Selasa, 19 Juli 2011

Politik Biaya Tinggi

Oleh : Marwanto
(Dimuat Harian Jogja, 17 Juli 2010)

Akhir-akhir ini banyak kritik yang dialamatkan pada mekanisme pemilihan langsung (baik itu pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah dan kepala negara/presiden). Salah satu kritik yang paling santer adalah bahwa pemilihan langsung memakan biaya yang sangat tinggi. Biaya tinggi tersebut dikawatirkan akan membawa dampak negatif terhadap kepemimpinan yang terbentuk lewat mekanisme pemilihan langsung tadi.
Meski mekanisme pemilihan langsung punya beberapa sisi positif (misalnya lebih demokratis dan pemimpin yang terpilih memiliki legitimasi kuat), tetapi dalam realitanya sang pemimpin terpilih tadi tidak bisa menyelenggarakan kepemimpinan secara efektif. Hal ini karena sang pemimpin menanggung beban terhadap biaya besar yang dikeluarkan saat mencalonkan.
Biaya tersebut dikeluarkan calon untuk meraih dukungan pemilih dan partai politik (parpol) yang mengusungnya. Dalam konteks Pilkada, walau ada peluang jalur independen namun faktanya parpol tetap sebagai kendaraan utama. Karena banyak tokoh yang mengincar untuk maju di Pilkada, parpol pun akhirnya “dijual” dengan harga selangit.
Tingginya biaya tersebut diperberat kondisi riil bahwa sebagian besar pemilih bersikap pragmatis. Pemilih cenderung memilih calon (pemimpin) yang mampu “memberi sesuatu”. “Sesuatu” itu bisa berujud uang atau benda, yang intinya alat untuk memengaruhi pemilih. Inilah substansi politik uang (money politic) yang kini marak terjadi pada setiap pemilihan pemimpin publik.
Ketika proses pemilihan pemimpin publik mengharuskan biaya tinggi, sebetulnya pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang tidak “bersih”. Tidak bersih dalam pengertian, ia telah dibebani tanggungan berupa besarnya biaya yang digunakan saat proses pemilihan berlangsung. Kalaupun seorang calon tidak mengeluarkan biaya dari sakunya, biasanya ada sponsor (botoh) yang mencukupi. Kalau ini yang terjadi, sebenarnya ia juga tidak “bersih” –sebab ia akan punya keterikatan (kalau tidak bisa disebut ketergantungan) kepada sang botoh, sebagai bentuk balas budi atau deal yang terjadi sebelum proses pemilihan.
Alhasil, ketergantungan tersebut sangat memengaruhi kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. Pertimbangan yang digunakan untuk mengambil kebijakan tak lagi sepenuhnya mengacu pada kemaslahatan bersama. Tapi, lebih pada bagaimana kebijakan tersebut bisa macth dengan kebutuhan dua keterikatan tadi. Maka lahirlah kebijakan yang berbau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Disamping itu, pemimpin yang lahir dari ongkos biaya politik tinggi dipastikan sulit memiliki jiwa pengabdian yang total terhadap jabatan yang diemban. Sorang pemimpin, selain individu yang karena jabatannya diberi kewenangan (kekuasaan), hakekatnya adalah seorang pelayan bagi publik. Pemimpin adalah orang yang diberi mandat oleh rakyat untuk mengambil tindakan dalam rangka mensejahterakan mereka. Dalam konteks ini, maka pengabdian adalah moralitas yang mendasari etos dan kinerja kepemimpinan.
Kepemimpinan yang tercerabut dari moralitas pengabdian pada akhirnya akan membawa dampak fatal: gagal mengimplementasikan tujuan fitrahnya. Kepemimpinan yang jauh dari tujuan semula, yakni mengabdi dalam rangka mensejahterakan rakyat.
Dari problem di atas, agaknya sudah menjadi kebutuhan urgen untuk menciptakan sistem pemilihan langsung yang tidak saja menjamin kompetisi sehat antar kontestan, tapi sebuah pemilihan yang disertai aturan yang punya korelasi langsung menekan politik biaya tinggi. Ihktiar untuk itu bisa diawali dengan membuat regulasi tentang money politics yang rigid dan tegas.
Jika kita amati, aturan money politic yang ada saat ini cenderung bias. Terlebih, sanksi untuk menjerat pelakunya sulit dilaksanakan. Mengapa setiap kali regulasi pemilu direvisi klausul yang mengatur money politics tetap bias? Hal ini mudah ditebak: undang-undang adalah produk hukum dari DPR yang notabene anggotanya terdiri partai politik yang juga kontestan pemilu. Bagaimana para anggota dewan akan membuat aturan yang tegas untuk (menjerat) mereka sendiri?
Melihat realitas demikian, ikhtiar mencegah praktik money politics mau tak mau dibebankan pada Peraturan KPU yang merupakan derivasi dari undang-undang pemilu. Sebagai penyelenggara, KPU dapat membuat peraturan terkait teknis kepemiluan, termasuk yang memuat klausul larangan money politics secara lebih detil, rigid, tidak multi tafsir serta dapat diimplementasikan di lapangan. KPU diharapkan dapat melakukan hal ini secara maksimal, mengingat anggotanya terdiri dari orang independen.
Selain yang berkaitan langsung dengan larangan money politics, perlu juga dibuat aturan mengenai pembatasan belanja kampanye. Hal ini sudah dilakukan di Filipina dan Kanada, dan terbuktif efektif menekan biaya politik. Di undang-undang pemilu kita yang diatur hanya batasan sumbangan pihak ketiga kepada kontestan pemilu. Regulasi ini tidak secara langsung berimplikasi menekan politik biaya tinggi sehingga ke depan perlu ada klausul tambahan tentang batasan belanja kampanye untuk kontestan pemilu.
Jika semua pihak punya komitmen menekan politik biaya tinggi dalam pemilihan langsung, niscaya akan tergelar hajat demokrasi elektoral yang memungkinkan tampilnya pemimpin ideal. Pemimpin yang tidak hanya mengandalkan kekuatan modal finansial, tapi visioner dan berkarakter.***

Tidak ada komentar: