Rabu, 14 Januari 2009

OPINI

Plus – Minus Suara Terbanyak
Oleh Marwanto
("Radar Jogja", 13/01/2009)

Melegakan! Inilah yang dirasakan sejumlah pihak atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal tersebut intinya mengatur penetapan calon terpilih dengan menggunakan minimal 30% perolehan suara dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dan jika tidak ada calon yang memperoleh 30% dari BPP atau calon yang memperoleh 30% dari BPP lebih dari satu maka penentuannya berdasarkan nomor urut.
Dengan putusan MK tersebut, maka pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 otomatis tidak berlaku lagi. Semua pihak, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan partai politik (Parpol), sudah semestinya menghormati putusan MK tersebut. Di pihak KPU, menghormati putusan tersebut bisa diartikan dengan segera membuat peraturan tentang penetapan calon terpilih yang mendasarkan pada perolehan suara terbanyak. Di pihak Parpol, menghormati bisa diartikan dengan mengkondisikan internal parpol agar putusan MK tersebut tidak mempertajam persaingan antar caleg sehingga eskalasi konflik internal dapat dikendalikan.
Selain melegakan dan harus dihormati, diakui putusan MK tersebut juga menggembirakan paling tidak bagi tiga elemen yang terlibat langsung dalam Pemilu. Pertama, para caleg (terutama caleg yang berada di nomor bawah). Mereka merasa diuntungkan sebab pasca putusan MK, kini nomor urut tak lagi penting dan menentukan (apalagi “sakral”), seperti Pemilu 2004.
Kedua, KPU. Meski posisi KPU dalam pelaksanaan Pemilu “hanya” sebagai eksekutor undang-undang, tapi bagaimanapun eksistensi pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 cukup memberi beban pada kerja KPU. Hal ini disebabkan desakan dan keinginan sejumlah parpol (dan caleg) untuk menggunakan suara terbanyak sebagai landasan penetapan caleg terpilih sangat kuat.
Ketiga, rakyat (pemilih). Setelah adanya putusan MK, kini suara rakyat tak lagi dipasung oleh aturan undang-undang. Siapapun caleg yang dikehendaki rakyat (baca: memperoleh suara terbanyak), maka ia yang nantinya berhak menjadi wakilnya di lembaga legislatif.
Disamping melegakan dan menggembirakan, putusan MK tersebut juga dipandang memiliki sejumlah nilai plus. Sebab dengan acuan perolehan suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih, berarti makna demokrasi dikembalikan pada hakekat asalnya (yakni suara rakyat). Selain mengambalikan praktik demokrasi sesuai dengan hakekat asalnya, sejumlah nilai plus dari penetapan calon terpilih dengan menggunakan suara terbanyak dalam konteks Pemilu di Negara kita adalah :
Pertama, tak ada lagi kontradiksi antara sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam Pemilu kita dengan penentuan calon terpilih. Pada dasarnya, sistem proporsional terbuka memberi ruang bagi kemenangan suara rakyat, daripada kemenangan suara (pengurus) Parpol dalam menentukan caleg terpilih. Substansi pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 adalah memberi peluang lebih bagi kemenangan (pengurus) Parpol untuk menentukan caleg terpilih dengan menentukan nomor urut caleg-nya sehingga ada kontradiksi dengan sistem proporsional terbuka. Dengan dibatalkannya pasal tersebut, kontradiksi kini tak ada lagi.
Kedua, para caleg akan bekerja lebih keras dalam rangka mengumpulkan perolehan suara sebanyak-banyaknya. Mereka akan sangat rajin dan intens turun ke bawah guna meraup dukungan. Hal ini bisa berdampak pada berkurangnya angka golput. Sebab semua segmen yang ada dalam masyarakat diperkirakan tak ada yang luput dari sasaran (kampanye) para caleg.
Ketiga, dengan para caleg yang sering turun ke bawah, diharapkan mereka akan lebih familiar dengan kondisi yang sebenarnya (riil) di masyarakat, untuk kemudian diperjuangkan dalam gedung dewan. Jarak caleg dengan rakyat pun akan menjadi dekat. Bahkan dari kondisi atau momentum seperti ini, tidak mustahil untuk mulai dibangunnya sebuah kontrak politik antara caleg dengan rakyat.
Keempat, meminimalisir konflik yang mungkin terjadi saat penetapan caleg terpilih. Jika pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 diberlakukan, diprediksi oleh banyak pengamat bahwa tahapan penetapan calon terpilih akan menjadi salah satu tahapan krusial Pemilu 2009. Sejumlah Parpol (yang pro suara terbanyak) telah menyiapkan strategi guna “mengakali” pasal 214 dengan membuat perjanjian internal yang intinya para caleg yang perolehan suaranya lebih kecil dari caleg nomor dibawahnya bersedia mundur agar yang terpilih adalah mereka yang perolehan suaranya terbanyak. Pada praktiknya, menyimak kasus Pemilu 2004, hal ini tidak mudah dilakukan dan justru menimbulkan konflik (terbuka) di internal Parpol. Dengan dibatalkannya pasal 214, praktis konflik itu tak bakal terjadi.
Tentu sebuah keputusan tidak hanya mengandung nilai plus, tapi juga ada sisi negatifnya (minus). Sejumlah sisi negatif dari penentuan calon berdasar suara terbanyak diantaranya adalah:
Pertama, karir seorang politikus di Parpol kurang dihargai. Seorang yang telah berpuluh-puluh tahun berkiprah di (dan bahkan menjadi bagian yang turut membesarkan) sebuah Parpol sangat mungkin dikalahkan oleh mereka yang baru “kemarin sore” masuk partai, yang karena ketenaran (popularitas) dan dikenal baik di masyarakat, maka ia yang akhirnya terpilih atau meraih perolehan suara terbanyak dibanding seniornya.
Kedua, dalam alam yang serba pragmatis (dimana politik telah menjadi industri) sangat mungkin terjadi para caleg yang terpilih adalah mereka yang “hanya” bermodalkan uang banyak. Kalau ini yang terjadi, tentu para anggota dewan yang terpilih nanti pertama-tama akan berpikir bagaimana caranya mengembalikan modal yang dipakai saat maju sebagai caleg.
Ketiga, beralihnya konflik internal partai dari tahapan penetapan calon terpilih ke tahapan kampanye (perebutan dukungan). Seperti disebutkan di atas, dengan dibatalkannya pasal 214 UU No. 10 tahun 2008, tahapan penetapan calon tak lagi krusial menimbulkan konflik intern Parpol. Namun begitu bukan berarti konflik internal Parpol akan reda, sebab dengan suara terbanyak sebagai dasar penentuan calon terpilih, maka diprediksi konflik internal parpol akan bergeser ke saat-saat kampanye (atau perebutan dukungan). Blok dukungan tak lagi antar Parpol, namun antar pendukung caleg, yang membuat jarak konflik kian dekat sehingga sumbu yang pendek itu mudah tersulut.
Bagaimanapun MK telah memutuskan suara terbanyak sebagai dasar penetapan calon terpilih. Tentu ada pihak yang diuntungkan, tapi juga ada yang kurang puas. Masyakarat Indonesia, yang telah berulangkali menjalani Pemilu, diharapkan bisa belajar pada setiap perubahan sistem Pemilu. Ditengah kejemuan rakyat menyongsong Pemilu, hemat saya, putusan MK tersebut bisa menggugah agar semua elemen bangsa antusias menyambut datangnya Pemilu. Semoga nantinya yang bakal terjadi adalah antusiasme yang produktif, yakni mengantarkan rakyat menjadi pemilih yang cerdas. Sebab kini dibuka ruang yang lebar bagi suara rakyat untuk menentukan wakilnya yang akan terpilih duduk di gedung dewan yang terhormat.***


