Pamflet
Tiga bulan lalu saya mendapat kiriman 2 eksemplar Inilah Pamflet Itu. Buku antologi puisi tersebut di-pos-kan oleh Hersri Setiawan dari salah satu sudut kota Jakarta. Memang, sejak digelar Temu Sastra Tiga Kota (Yogyakarta, Kulonprogo, Purworejo) di Wates pada Januari lalu dimana ia tak bisa menghadiri, saya dan Pak Hersri berulangkali berniat jumpa darat. Namun selalu gagal. Mungkin, untuk sementara, hadirnya buku tersebut menjadi pengganti pertemuan kami.
Tapi mengapa Hersri memilih judul Pamflet? Dua ratus tiga puluh dua tahun lampau Thomas Paine menerbitkan Common Sense --dengan tebal 47 halaman, hemat saya, ia adalah “pamflet dalam arti yang sebenarnya”. Sebab pamflet adalah membakar. Dan tak ada buku dalam sejarah kesusastraan yang mempunyai pengaruh begitu cepat seperti Common Sense. Buku ini bagai sangkakala memanggil kolonis Amerika untuk bangkit memperjuangkan kemerdekaan mereka tanpa kompromi dan tiada sangsi”, demikian tulis Robert B Down dalam Books That Change The World.
Dan, memang, Inilah Pamflet Itu bukanlah Common Sense. Tapi, dalam salah satu sajaknya, kita bisa menemui semangat yang membakar. Coba simak bait akhir sajak “Suara Jalanan”: hidup//merebut kemerdekaan, hidup//merebut kemanusiaan. Sebuah ungkapan lugas nan sederhana. Tapi, agaknya, ada magma yang (tak henti-hentinya) hendak dimuntahkan --oleh seorang tua berambut perak yang senantiasa berjiwa muda, yang pernah merasakan betapa kejamnya kekuasaan yang tercerabut dari cinta.
Ya, meski gema muntahan itu tak sedahsyat goresan Paine. Apalagi ditengah masyarakat ramai bangsa ini yang notabene telah bebal terhadap bisikan hakiki kemanusiaan. Pada bangsa yang terdiri dari tatal-tatal, anasir di dalamnya justru amat peka terhadap hal yang berbau remeh temeh. Aliran, Klik, komunitas, golongan, dan segala bentuk pengkotakan lainnya bagaikan bom bersumbu poendek. Alhasil, organisasi semacam FPI tak butuh lagi selembar pamflet. Sebab “ia adalah pamflet itu sendiri”.
Di sini, masihkah hidup//merebut kemerdekaan, hidup//merebut kemanusiaan mampu bergema? Saya ragu. Tapi, saya yakin masih ada yang sudi bersuara …..
SUMBER: Buletin Sastra LONTAR edisi 18/Th.II/2008
Jumat, 06 Juni 2008
Sabtu, 24 Mei 2008
KOLOM BYAR
Bangun
Adakah Kristal//(yang sungguh kristal)//mengganti tatal-tatal
Sebagai indahnya gurun//dilukis waktu bangun (1999)
Puisi tersebut mendadak muncul diingatan ketika saya bangun pada sebuah pagi tanggal 21 Mei 2008 di salah satu sudut kampung Kemayoran (Jakarta Pusat). Memang, tak ada gurun di Jakarta. Lanskap ibukota masih seperti biasa: lalu lintas semrawut, pemukiman kumuh menyobek keindahan gedung bertingkat, dan air sungai mengecer bau tak sedap. Aktivitas warga pun tak ada yang istimewa. Namun, di kampung tempat saya singgah sejenak tersebut, ada juga warga yang bicara satu abad kebangkitan nasional. We-eh, benarkah gema peringatan seabad kebangkitan nasional menyusup hingga ke pelosok orang-orang kecil?
Saya takjub pada obrolan mereka –orang biasa yang hidup terjepit diantara keangkuhan dan hiprokrisi pengusa. “Mana bisa bangkit? Apa yang masih kita miliki? Semua sudah dijual ke orang asing…!” Dan kemudian, masyaAllah, mereka begitu hafal mengabsen aset milik bangsa kita yang telah pindah tangan ke pihak asing. “Yang realistis, kita menjadi gelandangan di kampung sendiri”, lanjut mereka (seakan menirukan sebuah judul buku karya budayawan Emha Ainun Nadjib). Saya hanya bengong mendengar obrolan mereka. Lalu beranjak keluar rumah, keluar gang, mencari metro mini untuk keliling ibukota. Dari jendela bus, gambaran bangsa ini melintas di angan:
Pasca reformasi sepuluh tahun silam, bangsa ini mirip tatal. Pecahan atau kepingan dari keseluruhan. Tatal yang dalam dunia pertukangan hanya layak dibuang. Tak jauh beda dengan sampah. Tapi, sebentar, menurut ilmunya para wali, justru dari kepingan atau tatal itulah kita bisa meraih “kristal”. Mau amsal? Tiang utama Masjid Agung Demak. Barangkali ini yang jarang kita sadari: bangsa kita justru kuat karena berangkat dari tatal-tatal.
Selain mirip tatal, kondisi bangsa kita juga seperti gurun yang gersang: seakan siapa saja yang memerintah tak bakalan merubah keadaan. Tapi bukankah dalam gurun itu ada oase. Dan, seperti bunyi sebuah sajak, bukankah gurun dan oase masih saling setia? Tafsir dari larik kalimat ini memang tidak tunggal. Dalam konteks ini, bisa saja ditafsirkan: dalam kesulitan ada kemudahan. Maksudnya, sesulit apapun kendala yang dihadapi bangsa ini, sebuah kebangkitan dari keterpurukan itu tetap ada. Agaknya, yang luput kita telisik adalah “belum ada kesinambungan antara bangkit dan bangun”. Kita maunya bangkit, tapi sejatinya belum bangun. Padahal kalau kita sudah “bangun”, apapun yang kita lihat terasa indah. Gurun gersang sekalipun.
Sumber: Buletin Sastra LONTAR edisi 17/Th.II/2008
Adakah Kristal//(yang sungguh kristal)//mengganti tatal-tatal
Sebagai indahnya gurun//dilukis waktu bangun (1999)
Puisi tersebut mendadak muncul diingatan ketika saya bangun pada sebuah pagi tanggal 21 Mei 2008 di salah satu sudut kampung Kemayoran (Jakarta Pusat). Memang, tak ada gurun di Jakarta. Lanskap ibukota masih seperti biasa: lalu lintas semrawut, pemukiman kumuh menyobek keindahan gedung bertingkat, dan air sungai mengecer bau tak sedap. Aktivitas warga pun tak ada yang istimewa. Namun, di kampung tempat saya singgah sejenak tersebut, ada juga warga yang bicara satu abad kebangkitan nasional. We-eh, benarkah gema peringatan seabad kebangkitan nasional menyusup hingga ke pelosok orang-orang kecil?
Saya takjub pada obrolan mereka –orang biasa yang hidup terjepit diantara keangkuhan dan hiprokrisi pengusa. “Mana bisa bangkit? Apa yang masih kita miliki? Semua sudah dijual ke orang asing…!” Dan kemudian, masyaAllah, mereka begitu hafal mengabsen aset milik bangsa kita yang telah pindah tangan ke pihak asing. “Yang realistis, kita menjadi gelandangan di kampung sendiri”, lanjut mereka (seakan menirukan sebuah judul buku karya budayawan Emha Ainun Nadjib). Saya hanya bengong mendengar obrolan mereka. Lalu beranjak keluar rumah, keluar gang, mencari metro mini untuk keliling ibukota. Dari jendela bus, gambaran bangsa ini melintas di angan:
Pasca reformasi sepuluh tahun silam, bangsa ini mirip tatal. Pecahan atau kepingan dari keseluruhan. Tatal yang dalam dunia pertukangan hanya layak dibuang. Tak jauh beda dengan sampah. Tapi, sebentar, menurut ilmunya para wali, justru dari kepingan atau tatal itulah kita bisa meraih “kristal”. Mau amsal? Tiang utama Masjid Agung Demak. Barangkali ini yang jarang kita sadari: bangsa kita justru kuat karena berangkat dari tatal-tatal.
Selain mirip tatal, kondisi bangsa kita juga seperti gurun yang gersang: seakan siapa saja yang memerintah tak bakalan merubah keadaan. Tapi bukankah dalam gurun itu ada oase. Dan, seperti bunyi sebuah sajak, bukankah gurun dan oase masih saling setia? Tafsir dari larik kalimat ini memang tidak tunggal. Dalam konteks ini, bisa saja ditafsirkan: dalam kesulitan ada kemudahan. Maksudnya, sesulit apapun kendala yang dihadapi bangsa ini, sebuah kebangkitan dari keterpurukan itu tetap ada. Agaknya, yang luput kita telisik adalah “belum ada kesinambungan antara bangkit dan bangun”. Kita maunya bangkit, tapi sejatinya belum bangun. Padahal kalau kita sudah “bangun”, apapun yang kita lihat terasa indah. Gurun gersang sekalipun.
Sumber: Buletin Sastra LONTAR edisi 17/Th.II/2008
ESAI
KESUSASTRAAN
Puisi, Siapa Masih Peduli?
Kompas: Sabtu, 26 April 2008 01:20 WIB
Konon, penetapan 28 April - tanggal wafatnya penyair Angkatan 45, Chairil Anwar - sebagai Hari Puisi Nasional masih menjadi perdebatan. Namun, bagi sejumlah penggiat seni dan sastra, bagaimanapun bulan April tetap lekat dengan dunia puisi.
Tentu bukan tanpa alasan, wafatnya Chairil Anwar dijadikan momentum Hari Puisi Nasional. Dengan tidak mengecilkan peran dan eksistensi penyair lainnya, mulai dari Amir Hamzah, Sitor Situmorang, WS Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, dan seterusnya, mesti diakui Chairil Anwar memiliki kedudukan khusus dalam khazanah sastra (terutama puisi) di Indonesia.
Pada umumnya, sebagian pengamat berpendapat bahwa jasa terpenting Chairil Anwar adalah ”pendobrakannya” terhadap bahasa ungkap penyair angkatan sebelumnya (baca: Pujangga Baru). Dengan penjelajahan bahasa yang intens, akhirnya ia temukan sebuah bahasa ungkap yang khas dirinya: lugas, padat, tegas, langsung menghunjam ke jantung hati para pembaca karyanya. Hal inilah yang menjadi tonggak penting perkembangan kesusastraan Indonesia sehingga HB Jassin menyebut Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan ’45.
Sebenarnya tidak hanya dari sisi sebagai penyair, kita bisa becermin pada sosok Chairil Anwar. Dari pengakuan Sri Ajati, gadis yang namanya diabadikan dalam sajaknya, Senja di Pelabuhan Kecil, kita bisa tahu Chairil adalah sosok yang di dalam hatinya selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu. Atau dari surat ”Pernyataan Gelanggang” yang ia buat bersama Asrul Sani, yang penggalannya berbunyi: Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, …… tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Dari sinilah sebenarnya peran Chairil Anwar tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang berjasa (pahlawan) pada masa itu. Namun, mengapa di bulan April ini kita lebih mengenal sosok RA Kartini?
Bisa jadi, bukan karena RA Kartini lebih ”hebat” daripada Chairil Anwar, tetapi lebih karena di zaman yang serba pragmatis saat ini, keberadaan puisi sudah tak dipandang penting lagi. Ah, puisi! Siapa yang masih peduli? Apakah di zaman yang serba susah di mana banyak orang kelaparan, puisi bisa menggantikan nasi? Apa kegunaan puisi?
Sudah tentu jika titik berangkat kita seperti itu (pragmatisme hidup), puisi tak akan bisa menjawab. Sebab, puisi adalah bahasa batin, ungkapan kejujuran, dan penghalus rasa. Ia akan terasa absurd jika dihubungkan secara langsung dengan problem riil (perut) sehari-hari. Orang yang kelaparan tak akan bisa menjadi kenyang hanya dengan membaca puisi.
Pun ungkapan terkenal dari John F Kennedy, ”bahwa jika politik bengkok, maka puisi yang akan meluruskan”. Pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat tersebut akan janggal jika kita terima secara mentah apa adanya (tersurat).
Dulu, salah seorang anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, almarhum KH Yusuf Muhammad, sering membaca puisi saat sidang di parlemen mencapai titik buntu.
Pengenalan puisi pada ranah kehidupan praktis, misalnya politik, seperti yang dilakukan KH Yusuf Muhammad di atas, tentu tidak untuk menyelesaikan masalah secara langsung.
Perdebatan di gedung wakil rakyat akan terus berjalan alot meski seribu puisi dikumandangkan. Korupsi juga masih jalan terus meski puisi dihadirkan. Namun, paling tidak, pada saat ”kesadaran kemanusiaan” kita genting, batin kita diketuk, kejujuran digugah, dan kehalusan rasa dibangkitkan. Maka, kiranya hanya orang yang tak beradab yang menganggap puisi tak penting. Dan, seperti dikatakan HB Jassin, hanya koran bar-bar yang tak memberi ruang (rubrik) kepada puisi.
Sudah pasti kita akan tersinggung jika dianggap tak beradab. Sakit hati dipandang sebagai bangsa bar-bar. Namun, kita tak risi sedikit pun jika dinilai sebagai orang (bangsa) yang tak mengenal puisi. Padahal, puisi adalah salah satu jalan menuju kita beradab dan bermartabat.
Ini berarti, dalam persepsi masyarakat, belum ada korelasi yang positif antara keberadaan puisi dan keberadaban sebuah bangsa. Mengapa?
Tak dianggap penting
Mengapa masih saja keberadaan puisi tak dianggap penting? Berapa persen dari pembaca surat kabar yang menyempatkan dirinya membaca (atau sekadar melihat sekejap) rubrik puisi? Dan berapa persen dari masyarakat yang hobi membeli buku tiap bulan menyisihkan uangnya guna membeli buku-buku puisi?
Dari sini kritik terhadap keberadaan puisi wajar dilontarkan. Salah satu jawaban yang paling mungkin dikemukakan adalah muatan puisi tak relevan dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, puisi (beserta penyairnya) hanya asyik menikmati dunianya sendiri. Isi puisi tak lagi membumi dan menyentuh realita kehidupan.
Benarkah puisi yang kini berseliweran di media massa tak lagi menyentuh dan membumi? Sebagian dari kita mungkin menjawab ya. Sebab, pascajaya-jayanya WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, atau Wiji Thukul yang mengusung ”puisi sosial”, kini terasa sulit ditemui puisi sosial yang dapat diandalkan, puisi sosial yang menggetarkan.
Kebanyakan puisi yang kini hadir relatif hanya bertutur dan bergumam pada diri sendiri. Kalau puisi-puisi yang tercipta tak lagi membumi, siapa yang masih peduli pada puisi tentu akan bisa dengan mudah dihitung dengan jari.
Dari sinilah sejatinya, para penyair dituntut untuk terus-menerus intens menggauli hidup dan menjelajah bahasa ungkap supaya karyanya membumi. Dan yang perlu dicatat: setiap episode zaman tentu membutuhkan kecerdikan tersendiri untuk menghasilkan sebuah puisi yang ”bisa diterima” publik. Maka teruslah berkarya, berkreasi, mengetuk batin, menggugah kejujuran, menghaluskan rasa. Tanpa henti, tanpa henti. Hingga hilang pedih peri….
MARWANTO, Sastrawan, Bergiat di Komunitas Lumbung Aksara (LA), Kulon Progo, Yogyakarta
STOP PRESS !!!
Penulis yang Baik Tak Layak Pensiun
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 25/04/2008
CERPENIS dan penyair Marwanto meluncurkan antologi puisi bertajuk 'Menaksir Waktu'. "Karya-karya puisi atau sajak ini saya tulis tahun 1992 hingga 2002," ucapnya. Materi tersebut sudah menumpuk terlalu lama, kemudian Komunitas Lumbung Aksara bersama www.makbyar.blogspot.com punya ide menerbitkan secara sederhana. Meski beberapa puisi juga sudah ada yang muncul dalam antologi 'Seorang Gadis Sesobek Indonesia: Antologi Puisi Kulonprogo' (2006). Tentang materi puisi-puisi itu, Marwanto berkisah. Pertengahan tahun 1991, ketika kuliah di UNS Solo, mulai membiasakan diri mencoret-coret buku harian. Ia ingat nasihat, kata orang menulis di buku harian merupakan awal yang baik untuk menjadi penulis. "Memang sampai sekarang saya merasa belum berhasil menjadi penulis," ucap Marwanto. Dari dokumentasi coret-coret, ada sejumlah tulisan yang dianggap layak untuk dijadikan antologi dan dihadirkan ke publik sastra. Diakui, pensiun menulis puisi memang terasa tidak enak. "Saya sering mengibaratkan seperti lelaki yang dipaksa menyeret syahwat, atau sepasang kekasih yang menahan rindu," ucapnya. Marwanto juga berbaur dengan Lumbung Aksara, dirinya membatalkan ikrar tidak menulis puisi. "Saya akhirnya berkesimpulan, penulis yang baik tak layak pensiun dari menulis puisi. Puisi tidak boleh mati," tandasnya. (Jay) -m
Puisi, Siapa Masih Peduli?
Kompas: Sabtu, 26 April 2008 01:20 WIB
Konon, penetapan 28 April - tanggal wafatnya penyair Angkatan 45, Chairil Anwar - sebagai Hari Puisi Nasional masih menjadi perdebatan. Namun, bagi sejumlah penggiat seni dan sastra, bagaimanapun bulan April tetap lekat dengan dunia puisi.
Tentu bukan tanpa alasan, wafatnya Chairil Anwar dijadikan momentum Hari Puisi Nasional. Dengan tidak mengecilkan peran dan eksistensi penyair lainnya, mulai dari Amir Hamzah, Sitor Situmorang, WS Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, dan seterusnya, mesti diakui Chairil Anwar memiliki kedudukan khusus dalam khazanah sastra (terutama puisi) di Indonesia.
Pada umumnya, sebagian pengamat berpendapat bahwa jasa terpenting Chairil Anwar adalah ”pendobrakannya” terhadap bahasa ungkap penyair angkatan sebelumnya (baca: Pujangga Baru). Dengan penjelajahan bahasa yang intens, akhirnya ia temukan sebuah bahasa ungkap yang khas dirinya: lugas, padat, tegas, langsung menghunjam ke jantung hati para pembaca karyanya. Hal inilah yang menjadi tonggak penting perkembangan kesusastraan Indonesia sehingga HB Jassin menyebut Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan ’45.
Sebenarnya tidak hanya dari sisi sebagai penyair, kita bisa becermin pada sosok Chairil Anwar. Dari pengakuan Sri Ajati, gadis yang namanya diabadikan dalam sajaknya, Senja di Pelabuhan Kecil, kita bisa tahu Chairil adalah sosok yang di dalam hatinya selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu. Atau dari surat ”Pernyataan Gelanggang” yang ia buat bersama Asrul Sani, yang penggalannya berbunyi: Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, …… tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Dari sinilah sebenarnya peran Chairil Anwar tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang berjasa (pahlawan) pada masa itu. Namun, mengapa di bulan April ini kita lebih mengenal sosok RA Kartini?
Bisa jadi, bukan karena RA Kartini lebih ”hebat” daripada Chairil Anwar, tetapi lebih karena di zaman yang serba pragmatis saat ini, keberadaan puisi sudah tak dipandang penting lagi. Ah, puisi! Siapa yang masih peduli? Apakah di zaman yang serba susah di mana banyak orang kelaparan, puisi bisa menggantikan nasi? Apa kegunaan puisi?
Sudah tentu jika titik berangkat kita seperti itu (pragmatisme hidup), puisi tak akan bisa menjawab. Sebab, puisi adalah bahasa batin, ungkapan kejujuran, dan penghalus rasa. Ia akan terasa absurd jika dihubungkan secara langsung dengan problem riil (perut) sehari-hari. Orang yang kelaparan tak akan bisa menjadi kenyang hanya dengan membaca puisi.
Pun ungkapan terkenal dari John F Kennedy, ”bahwa jika politik bengkok, maka puisi yang akan meluruskan”. Pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat tersebut akan janggal jika kita terima secara mentah apa adanya (tersurat).
Dulu, salah seorang anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, almarhum KH Yusuf Muhammad, sering membaca puisi saat sidang di parlemen mencapai titik buntu.
Pengenalan puisi pada ranah kehidupan praktis, misalnya politik, seperti yang dilakukan KH Yusuf Muhammad di atas, tentu tidak untuk menyelesaikan masalah secara langsung.
Perdebatan di gedung wakil rakyat akan terus berjalan alot meski seribu puisi dikumandangkan. Korupsi juga masih jalan terus meski puisi dihadirkan. Namun, paling tidak, pada saat ”kesadaran kemanusiaan” kita genting, batin kita diketuk, kejujuran digugah, dan kehalusan rasa dibangkitkan. Maka, kiranya hanya orang yang tak beradab yang menganggap puisi tak penting. Dan, seperti dikatakan HB Jassin, hanya koran bar-bar yang tak memberi ruang (rubrik) kepada puisi.
Sudah pasti kita akan tersinggung jika dianggap tak beradab. Sakit hati dipandang sebagai bangsa bar-bar. Namun, kita tak risi sedikit pun jika dinilai sebagai orang (bangsa) yang tak mengenal puisi. Padahal, puisi adalah salah satu jalan menuju kita beradab dan bermartabat.
Ini berarti, dalam persepsi masyarakat, belum ada korelasi yang positif antara keberadaan puisi dan keberadaban sebuah bangsa. Mengapa?
Tak dianggap penting
Mengapa masih saja keberadaan puisi tak dianggap penting? Berapa persen dari pembaca surat kabar yang menyempatkan dirinya membaca (atau sekadar melihat sekejap) rubrik puisi? Dan berapa persen dari masyarakat yang hobi membeli buku tiap bulan menyisihkan uangnya guna membeli buku-buku puisi?
Dari sini kritik terhadap keberadaan puisi wajar dilontarkan. Salah satu jawaban yang paling mungkin dikemukakan adalah muatan puisi tak relevan dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, puisi (beserta penyairnya) hanya asyik menikmati dunianya sendiri. Isi puisi tak lagi membumi dan menyentuh realita kehidupan.
Benarkah puisi yang kini berseliweran di media massa tak lagi menyentuh dan membumi? Sebagian dari kita mungkin menjawab ya. Sebab, pascajaya-jayanya WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, atau Wiji Thukul yang mengusung ”puisi sosial”, kini terasa sulit ditemui puisi sosial yang dapat diandalkan, puisi sosial yang menggetarkan.
Kebanyakan puisi yang kini hadir relatif hanya bertutur dan bergumam pada diri sendiri. Kalau puisi-puisi yang tercipta tak lagi membumi, siapa yang masih peduli pada puisi tentu akan bisa dengan mudah dihitung dengan jari.
Dari sinilah sejatinya, para penyair dituntut untuk terus-menerus intens menggauli hidup dan menjelajah bahasa ungkap supaya karyanya membumi. Dan yang perlu dicatat: setiap episode zaman tentu membutuhkan kecerdikan tersendiri untuk menghasilkan sebuah puisi yang ”bisa diterima” publik. Maka teruslah berkarya, berkreasi, mengetuk batin, menggugah kejujuran, menghaluskan rasa. Tanpa henti, tanpa henti. Hingga hilang pedih peri….
MARWANTO, Sastrawan, Bergiat di Komunitas Lumbung Aksara (LA), Kulon Progo, Yogyakarta
STOP PRESS !!!
Penulis yang Baik Tak Layak Pensiun
Dimuat Kedaulatan Rakyat, 25/04/2008
CERPENIS dan penyair Marwanto meluncurkan antologi puisi bertajuk 'Menaksir Waktu'. "Karya-karya puisi atau sajak ini saya tulis tahun 1992 hingga 2002," ucapnya. Materi tersebut sudah menumpuk terlalu lama, kemudian Komunitas Lumbung Aksara bersama www.makbyar.blogspot.com punya ide menerbitkan secara sederhana. Meski beberapa puisi juga sudah ada yang muncul dalam antologi 'Seorang Gadis Sesobek Indonesia: Antologi Puisi Kulonprogo' (2006). Tentang materi puisi-puisi itu, Marwanto berkisah. Pertengahan tahun 1991, ketika kuliah di UNS Solo, mulai membiasakan diri mencoret-coret buku harian. Ia ingat nasihat, kata orang menulis di buku harian merupakan awal yang baik untuk menjadi penulis. "Memang sampai sekarang saya merasa belum berhasil menjadi penulis," ucap Marwanto. Dari dokumentasi coret-coret, ada sejumlah tulisan yang dianggap layak untuk dijadikan antologi dan dihadirkan ke publik sastra. Diakui, pensiun menulis puisi memang terasa tidak enak. "Saya sering mengibaratkan seperti lelaki yang dipaksa menyeret syahwat, atau sepasang kekasih yang menahan rindu," ucapnya. Marwanto juga berbaur dengan Lumbung Aksara, dirinya membatalkan ikrar tidak menulis puisi. "Saya akhirnya berkesimpulan, penulis yang baik tak layak pensiun dari menulis puisi. Puisi tidak boleh mati," tandasnya. (Jay) -m
Jumat, 07 Maret 2008
Kolom BYAR
Cerutu & Celana (1)
Foto itu masih saya ingat hingga kini: seorang penguasa yang sedang menghadapi gemuruh demonstrasi rakyatnya tampak menggigit ujung cerutu ketika menerima laporan dari salah satu pembantunya. Wajahnya garang. Tentu amarah sedang membuncah, dan belum tahu akan mengetukkan palu dengan cara apa: menyerah atau perang ! Foto itu beredar di sejumlah media pada 19 Mei 1998.
Dua hari kemudian Soeharto memang lengser. Tapi, agaknya, itulah potret ketika “Sang Raja” sedang berada dalam masa puncak menghadapi tantangan. Meski, kenyataannya, jarak ketika seorang dalam posisi “on” dan “off” teramat pendek. Benar pula kata orang arif: bahwa sebelum mengakhiri nyala terakhir sebuah lentera akan berkobar-kobar sebentar. Amsal lain: seorang yang sedang orgasme tentu akan menggebu-neggebu, sebelum akhirnya lemas-lunglai. Agaknya, waktu itu Soeharto tak sedang "orgasme". Ia lebih mendekati amsal yang pertama. Dan itulah tafsir dari foto tersebut: ekspresi dari nyala yang berkobar-kobar sebelum akhirnya padam.
Disamping itu, barangkali bisa diajukan tesis yang lain: bahwa cerutu telah menjadi alat pelampias dari (beberapa kemungkinan rasa berikut): kalap, gundah, marah, … Konon, kita sering juga disuguhi adegan ini: orang yang mendapat tekanan berat (stres), berulang kali mematikan cerutunya dan menyulut yang baru untuk secepat mungkin ia matikan lagi. Begitu seterusnya, berulang-ulang. Di sini, cerutu bukan karib yang baik untuk dinikmati kelezatannya atau bersama-sama si penghisap “menikmati ngehnya suasana”. Cerutu tinggal obyek penderita.
Jika seluruh manusia penghuni planet bumi ini mengalami hal serupa tentu yang paling untung adalah pabrik rokok. Sebab ia akan mengalami peningkatan penjualan secara drastis. Bayangkan, jika dalam kondisi biasa seorang perlu sehari untuk menghabiskan satu sampai dua bungkus rokok, dalam kondisi stres (kalap), ia cuma perlu satu atau dua jam. Dan, selain tak baik bagi kesehatan (fisik manusia), juga bisa memunculkan peresaingan usaha yang tidak adil.
Barangkali, ya barangkali, karena tak bersetuju dengan dampak yang ditimbulkan dari kasus “cerutu sebagai alat pelampias”, maka bebberapa tahun kemudian seorang nomor satu di sebuah republik memilih celana sebagai “alat pelampias”. Benarkah? Apa maksudnya? (Bersambung)
Sumber: Buletin Sastra LONTAR, edisi 16/Tahun II/2008
Foto itu masih saya ingat hingga kini: seorang penguasa yang sedang menghadapi gemuruh demonstrasi rakyatnya tampak menggigit ujung cerutu ketika menerima laporan dari salah satu pembantunya. Wajahnya garang. Tentu amarah sedang membuncah, dan belum tahu akan mengetukkan palu dengan cara apa: menyerah atau perang ! Foto itu beredar di sejumlah media pada 19 Mei 1998.
Dua hari kemudian Soeharto memang lengser. Tapi, agaknya, itulah potret ketika “Sang Raja” sedang berada dalam masa puncak menghadapi tantangan. Meski, kenyataannya, jarak ketika seorang dalam posisi “on” dan “off” teramat pendek. Benar pula kata orang arif: bahwa sebelum mengakhiri nyala terakhir sebuah lentera akan berkobar-kobar sebentar. Amsal lain: seorang yang sedang orgasme tentu akan menggebu-neggebu, sebelum akhirnya lemas-lunglai. Agaknya, waktu itu Soeharto tak sedang "orgasme". Ia lebih mendekati amsal yang pertama. Dan itulah tafsir dari foto tersebut: ekspresi dari nyala yang berkobar-kobar sebelum akhirnya padam.
Disamping itu, barangkali bisa diajukan tesis yang lain: bahwa cerutu telah menjadi alat pelampias dari (beberapa kemungkinan rasa berikut): kalap, gundah, marah, … Konon, kita sering juga disuguhi adegan ini: orang yang mendapat tekanan berat (stres), berulang kali mematikan cerutunya dan menyulut yang baru untuk secepat mungkin ia matikan lagi. Begitu seterusnya, berulang-ulang. Di sini, cerutu bukan karib yang baik untuk dinikmati kelezatannya atau bersama-sama si penghisap “menikmati ngehnya suasana”. Cerutu tinggal obyek penderita.
Jika seluruh manusia penghuni planet bumi ini mengalami hal serupa tentu yang paling untung adalah pabrik rokok. Sebab ia akan mengalami peningkatan penjualan secara drastis. Bayangkan, jika dalam kondisi biasa seorang perlu sehari untuk menghabiskan satu sampai dua bungkus rokok, dalam kondisi stres (kalap), ia cuma perlu satu atau dua jam. Dan, selain tak baik bagi kesehatan (fisik manusia), juga bisa memunculkan peresaingan usaha yang tidak adil.
Barangkali, ya barangkali, karena tak bersetuju dengan dampak yang ditimbulkan dari kasus “cerutu sebagai alat pelampias”, maka bebberapa tahun kemudian seorang nomor satu di sebuah republik memilih celana sebagai “alat pelampias”. Benarkah? Apa maksudnya? (Bersambung)
Sumber: Buletin Sastra LONTAR, edisi 16/Tahun II/2008
Sabtu, 01 Maret 2008
Kolom BYAR
Gemuyu
Maafkan. Ini adalah catatan yang terlambat Tapi bagaimanapun harus saya tuliskan. Sebab, semasa hidupnya ia selalu membuat wong cilik gemuyu –meski ia bukanlah pelawak. Ya, Ki Hadi Sugito, dalang kebanggaan warga Kulonprogo yang wafat Januari lalu itu, kiranya tiada duanya dalam hal membuat penonton “gemuyu” –kata ini kurang tepat benar jika disepadankan dengan tertawa. Tertawa hanyalah salah satu aspek saja dari gemuyu. Dan Pak Gito mampu membuat orang tertawa justru karena ia tidak berniat menjadi pelawak. Lalu, apa rahasianya?
Tampaknya lagi-lagi ini soal jarak. Ketika mendalang, Pak Gito tak membuat jarak: baik dengan penonton maupun kru (wiyogo-nya). Penonton dan kru, yang notabene “orang luar cerita”, ia anggap sebagai “satu kesatuan” dari cerita yang ia bangun. Alhasil, lakon yang disuguhkan pun menjadi mengalir lancar dan enak diterima audiens. Dialog antar tokoh wayang pun bisa berloncatan. Kesana-kemari (seakan) tanpa merusak pakem. Seorang Abimanyu bisa pekoleh bersinggungan dengan kentut. Apalagi Punakawan, bebas bicara dari A sampai Z. Padahal, dibanding dalang segenerasinya, Pak Gito lebih “carangan”. Meski jika dibanding dalang masa kini semacam Ki Enthus Susmono dan Warseno Slank, Pak Gito lebih konservatif. Carangan, bagi Pak Gito, kiranya lebih pada “penceritaan”, dan bukan tampilan fisik.
Tentu Pak Gito bukan satu-satunya pemilik teknik ini. Di bidang lain, misalnya, kita pernah mengenal obrolan Pak Besut di RRI. Di dunia tulis menulis, kita ingat kolom Umar Kayam dengan ikonya yang sempat populer: Pak Ageng, Mister Rigen, dll. Di dunia entertainmen kontemporer, banyak yang punya teknik tak hendak berjarak dengan penonton. Talkshow “empat mata” dari Thukul, juga demikian. Semua itu intinya ingin megajak “orang luar” untuk masuk menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita yang disuguhkan.
Tapi, hemat saya, Pak Gito lebih berhasil membawa masuk orang luar itu daripada contoh pencerita (penghibur) lainnya. Apa karena ia sukses memangkas jarak tak hanya tatkala tampil di panggung, namun juga dalam kehidupan sehari-hari? Atau karena wayang memang media yang paling pas digunakan untuk membuat orang gemuyu? Entahlah. Yang jelas dengan meninggalnya Pak Gito kita kian kehilangan stok orang yang bisa mengajak wong cilik gemuyu, tertawa, senang dan bahagia. Yang kita saksikan kini justru banyak orang yang senang mengajak untuk menertawakan kesusahan orang. Seperti kata Thukul: SMS, senang melihat orang lain susah.***
Sumber: Buletin Sastra LONTAR Edisi 15/Thn.II/2008
Maafkan. Ini adalah catatan yang terlambat Tapi bagaimanapun harus saya tuliskan. Sebab, semasa hidupnya ia selalu membuat wong cilik gemuyu –meski ia bukanlah pelawak. Ya, Ki Hadi Sugito, dalang kebanggaan warga Kulonprogo yang wafat Januari lalu itu, kiranya tiada duanya dalam hal membuat penonton “gemuyu” –kata ini kurang tepat benar jika disepadankan dengan tertawa. Tertawa hanyalah salah satu aspek saja dari gemuyu. Dan Pak Gito mampu membuat orang tertawa justru karena ia tidak berniat menjadi pelawak. Lalu, apa rahasianya?
Tampaknya lagi-lagi ini soal jarak. Ketika mendalang, Pak Gito tak membuat jarak: baik dengan penonton maupun kru (wiyogo-nya). Penonton dan kru, yang notabene “orang luar cerita”, ia anggap sebagai “satu kesatuan” dari cerita yang ia bangun. Alhasil, lakon yang disuguhkan pun menjadi mengalir lancar dan enak diterima audiens. Dialog antar tokoh wayang pun bisa berloncatan. Kesana-kemari (seakan) tanpa merusak pakem. Seorang Abimanyu bisa pekoleh bersinggungan dengan kentut. Apalagi Punakawan, bebas bicara dari A sampai Z. Padahal, dibanding dalang segenerasinya, Pak Gito lebih “carangan”. Meski jika dibanding dalang masa kini semacam Ki Enthus Susmono dan Warseno Slank, Pak Gito lebih konservatif. Carangan, bagi Pak Gito, kiranya lebih pada “penceritaan”, dan bukan tampilan fisik.
Tentu Pak Gito bukan satu-satunya pemilik teknik ini. Di bidang lain, misalnya, kita pernah mengenal obrolan Pak Besut di RRI. Di dunia tulis menulis, kita ingat kolom Umar Kayam dengan ikonya yang sempat populer: Pak Ageng, Mister Rigen, dll. Di dunia entertainmen kontemporer, banyak yang punya teknik tak hendak berjarak dengan penonton. Talkshow “empat mata” dari Thukul, juga demikian. Semua itu intinya ingin megajak “orang luar” untuk masuk menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita yang disuguhkan.
Tapi, hemat saya, Pak Gito lebih berhasil membawa masuk orang luar itu daripada contoh pencerita (penghibur) lainnya. Apa karena ia sukses memangkas jarak tak hanya tatkala tampil di panggung, namun juga dalam kehidupan sehari-hari? Atau karena wayang memang media yang paling pas digunakan untuk membuat orang gemuyu? Entahlah. Yang jelas dengan meninggalnya Pak Gito kita kian kehilangan stok orang yang bisa mengajak wong cilik gemuyu, tertawa, senang dan bahagia. Yang kita saksikan kini justru banyak orang yang senang mengajak untuk menertawakan kesusahan orang. Seperti kata Thukul: SMS, senang melihat orang lain susah.***
Sumber: Buletin Sastra LONTAR Edisi 15/Thn.II/2008
Minggu, 03 Februari 2008
Kolom BYAR
Warna
Dulu saya sering berpikiran (mungkin ini sebentuk kecengengan) begini: dua warna yang sama ketika digabung menjadi satu tak kan menimbulkan warna lain. Misal: warna putih dibaurkan dengan putih, hasilnya tentu juga putih. Sementara dua warna yang berbeda, jika dicampur, akan menghasilkan warna yang sama sekali lain: warna biru dan kuning, kalau kita oplos maka hasilnya hijau. Menurut guru gambar saya, fenomena oplos warna ini tak hanya berlaku di dunia lukis, tapi juga pada kehidupan sehari-hari.
Awalnya, mungkin karena kecengengan pula, saya memercayai “hukum” ini. Namun kini, seiring bertubi-tubinya peristiwa yang datang menghunjam tak sesuai kaidah oplosan warna tersebut, saya berani berkata non-sens pada apa yang dikatakan guru gambar saya. “Ah teori”, kata sepenggal iklan yang dulu sempat kondang. Persoalannya tentu tak terletak pada “menerima” atau “menolak” hukum tersebut. Tapi, mengapa hal demikian bisa terjadi?
Konon, Romeo dan Juliet –juga kisah asmara lain yang menggetarkan-- berangkat dari rasa (warna) yang sama: cinta. Namun, alih-alih mereka bisa membangun mahligai, justru yang mereka temui adalah akhir yang tragis? Pada kehidupan kenegaraan: tak ada satu partai politik pun yang punya asas dan landasan perjuangan bersifat “nista”, namun mengapa pentas politik selalu tak jauh dari main kayu dan praktik dagang sapi? Dan contoh yang sulit kita tampik: sejumlah aliran keagamaan sama-sama ingin mempergelarkan tatanan kehidupan berdasar firman Tuhan, tapi mengapa yang terjadi adalah saling menghunus pedang?
Dalam koteks ini, saya tak hendak memberi argumentasi: bahwa gagalnya mereka membaurkan warna yang sama karena mereka baru berangkat pada tataran konsep (akan warna) yang sama, tapi miskin bahkan nol dalam praktik. Agaknya, radikalisme logika mesti kita arahkan pada: bahwa diantara mereka yang hendak “menyatu” membawa warna yang sama tadi terbentang jarak. Dan jarak adalah “warna” itu sendiri. Perjuangan menempuh jarak adalah pergulatan merangkai warna kehidupan. Semakin jauh dan intens seseorang menempuh, mengolah dan menggauli jarak (di sini jarak tidak mesti diukur dengan parameter fisik seperti kilometer dsb), kian berwarna pula kehidupannya. Dan ketika kehidupan seseorang makin berwarna, bukan tidak mungkin ia bisa mencapai pada kesimpulan: bahwa sejatinya warna-warni itu hanya pantulan dari Yang Maha Cahaya.
Daun itu sejatinya tak berwarna hijau, ia hanya memantulkan Cahaya Hijaunya Tuhan. Sementara Cahaya Kuning Tuhan, dipantulkanlah oleh kenanga. Dan seterusnya. Demikian pesan orang bijak. Pertanyaannya: warna buram kehidupan ini pantulan dari mana? Ya, bagi insan yang taat, ia tak berjarak dengan Tuhan. Tapi bagi yang ingkar, jarak-jarak yang mereka ciptakan membuat warna kehidupan terasa berat untuk dibelai dengan kasih sayang.***
SUMBER: Buletin Sastra Lontar Edisi 14/Tahun II/2008
Dulu saya sering berpikiran (mungkin ini sebentuk kecengengan) begini: dua warna yang sama ketika digabung menjadi satu tak kan menimbulkan warna lain. Misal: warna putih dibaurkan dengan putih, hasilnya tentu juga putih. Sementara dua warna yang berbeda, jika dicampur, akan menghasilkan warna yang sama sekali lain: warna biru dan kuning, kalau kita oplos maka hasilnya hijau. Menurut guru gambar saya, fenomena oplos warna ini tak hanya berlaku di dunia lukis, tapi juga pada kehidupan sehari-hari.
Awalnya, mungkin karena kecengengan pula, saya memercayai “hukum” ini. Namun kini, seiring bertubi-tubinya peristiwa yang datang menghunjam tak sesuai kaidah oplosan warna tersebut, saya berani berkata non-sens pada apa yang dikatakan guru gambar saya. “Ah teori”, kata sepenggal iklan yang dulu sempat kondang. Persoalannya tentu tak terletak pada “menerima” atau “menolak” hukum tersebut. Tapi, mengapa hal demikian bisa terjadi?
Konon, Romeo dan Juliet –juga kisah asmara lain yang menggetarkan-- berangkat dari rasa (warna) yang sama: cinta. Namun, alih-alih mereka bisa membangun mahligai, justru yang mereka temui adalah akhir yang tragis? Pada kehidupan kenegaraan: tak ada satu partai politik pun yang punya asas dan landasan perjuangan bersifat “nista”, namun mengapa pentas politik selalu tak jauh dari main kayu dan praktik dagang sapi? Dan contoh yang sulit kita tampik: sejumlah aliran keagamaan sama-sama ingin mempergelarkan tatanan kehidupan berdasar firman Tuhan, tapi mengapa yang terjadi adalah saling menghunus pedang?
Dalam koteks ini, saya tak hendak memberi argumentasi: bahwa gagalnya mereka membaurkan warna yang sama karena mereka baru berangkat pada tataran konsep (akan warna) yang sama, tapi miskin bahkan nol dalam praktik. Agaknya, radikalisme logika mesti kita arahkan pada: bahwa diantara mereka yang hendak “menyatu” membawa warna yang sama tadi terbentang jarak. Dan jarak adalah “warna” itu sendiri. Perjuangan menempuh jarak adalah pergulatan merangkai warna kehidupan. Semakin jauh dan intens seseorang menempuh, mengolah dan menggauli jarak (di sini jarak tidak mesti diukur dengan parameter fisik seperti kilometer dsb), kian berwarna pula kehidupannya. Dan ketika kehidupan seseorang makin berwarna, bukan tidak mungkin ia bisa mencapai pada kesimpulan: bahwa sejatinya warna-warni itu hanya pantulan dari Yang Maha Cahaya.
Daun itu sejatinya tak berwarna hijau, ia hanya memantulkan Cahaya Hijaunya Tuhan. Sementara Cahaya Kuning Tuhan, dipantulkanlah oleh kenanga. Dan seterusnya. Demikian pesan orang bijak. Pertanyaannya: warna buram kehidupan ini pantulan dari mana? Ya, bagi insan yang taat, ia tak berjarak dengan Tuhan. Tapi bagi yang ingkar, jarak-jarak yang mereka ciptakan membuat warna kehidupan terasa berat untuk dibelai dengan kasih sayang.***
SUMBER: Buletin Sastra Lontar Edisi 14/Tahun II/2008
Selasa, 01 Januari 2008
BYAR
Nggetih ....
Setelah karyanya dimuat majalah Mimbar Indonesia dan Sastra (H.B. Jassin), ia memutuskan untuk “hidup-mati” dari menulis. Itulah Hadjid Hamzah, salah satu sastrawan low-profile Yogya yang wafat tengah malam 9 Desember 2007.
Apa yang istimewa dari Pak Hadjid? Sejumlah karya yang dihasilkan, tak ada yang membuat gempar publik sastra. Bahkan, orang awam lebih mengenalnya sebagai Hendrasmara: penulis beragam tema –dari soal tinju, kisah (skandal) para diva sampai masalah humaniora. Agaknya, keistimewaan Pak Hadjid tak mudah dikenali. Tapi begitu kita menghampiri…..
Ia adalah pribadi yang hangat, santun dan care. Ya, Pak Hadjid adalah sosok yang peduli –-peduli pada penulis yang memandang penting sharing dan tegur sapa. Sebagai pribadi maupun redaktur sastra di Minggu Pagi (MP), ia “merasa bertanggung-jawab” atas nasib seorang penulis dan dunia sastra. Sehingga, ketika hendak meloloskan sebuah karya untuk dimuat di MP, ia tak hanya melihat materi (untuk disajikan pada pembaca), tapi juga punya misi “memelihara dan membakar elan vital penulis”. Dan, Pak Hadjid mampu mensinergikan dua standar tersebut secara apik: tak mengorbankan pembaca sekaligus mampu melahirkan penulis muda. Dari sisi ini, sulit kiranya mencari pengganti redaktur (sastra) seperti Pak Hadjid.
Sebagai “orang tua” bagi sejumlah penulis di Yogya, Pak Hadjid memang bisa bersikap bijaksana. Ia sama sekali tidak mengindap penyakit khas seorang redaktur: merasa bangga jika rubrik yang diasuhnya sulit ditembus. Namun ia juga jauh dari sikap memanjakan anak-anaknya. Pak Hadjid pernah tidak memuat tulisan saya setahun penuh, padahal sejak tulisan sastra saya dimuat di MP tahun 2002, hingga kini saya terus mengirim rata-rata dua tulisan perbulan. Pada suatu siang di bulan September 2006, di kantor MP, Pak Hadjid pernah berkata pada saya: “Sebagai penulis, sepertinya kamu kurang prihatin….”
Seminggu sebelum wafat, ketika saya sowan bersama sejumlah penulis dari Lumbung Aksara (LA) maupun Sangsisaku, ia sempat memberi cambuk yang terakhir: “Jadi penulis itu yang total, sampai berdarah-darah atau nggetih…..” Saya selalu teringat pesan itu sambil membayangkan bunyi mesin ketik manual yang hingga akhir hayatnya masih sering ia pakai. Bunyi mesin ketik itu: tak…tik…tak…tik…tak…tik…. –bagai suara tetes darah yang mengiringi setiap kelahiran karya-karyanya.
Ayah, darahmu akan kami lanjutkan……..
sumber: buletin sastra Lontar edisi 13/tahun II/2008
STOP PRESS !!!
Dongkrak Potensi Sastra Tiga Kota
-Cinta Kesusastraan Jawa karena Memiliki Gereget Rasa
Kompas (hlm: Yogya-Jateng, 14 Januari 2008)
Yogyakarta. Kompas - Potensi sastra di Kabupaten Kulon Progo, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Purworejo cukup besar, tetapi masih belum tergali. Seniman dari tiga kota tersebut berkumpul dan menerbitkan antologi puisi, geguritan, dan cerpen pada Minggu (13/1) di Kulon Progo.
Diharapkan pertemuan sastrawan serupa akan rutin digelar untuk mendongkrak potensi sastra yang ada. Dalam kegiatan bertajuk "Temu Sastra Tiga Kota" tersebut, para sastrawan tidak sekadar bertemu, tetapi juga saling menampilkan karya. Temu ini diharapkan bisa menjadi awal yang baik untuk saling berinteraksi. Kulon Progo juga bisa berperan sebagai penghubung antara kebudayaan adiluhung yang berasal dari Keraton Yogyakarta dan budaya rakyat yang berkembang di Purworejo.
"Baru kali ini kami menggelar pertemuan antarpenulis. Kami berkomitmen untuk terus mewadahi ide serta kreativitas para sastrawan," ujar Koordinator Komunitas Lumbung Aksara Marwanto yang turut menggagas acara tersebut bersama Komunitas Sanggar Seni Kulon Progo.
Kebangkitan
Kebangkitan sastra diharapkan bisa dimulai dari pertemuan tersebut. Apalagi, penulis yang hadir tidak hanya dari kalangan anak muda, tetapi juga dari generasi tua. Selama ini hanya sedikit dari penulis Indonesia yang terus menghasilkan karya sastra hingga usia senja. Mayoritas penyair senior kini tidak begitu aktif berkarya maupun menjalin interaksi kesusastraan dengan penyair dari kota lain.
Padahal, pada era 1980-an, menurut sesepuh penyair Kulon Progo, Ki Soegiyono, para penyair Kulon Progo telah mampu menjalin komunikasi yang erat dengan penyair Purworejo maupun Yogyakarta. Saat ini penulis muda Kulon Progo yang masih aktif cenderung hanya menjalin interaksi ke Yogyakarta. Penulis Kulon Progo lebih memilih memublikasikan karyanya di media Yogyakarta, sedangkan penulis Purworejo menyukai media Jawa Tengah.
"Karya tulis harus punya fungsi rekreasi, apresiasi, edukasi, dan apresiasi. Kali ini kami berupaya agar edukasi minat menulis bisa diteruskan ke generasi muda," ujar Soegiyono.
Beberapa penulis senior, seperti Hersri Setiawan, Soekoso DM, Hasta Indriyana, dan Koh Hwatt, menyumbangkan karya pada antologi tersebut. Koh Hwatt, misalnya, membacakan geguritan bertajuk "Basa Jawa". "Saya mencintai sastra Jawa karena memiliki gereget rasa. Selain itu, ada tata krama yang mencerminkan kebudayaan Jawa," tuturnya. Halaman K Foto 1 Kompas/Mawar Kusuma Seniman dari tiga kota, Purworejo, Kulon Progo, dan Yogyakarta, berkumpul dan masing-masing membacakan karyanya, Minggu (13/1), di Kulon Progo. Diharapkan pertemuan sastrawan serupa akan rutin digelar untuk mendongkrak potensi sastra yang ada.
STOP PRESS !!!
Hari Ini di Gedung PC NU Kulonprogo;
Pertemuan Besar Sastrawan Tiga Kota
( Kedaulatan Rakyat, 13/01/2008 )
KULONPROGO tak mau kalah dengan daerah lainnya di Yogyakarta yang getol menggelar kegiatan dunia seni, khususnya sastra. Seolah ingin membuktikan bahwa di Kulonprogo seni dan seniman masih tetap 'hidup' maka pada hari Minggu ini (13/1) bertempat di Gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Jl Purworejo Km 1 Wates, akan digelar pertemuan besar penyair, cerpenis dan sastrawan yang berasal dari Yogya, Kulonprogo dan Purworejo. Bukan bidang sastra saja yang akan dihadirkan, tapi ada kegiatan eksperimen musik oleh Joko Mursito. Hajatan seharian penuh akan berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 19.00. "90 persen siap hadir," kata Marwanto, panitia yang juga Koordinator Lumbung Aksara, Jumat (11/1). Dikatakan , kegiatan 'Temu Sastra Tiga Kota' menghadirkan berbagai bentuk acara mulai diskusi, pembacaan puisi, pembacaan geguritan alias puisi Jawa, pembacaan cerpen oleh Joni Ariadinata, St Suryani, Teguh Winarsho AS, Evi Idawati. Selain membaca juga sekaligus menjadi pembicara diskusi tentang 'Pengalaman Penulisan Kreatif' dan 'Membangun Jaringan Sastra' dengan moderator Dhanu Priyo Prabowo, Samsul Maarif. "Bagi penyair dan cerpenis diberi kesempatan berpartisipasi. Khususnya penyair diberi kesempatan membaca puisi karyanya sendiri, maksimal 2 puisi/geguritan. Kalau puisi/geguritan panjang cukup 1 puisi," ujarnya. Sampai menjelang pelaksanaan, puluhan penyair dan cerpenis, pengamat sastra, atau siapapun yang peduli kegiatan sastra sudah banyak yang menyatakan untuk hadir. Dari Kulonprogo tercatat 54 peserta, Yogya 18 peserta, Purworejo 10 peserta, serta tamu undangan pejabat. Marwanto menyebut kegiatan ini untuk membangun silaturahmi antarpenulis, sastrawan muda, baik penyair maupun cerpenis. "Selama ini kebanyakan melakukan tegur sapa budaya lewat tulisan, tapi secara langsung masih sangat jarang dilakukan," ucap alumnus UNS. Selain itu, membangun jaringan sastra dari 3 kota, Kulonprogo, Yogya dan Purworejo. "Meski Kulonprogo termasuk Yogya, secara karakter karya-karya yang dihadirkan berbeda.. (Jay)-k
Setelah karyanya dimuat majalah Mimbar Indonesia dan Sastra (H.B. Jassin), ia memutuskan untuk “hidup-mati” dari menulis. Itulah Hadjid Hamzah, salah satu sastrawan low-profile Yogya yang wafat tengah malam 9 Desember 2007.
Apa yang istimewa dari Pak Hadjid? Sejumlah karya yang dihasilkan, tak ada yang membuat gempar publik sastra. Bahkan, orang awam lebih mengenalnya sebagai Hendrasmara: penulis beragam tema –dari soal tinju, kisah (skandal) para diva sampai masalah humaniora. Agaknya, keistimewaan Pak Hadjid tak mudah dikenali. Tapi begitu kita menghampiri…..
Ia adalah pribadi yang hangat, santun dan care. Ya, Pak Hadjid adalah sosok yang peduli –-peduli pada penulis yang memandang penting sharing dan tegur sapa. Sebagai pribadi maupun redaktur sastra di Minggu Pagi (MP), ia “merasa bertanggung-jawab” atas nasib seorang penulis dan dunia sastra. Sehingga, ketika hendak meloloskan sebuah karya untuk dimuat di MP, ia tak hanya melihat materi (untuk disajikan pada pembaca), tapi juga punya misi “memelihara dan membakar elan vital penulis”. Dan, Pak Hadjid mampu mensinergikan dua standar tersebut secara apik: tak mengorbankan pembaca sekaligus mampu melahirkan penulis muda. Dari sisi ini, sulit kiranya mencari pengganti redaktur (sastra) seperti Pak Hadjid.
Sebagai “orang tua” bagi sejumlah penulis di Yogya, Pak Hadjid memang bisa bersikap bijaksana. Ia sama sekali tidak mengindap penyakit khas seorang redaktur: merasa bangga jika rubrik yang diasuhnya sulit ditembus. Namun ia juga jauh dari sikap memanjakan anak-anaknya. Pak Hadjid pernah tidak memuat tulisan saya setahun penuh, padahal sejak tulisan sastra saya dimuat di MP tahun 2002, hingga kini saya terus mengirim rata-rata dua tulisan perbulan. Pada suatu siang di bulan September 2006, di kantor MP, Pak Hadjid pernah berkata pada saya: “Sebagai penulis, sepertinya kamu kurang prihatin….”
Seminggu sebelum wafat, ketika saya sowan bersama sejumlah penulis dari Lumbung Aksara (LA) maupun Sangsisaku, ia sempat memberi cambuk yang terakhir: “Jadi penulis itu yang total, sampai berdarah-darah atau nggetih…..” Saya selalu teringat pesan itu sambil membayangkan bunyi mesin ketik manual yang hingga akhir hayatnya masih sering ia pakai. Bunyi mesin ketik itu: tak…tik…tak…tik…tak…tik…. –bagai suara tetes darah yang mengiringi setiap kelahiran karya-karyanya.
Ayah, darahmu akan kami lanjutkan……..
sumber: buletin sastra Lontar edisi 13/tahun II/2008
STOP PRESS !!!
Dongkrak Potensi Sastra Tiga Kota
-Cinta Kesusastraan Jawa karena Memiliki Gereget Rasa
Kompas (hlm: Yogya-Jateng, 14 Januari 2008)
Yogyakarta. Kompas - Potensi sastra di Kabupaten Kulon Progo, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Purworejo cukup besar, tetapi masih belum tergali. Seniman dari tiga kota tersebut berkumpul dan menerbitkan antologi puisi, geguritan, dan cerpen pada Minggu (13/1) di Kulon Progo.
Diharapkan pertemuan sastrawan serupa akan rutin digelar untuk mendongkrak potensi sastra yang ada. Dalam kegiatan bertajuk "Temu Sastra Tiga Kota" tersebut, para sastrawan tidak sekadar bertemu, tetapi juga saling menampilkan karya. Temu ini diharapkan bisa menjadi awal yang baik untuk saling berinteraksi. Kulon Progo juga bisa berperan sebagai penghubung antara kebudayaan adiluhung yang berasal dari Keraton Yogyakarta dan budaya rakyat yang berkembang di Purworejo.
"Baru kali ini kami menggelar pertemuan antarpenulis. Kami berkomitmen untuk terus mewadahi ide serta kreativitas para sastrawan," ujar Koordinator Komunitas Lumbung Aksara Marwanto yang turut menggagas acara tersebut bersama Komunitas Sanggar Seni Kulon Progo.
Kebangkitan
Kebangkitan sastra diharapkan bisa dimulai dari pertemuan tersebut. Apalagi, penulis yang hadir tidak hanya dari kalangan anak muda, tetapi juga dari generasi tua. Selama ini hanya sedikit dari penulis Indonesia yang terus menghasilkan karya sastra hingga usia senja. Mayoritas penyair senior kini tidak begitu aktif berkarya maupun menjalin interaksi kesusastraan dengan penyair dari kota lain.
Padahal, pada era 1980-an, menurut sesepuh penyair Kulon Progo, Ki Soegiyono, para penyair Kulon Progo telah mampu menjalin komunikasi yang erat dengan penyair Purworejo maupun Yogyakarta. Saat ini penulis muda Kulon Progo yang masih aktif cenderung hanya menjalin interaksi ke Yogyakarta. Penulis Kulon Progo lebih memilih memublikasikan karyanya di media Yogyakarta, sedangkan penulis Purworejo menyukai media Jawa Tengah.
"Karya tulis harus punya fungsi rekreasi, apresiasi, edukasi, dan apresiasi. Kali ini kami berupaya agar edukasi minat menulis bisa diteruskan ke generasi muda," ujar Soegiyono.
Beberapa penulis senior, seperti Hersri Setiawan, Soekoso DM, Hasta Indriyana, dan Koh Hwatt, menyumbangkan karya pada antologi tersebut. Koh Hwatt, misalnya, membacakan geguritan bertajuk "Basa Jawa". "Saya mencintai sastra Jawa karena memiliki gereget rasa. Selain itu, ada tata krama yang mencerminkan kebudayaan Jawa," tuturnya. Halaman K Foto 1 Kompas/Mawar Kusuma Seniman dari tiga kota, Purworejo, Kulon Progo, dan Yogyakarta, berkumpul dan masing-masing membacakan karyanya, Minggu (13/1), di Kulon Progo. Diharapkan pertemuan sastrawan serupa akan rutin digelar untuk mendongkrak potensi sastra yang ada.
STOP PRESS !!!
Hari Ini di Gedung PC NU Kulonprogo;
Pertemuan Besar Sastrawan Tiga Kota
( Kedaulatan Rakyat, 13/01/2008 )
KULONPROGO tak mau kalah dengan daerah lainnya di Yogyakarta yang getol menggelar kegiatan dunia seni, khususnya sastra. Seolah ingin membuktikan bahwa di Kulonprogo seni dan seniman masih tetap 'hidup' maka pada hari Minggu ini (13/1) bertempat di Gedung Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU), Jl Purworejo Km 1 Wates, akan digelar pertemuan besar penyair, cerpenis dan sastrawan yang berasal dari Yogya, Kulonprogo dan Purworejo. Bukan bidang sastra saja yang akan dihadirkan, tapi ada kegiatan eksperimen musik oleh Joko Mursito. Hajatan seharian penuh akan berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 19.00. "90 persen siap hadir," kata Marwanto, panitia yang juga Koordinator Lumbung Aksara, Jumat (11/1). Dikatakan , kegiatan 'Temu Sastra Tiga Kota' menghadirkan berbagai bentuk acara mulai diskusi, pembacaan puisi, pembacaan geguritan alias puisi Jawa, pembacaan cerpen oleh Joni Ariadinata, St Suryani, Teguh Winarsho AS, Evi Idawati. Selain membaca juga sekaligus menjadi pembicara diskusi tentang 'Pengalaman Penulisan Kreatif' dan 'Membangun Jaringan Sastra' dengan moderator Dhanu Priyo Prabowo, Samsul Maarif. "Bagi penyair dan cerpenis diberi kesempatan berpartisipasi. Khususnya penyair diberi kesempatan membaca puisi karyanya sendiri, maksimal 2 puisi/geguritan. Kalau puisi/geguritan panjang cukup 1 puisi," ujarnya. Sampai menjelang pelaksanaan, puluhan penyair dan cerpenis, pengamat sastra, atau siapapun yang peduli kegiatan sastra sudah banyak yang menyatakan untuk hadir. Dari Kulonprogo tercatat 54 peserta, Yogya 18 peserta, Purworejo 10 peserta, serta tamu undangan pejabat. Marwanto menyebut kegiatan ini untuk membangun silaturahmi antarpenulis, sastrawan muda, baik penyair maupun cerpenis. "Selama ini kebanyakan melakukan tegur sapa budaya lewat tulisan, tapi secara langsung masih sangat jarang dilakukan," ucap alumnus UNS. Selain itu, membangun jaringan sastra dari 3 kota, Kulonprogo, Yogya dan Purworejo. "Meski Kulonprogo termasuk Yogya, secara karakter karya-karya yang dihadirkan berbeda.. (Jay)-k
Langganan:
Postingan (Atom)