidak bersih dalam pengertian, ia telah dibebani tanggungan berupa besarnya biaya yang digunakan saat proses pemilihan berlangsung. Kalaupun seorang calon tidak mengeluarkan biaya dari sakunya, biasanya ada sponsor (botoh) yang mencukupi. Kalau ini yang terjadi, sebenarnya ia juga tidak “bersih” –sebab ia akan punya keterikatan (kalau tidak bisa disebut ketergantungan) kepada sang botoh, sebagai bentuk balas budi atau deal yang terjadi sebelum proses pemilihan.
Alhasil, ketergantungan tersebut sangat memengaruhi kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. Pertimbangan yang digunakan untuk mengambil kebijakan tak lagi sepenuhnya mengacu pada kemaslahatan bersama. Tapi, lebih pada bagaimana kebijakan tersebut bisa macth dengan kebutuhan dua keterikatan tadi. Maka lahirlah kebijakan yang berbau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Disamping itu, pemimpin yang lahir dari ongkos biaya politik tinggi dipastikan sulit memiliki jiwa pengabdian yang total terhadap jabatan yang diemban. Sorang pemimpin, selain individu yang karena jabatannya diberi kewenangan (kekuasaan), hakekatnya adalah seorang pelayan bagi publik. Pemimpin adalah orang yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengambil tindakan dalam rangka mensejahterakan mereka. Dalam konteks ini, maka pengabdian adalah moralitas yang mendasari etos dan kinerja kepemimpinan.
Kepemimpinan yang tercerabut dari moralitas pengabdian pada akhirnya akan membawa dampak fatal: gagal mengimplementasikan tujuan fitrahnya. Kepemimpinan yang jauh dari tujuan semula, yakni mengabdi dalam rangka mensejahterakan rakyat.
Dari problem di atas, agaknya sudah menjadi kebutuhan urgen untuk menciptakan sistem pemilihan langsung yang tidak saja menjamin kompetisi sehat antar kontestan, tapi sebuah pemilihan yang disertai aturan yang punya korelasi langsung menekan politik biaya tinggi. Ihktiar untuk itu bisa diawali dengan membuat regulasi tentang money politics yang rigid dan tegas.
Jika kita amati, aturan money politic yang ada saat ini cenderung bias. Terlebih, sanksi untuk menjerat pelakunya sulit dilaksanakan. Mengapa setiap kali regulasi pemilu direvisi klausul yang mengatur money politics tetap bias? Hal ini mudah ditebak: undang-undang adalah produk hukum dari DPR yang notabene anggotanya terdiri partai politik yang juga kontestan pemilu. Bagaimana para anggota dewan akan membuat aturan yang tegas untuk (menjerat) mereka sendiri?
Melihat realitas demikian, ikhtiar mencegah praktik money politics mau tak mau dibebankan pada Peraturan KPU yang merupakan derivasi dari undang-undang pemilu. Sebagai penyelenggara, KPU dapat membuat peraturan terkait teknis kepemiluan, termasuk yang memuat klausul larangan money politics secara lebih detil, rigid, tidak multi tafsir serta dapat diimplementasikan di lapangan. KPU diharapkan dapat melakukan hal ini secara maksimal, mengingat anggotanya terdiri dari orang independen.
Selain yang berkaitan langsung dengan larangan money politics, perlu juga dibuat aturan mengenai pembatasan belanja kampanye. Hal ini sudah dilakukan di Filipina dan Kanada, dan terbuktif efektif menekan biaya politik. Di undang-undang pemilu kita yang diatur hanya batasan sumbangan pihak ketiga kepada kontestan pemilu. Regulasi ini tidak secara langsung berimplikasi menekan politik biaya tinggi sehingga ke depan perlu ada klausul tambahan tentang batasan belanja kampanye untuk kontestan pemilu.
Jika semua pihak punya komitmen menekan politik biaya tinggi dalam pemilihan langsung, niscaya akan tergelar hajat demokrasi elektoral yang memungkinkan tampilnya pemimpin ideal. Pemimpin yang tidak hanya mengandalkan kekuatan modal finansial, tapi visioner dan berkarakter.***
(Dimuat Harian Jogja, 17 Juli 2010)
Akhir-akhir ini banyak kritik yang dialamatkan pada mekanisme pemilihan langsung (baik itu pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah dan kepala negara/presiden). Salah satu kritik yang paling santer adalah bahwa pemilihan langsung memakan biaya yang sangat tinggi. Biaya tinggi tersebut dikawatirkan akan membawa dampak negatif terhadap kepemimpinan yang terbentuk lewat mekanisme pemilihan langsung tadi.
Meski mekanisme pemilihan langsung punya beberapa sisi positif (misalnya lebih demokratis dan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi kuat), tetapi dalam realitanya sang pemimpin terpilih tadi tidak bisa menyelenggarakan kepemimpinan secara efektif. Hal ini karena sang pemimpin menanggung beban terhadap biaya besar yang dikeluarkan saat mencalonkan.
Biaya tersebut dikeluarkan calon untuk meraih dukungan pemilih dan partai politik (parpol) yang mengusungnya. Dalam konteks Pilkada, walau ada peluang jalur independen namun faktanya parpol tetap sebagai kendaraan utama. Karena banyak tokoh yang mengincar untuk maju di Pilkada, parpol pun akhirnya “dijual” dengan harga selangit.
Tingginya biaya tersebut diperberat kondisi riil bahwa sebagian besar pemilih bersikap pragmatis. Pemilih cenderung memilih calon (pemimpin) yang mampu “memberi sesuatu”. “Sesuatu” itu bisa berujud uang atau benda, yang intinya alat untuk memengaruhi pemilih. Inilah substansi politik uang (money politic) yang kini marak terjadi pada setiap pemilihan pemimpin publik.
Ketika proses pemilihan pemimpin publik mengharuskan biaya tinggi, sebetulnya pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak “bersih”. Tidak bersih dalam pengertian, ia telah dibebani tanggungan berupa besarnya biaya yang digunakan saat proses pemilihan berlangsung. Kalaupun seorang calon tidak mengeluarkan biaya dari sakunya, biasanya ada sponsor (botoh) yang mencukupi. Kalau ini yang terjadi, sebenarnya ia juga tidak “bersih” –sebab ia akan punya keterikatan (kalau tidak bisa disebut ketergantungan) kepada sang botoh, sebagai bentuk balas budi atau deal yang terjadi sebelum proses pemilihan.
Alhasil, ketergantungan tersebut sangat memengaruhi kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. Pertimbangan yang digunakan untuk mengambil kebijakan tak lagi sepenuhnya mengacu pada kemaslahatan bersama. Tapi, lebih pada bagaimana kebijakan tersebut bisa macth dengan kebutuhan dua keterikatan tadi. Maka lahirlah kebijakan yang berbau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Disamping itu, pemimpin yang lahir dari ongkos biaya politik tinggi dipastikan sulit memiliki jiwa pengabdian yang total terhadap jabatan yang diemban. Sorang pemimpin, selain individu yang karena jabatannya diberi kewenangan (kekuasaan), hakekatnya adalah seorang pelayan bagi publik. Pemimpin adalah orang yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengambil tindakan dalam rangka mensejahterakan mereka. Dalam konteks ini, maka pengabdian adalah moralitas yang mendasari etos dan kinerja kepemimpinan.
Kepemimpinan yang tercerabut dari moralitas pengabdian pada akhirnya akan membawa dampak fatal: gagal mengimplementasikan tujuan fitrahnya. Kepemimpinan yang jauh dari tujuan semula, yakni mengabdi dalam rangka mensejahterakan rakyat.
Dari problem di atas, agaknya sudah menjadi kebutuhan urgen untuk menciptakan sistem pemilihan langsung yang tidak saja menjamin kompetisi sehat antar kontestan, tapi sebuah pemilihan yang disertai aturan yang punya korelasi langsung menekan politik biaya tinggi. Ihktiar untuk itu bisa diawali dengan membuat regulasi tentang money politics yang rigid dan tegas.
Jika kita amati, aturan money politic yang ada saat ini cenderung bias. Terlebih, sanksi untuk menjerat pelakunya sulit dilaksanakan. Mengapa setiap kali regulasi pemilu direvisi klausul yang mengatur money politics tetap bias? Hal ini mudah ditebak: undang-undang adalah produk hukum dari DPR yang notabene anggotanya terdiri partai politik yang juga kontestan pemilu. Bagaimana para anggota dewan akan membuat aturan yang tegas untuk (menjerat) mereka sendiri?
Melihat realitas demikian, ikhtiar mencegah praktik money politics mau tak mau dibebankan pada Peraturan KPU yang merupakan derivasi dari undang-undang pemilu. Sebagai penyelenggara, KPU dapat membuat peraturan terkait teknis kepemiluan, termasuk yang memuat klausul larangan money politics secara lebih detil, rigid, tidak multi tafsir serta dapat diimplementasikan di lapangan. KPU diharapkan dapat melakukan hal ini secara maksimal, mengingat anggotanya terdiri dari orang independen.
Selain yang berkaitan langsung dengan larangan money politics, perlu juga dibuat aturan mengenai pembatasan belanja kampanye. Hal ini sudah dilakukan di Filipina dan Kanada, dan terbuktif efektif menekan biaya politik. Di undang-undang pemilu kita yang diatur hanya batasan sumbangan pihak ketiga kepada kontestan pemilu. Regulasi ini tidak secara langsung berimplikasi menekan politik biaya tinggi sehingga ke depan perlu ada klausul tambahan tentang batasan belanja kampanye untuk kontestan pemilu.
Jika semua pihak punya komitmen menekan politik biaya tinggi dalam pemilihan langsung, niscaya akan tergelar hajat demokrasi elektoral yang memungkinkan tampilnya pemimpin ideal. Pemimpin yang tidak hanya mengandalkan kekuatan modal finansial, tapi visioner dan berkarakter.***
Langganan:
Postingan (Atom)