STOP PRESS !!!

Disayangkan Kegiatan Pentas Teater Dikurangi
(Kedaulatan Rakyat, 16/12/2008)

TAHUN 2008, aktivitas berteater di Kulonprogo cukup marak. Tercatat enam pentas teater digelar oleh sejumlah komunitas di Kulonprogo bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) kabupaten setempat. Pertunjukan diawali tampilnya Sangsisaku dengan lakon Chairil Ketemu Kartini (5 April), kemudian disusul komunitas Lumbung Aksara yang mementaskan Bendera (3 Mei), TKP dengan The Kancil (7 Juni), komunitas Trotoar mengusung Panji Koming (5 Juli), komunitas Padhang mBulan menggelar Dua Lolo Wing (7 November) dan ditutup Wayang Disco (8 November) persembahan TKP. Namun maraknya pentas teater di Kulonprogo agaknya tak akan ditemui tahun depan. Konon, Disbudpar Kulonprogo akan mengurangi volume kerja sama menyelenggarakan pertunjukan teater dengan komunitas teater di Kulonprogo menjadi hanya dua kali setahun. Ketika diklarifikasi hal tersebut, koordinator komunitas Lumbung Aksara (LA) Marwanto membenarkan. “Saya pernah dengar sendiri dari orang Disbudpar tentang pengurangan menjadi dua kali setahun. Dan kalau hal ini benar, tentu sangat disayangkan. Menurut saya, iklim berteater di Kulonprogo yang sedang bersemi jangan dibiarkan layu sebelum berkembang,” kata Marwanto, Senin (15/12). Menurut Marwanto, alasan pengurangan karena pelaku seni lainnya (diluar teater) merasa cemburu sejatinya kurang tepat. Sebab selama ini anggaran untuk komunitas teater dan sastra sangat kecil dibanding anggaran untuk menghidupi kegiatan seni (tradisional) lainnya. Ia menambahkan, yang mesti terus dilakukan adalah dialog antara pelaku seni dengan Pemda (dalam hal ini Disbudpar) agar tercipta kedekatan persepsi penyelenggaraan pertunjukan teater. “Lewat dialog ini diharapkan kerja sama pertunjukan teater antara pemerintah dengan pelaku seni tak sekadar ngesahke proyek,” kata Marwanto. (Cdr)-k

Tidak ada komentar: