Minggu, 27 Juli 2008

Kolom BYAR

Kethoprak
( Utik TW )
Ajakan nonton kethoprak. Itulah SMS terakhir yang kuterima darimu. Sebelum kau berpulang –pada sebuah pagi yang tak lagi dingin. Matahari, di pagi itu, telah senyum begitu lebar. Ah, bahkan tertawa. Ya, seperti tawamu yang amat lepas: ketika kita sedang tadarus puisi, menyiapkanTBM atau menggarap laporan PMK yang tak kunjung rampung. Dan di jalan Deandeles itu agaknya kau juga tertawa –meski dalam dekapan malaikat--, tawa yang terakhir.
Dan bukankah kethoprak (setidaknya dalam perspektif modern) mengajak kita tertawa? Mungkin memang bukan yang utama. Tapi, dalam konotasi tertentu, tawa dalam istilah kethoprak tidak bisa sekedar disebut bumbu. Simak misalnya dalam ungkapan: “Wah, malah kethoprak-an” atau “Jangan sok kethoprak-an, ah”. Ungkapan tersebut sering diartikan: jangan membuat lelucon. Akhirnya, pada tafsir kontemporer, acapkali seni kethoprak direduksi sekedar (pentas) lelucon.
Padahal, pada awal kemunculannya, kethoprak bukanlah berisi cerita yang cuma mengajak kita tertawa. Konon, sejarah kethoiprak yang bergulir tahun 1887 dengan jenis kethoprak lesung, dimulai dengan mengusung tema-tema “serius”: babad, legenda, dan adaptasi karya pujangga ternama semacam Pangeran Hamlet karya Shakespeare. Tapi, dalam perkembangnnya kethoprak diidentikan pentas yang mengusung lelucon. Muncullah kethoprak plesetan dan kethoprak humor.
Hal ini agaknya karena kehidupan yang kian pragmatis dan gersang. Dalam pragmatisme hidup, mengusung keseriusan ibarat berteriak ditengah gemuruh gelombang. Dan di dunia yang telah gersang, sesuatu yang serius acapkali membuat kram otak. Sebaliknya, lelucion/humor menjadi segelas es pelepas dahaga. Lalu dengan ditunjang perkembangan audio visual, pentas kethoprak meraih booming. Tapi, kejemuan memang gejala alamiah. Publik pun bosan. Masyarakat muak. Kethoprak tak lagi lucu. Sebab kehidupan nyata itu sendiri yang kemudian menjelma lelucon. Dan, dalam konteks ini, Utik tak salah: menyikapi dunia yang letih dengan tawa yang lepas.
Ah, Utik. Mungkin teman-teman lebih mengenangmu sebagai aktivis yang tak jenak diam (mobilitas telah identik dengan dirimu) atau kedua tahi lalat di pipimu. Namun ijinkan aku selalu terkenang dengan tawamu. Seperti di sore itu, memang ada isak dan air mata mengiringi jenazahmu –tapi selanjutnya yang terngiang adalah tawamu. Tawamu yang khas. Mengingatkanku pada pepatah Yahudi: saat manusia berpikir, Tuhan tertawa.***
Sumber: Buletin Sastra LONTAR Edisi 19/Th.II/2008

Tidak ada komentar: