Minggu, 27 Juli 2008

ESAI

Rindu Rumput Halaman

(KOMPAS (Halaman YOGYA), 23 /06/2008)
Beberapa waktu lalu saya dan sejumlah penulis dari Kulonprogo berkunjung ke rumah (baca: kamar kos) penyair Iman Budhi Santosa di Dipokusuman. Ada dua hal yang menjadi ciri menonjol kos-kosan Mas Iman: pohon sawo yang cukup besar menjulang tinggi dan halamannya yang luas. Ya, halaman berupa tanah yang kalau hujan datang pasti becek tak terelakkan.
“Saya sengaja memilih halaman yang tidak ber-konblok”,
“Lho, bukannya halaman yang ada kon-bloknya akan terlihat rapi dan bersih?”
“Iya, memang. Tapi, masa’ rumput saja dilarang tumbuh….” demikian Mas Iman berdalih pada kami.
Rumput. Jenis tumbuhan ini memang masih bisa tumbuh di halaman rumah-rumah perkotaan, meski halaman tersebut berkon-blok. Sebab, rumput akan dengan jeli tumbuh diantara himpitan kon-blok atau dimana saja area yang memungkinkan ia tumbuh. Tapi, saya kira tidak demikian maksud pernyataan Mas Iman. Apa yang dikatakan Mas Iman seakan sedang “mengoreksi” pemahaman kita akan kecintaan terhadap tanaman.
Ya, sejak booming tanaman (hias) beberapa waktu lalu, hampir tiap orang beramai-ramai “mencitai tanaman”. Rumah-rumah disulap dan dipenuhi aneka tanaman hias. Lalu ada imej: bahwa rumah beserta penghuninya sedang ramah lingkungan dengan banyaknya aneka tanaman (hias) dijejer di halaman sampai ruang tamu. Tapi, benarkah mereka benar-benar mencintai tanaman? Bukankah dengan “melarang” rumput tumbuh di halaman dengan memasang kon-blok, kita sejatinya mengekang tanaman?
Mencintai memang tidak gampang. Begitu juga mencintai tanaman dan lingkungan. Salah-salah, yang kita lakukan adalah menegakkan ego: mereka (tanaman) kita perlakukan sebagai objek penderita demi kesenangan dan hobi kita semata. Di sisi lain, hak tumbuh mereka secara wajar terus kita kebiri bahkan kita sumbat dan kekang.
Bagi orang yang menyuntukkan diri di dunia kreatif, seperti mas Iman, perilaku mencintai seperti itu jelas sangat bertentangan. Dunia kreatif sangat membenci kekangan. Di sini, Mas Iman adalah antitesa terhadap sikap mencitai tanaman (lingkungan) yang menjadikan tanaman sekedar objek penderita. Barangkali seperti tata kelola kota yang “mengharuskan” segala yang hidup tunduk pada logika dan konsep-konsep perkembangan kota modern.
Benarkah orang semacam Mas Iman adalah antitesa terhadap logika kehidupan kota? Mas Iman hanya salah satu amsal. Saya yakin masih ada orang lain seperti Mas Iman. Mereka ini akan terus memilih tinggal pada pekarangan yang di situ ada rumputnya. Dengan tinggal di tanah yang berumput, Mas Iman bisa terus selalu berkarya (menulis) sambil memandang pohon sawo atau rumput belukar di depan kamar kos-nya. Mungkin sambil menahan “letih” merasakan laju perkembangan kota dengan mengutip sebaris sajak Federico Garcia Lorca: Verde que te quiero verde…: Hijau, kumau engkau hijau://Bintang agung beku dingin//Tiba dengan bayang ikan//Yang merintis fajar.

1 komentar:

Ruben nurdiasmanto mengatakan...

mas/mbak blognya lumayan di search engine kenapa ga di pasang iklan dari Kumpulblogger.com. kan lumayan dapat duit.