Sabtu, 01 Maret 2008

Kolom BYAR

Gemuyu

Maafkan. Ini adalah catatan yang terlambat Tapi bagaimanapun harus saya tuliskan. Sebab, semasa hidupnya ia selalu membuat wong cilik gemuyu –meski ia bukanlah pelawak. Ya, Ki Hadi Sugito, dalang kebanggaan warga Kulonprogo yang wafat Januari lalu itu, kiranya tiada duanya dalam hal membuat penonton “gemuyu” –kata ini kurang tepat benar jika disepadankan dengan tertawa. Tertawa hanyalah salah satu aspek saja dari gemuyu. Dan Pak Gito mampu membuat orang tertawa justru karena ia tidak berniat menjadi pelawak. Lalu, apa rahasianya?
Tampaknya lagi-lagi ini soal jarak. Ketika mendalang, Pak Gito tak membuat jarak: baik dengan penonton maupun kru (wiyogo-nya). Penonton dan kru, yang notabene “orang luar cerita”, ia anggap sebagai “satu kesatuan” dari cerita yang ia bangun. Alhasil, lakon yang disuguhkan pun menjadi mengalir lancar dan enak diterima audiens. Dialog antar tokoh wayang pun bisa berloncatan. Kesana-kemari (seakan) tanpa merusak pakem. Seorang Abimanyu bisa pekoleh bersinggungan dengan kentut. Apalagi Punakawan, bebas bicara dari A sampai Z. Padahal, dibanding dalang segenerasinya, Pak Gito lebih “carangan”. Meski jika dibanding dalang masa kini semacam Ki Enthus Susmono dan Warseno Slank, Pak Gito lebih konservatif. Carangan, bagi Pak Gito, kiranya lebih pada “penceritaan”, dan bukan tampilan fisik.
Tentu Pak Gito bukan satu-satunya pemilik teknik ini. Di bidang lain, misalnya, kita pernah mengenal obrolan Pak Besut di RRI. Di dunia tulis menulis, kita ingat kolom Umar Kayam dengan ikonya yang sempat populer: Pak Ageng, Mister Rigen, dll. Di dunia entertainmen kontemporer, banyak yang punya teknik tak hendak berjarak dengan penonton. Talkshow “empat mata” dari Thukul, juga demikian. Semua itu intinya ingin megajak “orang luar” untuk masuk menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita yang disuguhkan.
Tapi, hemat saya, Pak Gito lebih berhasil membawa masuk orang luar itu daripada contoh pencerita (penghibur) lainnya. Apa karena ia sukses memangkas jarak tak hanya tatkala tampil di panggung, namun juga dalam kehidupan sehari-hari? Atau karena wayang memang media yang paling pas digunakan untuk membuat orang gemuyu? Entahlah. Yang jelas dengan meninggalnya Pak Gito kita kian kehilangan stok orang yang bisa mengajak wong cilik gemuyu, tertawa, senang dan bahagia. Yang kita saksikan kini justru banyak orang yang senang mengajak untuk menertawakan kesusahan orang. Seperti kata Thukul: SMS, senang melihat orang lain susah.***
Sumber: Buletin Sastra LONTAR Edisi 15/Thn.II/2008

Tidak ada komentar: