Jumat, 21 November 2008

OPINI

Obsesi Menjadi PNS
Oleh Marwanto
(Radar Jogja, 21/11/2009)

Pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kembali dibuka. Kabar ini segera disambut antusias oleh banyak pihak di negeri ini –suatu fenomena yang menunjukkan bahwa status sebagai PNS masih menjadi obsesi sebagian besar masyarakat kita. Pertanyaannya, mengapa di era sekarang status PNS masih diminati sebagian besar masyarakat?
Pertanyaan tersebut akan menghantarkan kita pada telaah mengenai sejarah panjang birokrasi di negara ini. Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya Demokrasi dan Budaya Birokrasi, menjelaskan untuk memahami birokrasi di negara kita perlu disimak tiga fase perkembangannya. Tiga fase tersebut meliputi: masa kerajaan, masa kolonial dan masa negara nasional. Dari sini diketahui bahwa corak (kultur) birokrasi kita saat ini merupakan warisan birokrasi model kerajaan –terutama kerajaan agraris.
Pada zaman kerajaan, kedudukan birokrasi disebut dengan nama abdi dalem, sebuah istilah yang lebih berorientasi melayani raja daripada rakyat. Dalam perjalanan waktu, para abdi dalem ini menjadi kelas sosial tersendiri yang berbeda dari masyarakat kebanyakan. Apalagi, kedudukannya kemudian diperkuat dengan berbagai atribut yang diperoleh dari kerajaan, misalnya dengan diberi pangkat atau gelar..
Fase kedua, ketika penjajah datang (masa kolonial), birokrasi dikenal dengan sebutan priyayi atau ambtenaar. Sama halnya dengan abdi dalem, priyayi juga mempunyai kedudukan/satuts yang istimewa dalam masyarakat. Selain itu, para priyayi juga sering menempatkan dirinya sebagai bagian dari kekuasaan kolonial, sebagaimana para abdi dalem menganggap dirinya bagian dari kekuasaan kerajaan.
Terakhir, ketika negara nasional terbentuk, birokrasi kita dikenal dengan nama pegawai negeri. Sama seperti dua masa sebelumnya, pegawai negeri juga memiliki strata sosial yang khusus dibanding masyarakat kebanyakan. Kalau kita simak berbagai kegiatan (hajatan) yang ada di masyarakat sekitar, maka akan selalu melibatkan orang yang dianggap terpandang. Dan salah satu segmen dari orang terpandang tersebut adalah mereka yang berstatus sebagai PNS ! Jadi, meski telah ada berbagai perubahan (reformasi) di negeri ini, sama seperti abdi dalem maupun priyayi, pegawai negeri juga acapkali mengidentikan dirinya bagian dari kekuasaan (status-quo).
Menyimak sejarah birokrasi kita yang amat panjang tersebut, ada satu benang merah yang dapat ditarik: bahwa kedudukan atau status sebagai birokrat sering diidentikan dengan menjadi bagian dari sebuah kekuasaan. Dan menjadi bagian dari kekuasaan, di manapun dan kapapun (terutama pada masa sulit atau tak menentu seperti saat ini) akan membuat seseorang merasa aman atau terjamin hidupnya.
Keyakinan seperti ini terutama akan diterima dengan sangat baik (taken for granted) oleh mereka yang memiliki mentalitas agraris. Sesuatu yang nyata-nyata bertolak belakang dari mentalitas (jiwa) wiraswasta –yang meski bisa membuat orang bebas (mandiri) berusaha, tapi penuh spekulasi dan kondisi yang tak pasti. Sementara seperti kita ketahui, saat ini mayoritas masyarakat kita masih bermental agraris. Itulah mengapa setiap ada lowongan CPNS selalu disambut antusias oleh masyarakat.
Kondisi ini sebenarnya bisa kontra-produktif bagi perjalanan bangsa ke depan. Sebagaimana kita tahu, waktu-waktu mendatang bersamaan dengan diberlakukannya pasar bebas yang berdampak makin ketatnya persaingan hidup (berusaha), tentu akan menuntut hadirnya orang-orang yang berjiwa atau punya mentalitas berwiraswasta. Orang-orang yang mandiri, kreatif, tangguh, dan tahan banting. Pendek kata, generasi yang tak hanya bersandar atau menggantungkan hidupnya pada pemerintah (negara).
Tentu obsesi dan pilihan hidup menjadi seorang pegawai negeri adalah sah-sah saja. Namun satu hal yang harus dicatat: ketika obsesi menjadi pegawai negeri hanya karena dilandasi ingin hidupnya aman, tak kena PHK, meski malas kerja tetap dapat gaji, dan dekat dengan kekuasaan, maka disitulah telah tertanam benih bagi timbulnya patologi (penyakit) birokrasi. Mengapa? Sebab kinerja birokrasi akan lebih berorientasi ke atas (kekuasaan) daripada ke bawah (melayani rakyat).
Dari penelitian (untuk keperluan skripsi) yang pernah saya lakukan menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan munculnya patologi birokrasi, sebagian besar karena orientasi aparatur negara lebih kepada melayani atau membuat senang kekuasaan daripada memberi layanan yang memuaskan pada publik. Dengan kata lain, semboyan abdi negara lebih ditonjolkan dibanding abdi masyarakat
Semoga seleksi penerimaan CPNS kali ini mampu menghasilkan para aparatur negara yang benar-benar beriktikad memberi layanan pada publik daripada sekedar membuat senang kekuasaan. Untuk mencapai tujuan ini, maka harus dimulai dengan transparansi rekruitmen PNS !***

Tidak ada komentar: