Kamis, 29 Januari 2009

OPINI

“Ini Aku”, Bukan “Ini Bapakku”
Oleh Marwanto
"Kompas" (halaman Jateng-DIY), 29/01/2009

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota telah mendorong para calong anggota legislatif (caleg) yang akan berlaga pada Pemilu 2009 lebih giat melakukan kampanye. Betapa tidak. Dengan penetapan calon terpilih menggunakan dasar suara terbanyak, seolah tidak ada bedanya antara Caleg yang menempati nomor urut atas dengan nomor urut bawah. Semua Caleg sekarang punya kesempatan yang sama. Tinggal bagaimana para Caleg merebut simpati pemilih agar memberikan suaranya pada mereka.
Meski ada pihak yang merasa tidak puas atas putusan MK, namun dilihat dari sistem kepemiluan, dampak putusan MK tersebut cukup positif. Dalam arti, bisa mengeliminir kontradiksi antara sistem proporsional terbuka dengan penetapan calon terpilih. Sebab, sistem proporsional terbuka yang diterapkan pada Pemilu 2009, pada hakikatnya sangat menghormati suara rakyat. Dengan kata lain, siapa pun yang dikehendaki (dipilih) rakyat atau mendapat suara terbanyak, maka ia yang berhak menjadi wakilnya di parlemen.
Sistem proporsional terbuka yang menggunakan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak juga berdampak pada bergesernya orientasi pemilih: dari yang semula menggunakan pertimbangkan partai politik kini lebih ke sosok Caleg. Konsekuensinya, kini Caleg seakan menjadi figur dan tumpuan sentral untuk meraup suara. Memang, Caleg tidak (atau belum) menjadi satu-satunya referensi yang akan dilihat oleh pemilih. Namun ketika “ideologi partai sudah sedemikian cair”, tak pelak lagi dominasi Caleg atas partai (dimata pemilih) akan semakin menguat –dari waktu ke waktu, terutama jika sistem seperti ini terus dipertahankan.
Tentu ada sejumlah konsekuensi ketika kiblat pemilih bergeser dari partai ke Caleg. Sejumlah konsekuensi itu diantaranya:
Pertama, kualitas personal Caleg akan menjadi referensi utama bagi pemilih. Tentu masih ada referensi lain, semisal platform partai atau ideologi partai. Namun, dalam suasana “pasar politik” yang hiruk-pikuk dan amat begitu gemuruh sehingga praktik yang terjadi di ranah politik menyerupai mekanisme dalam dunia industri, tak pelak lagi wacana tentang ideologi pelan-pelan akan memudar. Dalam kondisi demikian, kecenderungan pemilih pragmatis (melihat sosok Caleg yang dianggap mampu menawarkan solusi atas problem kemasyarakatan) akan lebih besar daripada pemilih ideologis. Belum lagi sejumlah survei yang menunjukkan tingkat kekecewaan masyarakat terhadap partai politik cukup tinggi. Maka, bergesernya orientasi pilihan dari parpol ke Caleg akan kian menguat.
Kedua, tingkat popularitas Caleg menjadi tuntutan yang tak terelakkan. Tingkat popularitas barangkali hal yang berbeda dengan tingkat elektabiltas (kemungkinan terpilih). Namun begitu, tingkat popularitas sedikit banyak akan berpengaruh pada tingkat elektabiltas seseorang. Bagaimana rakyat akan memilih, jika ia belum mengenal sama sekali si Caleg?
Ketiga, modal materi yang cukup untuk terjun ke kancah politik. Jer basuki mawa bea, adalah ungkapan yang tepat untuk para Caleg yang akan meraih kursi di lembaga legislatif. Memang benar, uang bukan segala-galanya. Tapi mesti disadari, bahwa segala-galanya (dalam proses politik) memerlukan uang.
Keempat, kerja keras. Kualiats personal, modal materi (uang), dan tingkat popularitas yang tinggi belum menjamin seorang Caleg akan terpilih. Sebab, masih ada satu faktor yang harus dilakukan oleh para Caleg, yakni kerja keras. Kini, Caleg tidak bisa lagi bersembunyi dibawah ketiak partai. Orang menyebut: era berpangku tangan bagi pengurus parpol (yang menjadi Caleg nomor “jadi”) sudah selesai. Saatnya sekarang Caleg bekerja keras.
Jika mencermati sejumlah survei, kerja keras Caleg bukan upaya yang sia-sia atau mubazir. Sebab, pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) jumlahnya cukup signifikan. Sebagai contoh, hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bulan Desember 2008, menunjukkan pemilih yang belum menentukan pilihan ada sekitar 20%, --jauh di atas PDIP (17,1%) dan Golkar (13,3%). Dengan demikian, Caleg yang mampu menggarap undecided voters ini kemungkinan besar yang akan berhasil meraih dukungan untuk duduk di kursi legislatif. Kerja keras Caleg tersebut terutama dengan menunjukkan kemampuan diri (personal) bahwa ia mampu mengemban kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Penonjolan kemampuan personal seorang Caleg ini penting, seiring berkurangnya peran parpol. Kiranya, sudah bukan jamannya lagi berkampanye dengan cara “mengandalkan atau mengatasnamakan patron”. Peraga kampanye yang memperlihatkan foto Caleg dengan background sang patron (semisal Gus Dur, Amin Rais, Megawati, SBY, atau Sri Sultan) agaknya lambat laun akan dianggap lucu dan usang. Bagi pemilih cerdas, mereka lebih respek pada Caleg yang berani berkata: “Ini aku, bukan ini bapakku”.


Suara Rakyat

Oleh Marwanto

(Jurnal KPU Kulonprogo, Edisi 1/2009)

Dalam sebuah sajaknya yang berjudul “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”, Goenawan Muhamad (GM) membuka dengan larik kalimat: “Tuhan, berikanlah suara-Mu, padaku

Mengapa ada seorang yang mengharap “Suara Tuhan” di hari Pemilu? Agaknya , ungkapan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) telah menjadi jargon keramat yang kerap dikutip saat pesta demokrasi berlangsung. Konon, ungkapan ini juga menjadi salah satu inspirasi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menganulir pasal 214 UU No.10 tahun 2008 perihal penetapan calon terpilih.

MK, sebagai lembaga yang diberi kewenangan penuh menguji undang-undang, dalam menelorkan setiap putusan notabene berdasar dan/atau bekerja di ranah substansi. Termasuk ketika menganulir pasal di atas: MK sedang bicara substansi demokrasi. Putusan yang bersifat substantif memang sulit dibantah. Putusan MK, kata Satjipto Raharjdo (Kompas, 5/1/2009), ibarat idu geni: setiap MK mengeluarkan putusan rakyat harus diam, patuh, manut. Tidak boleh protes, banding dan tak ada jalan melawan.

Sementara dilain pihak, kita tahu, undang-undang (sekali lagi undang-undang, bukan undang-undang dasar) adalah pedoman yang cenderung aplikatif. Tidak mudah mensinkronkan hasil kerja di ranah substansi dengan aturan yang bersifat terapan –apalagi peraturan yang aplikatif tadi dihasilkan oleh sebuah rembug yang bersifat kompromistik. Reaksi dan respon beragam pun mengalir. Dua kutub reaksi yang menarik disimak adalah:

Pertama, pendapat yang menyatakan terbitnya putusan MK mampu mengeliminir kontradiksi antara sistem proporsional terbuka yang dianut dalam Pemilu 2009 dengan penetapan calon terpilih. Argumentasinya, sistem proporsional terbuka pada hakikatnya sangat menghormati suara rakyat. Dengan kata lain, siapa pun yang dikehendaki (dipilih) rakyat atau mendapat suara terbanyak (dalam “koridor proporsional”), maka ia yang berhak menjadi wakilnya di parlemen.

Kedua, pendapat yang mengatakan putusan MK tersebut justru membuat rancu sistem Pemilu 2009. Alasannya, peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD adalah partai politik, bukan perseorangan. Tapi mengapa ketika menetapkan calon terpilih menggunakan acuan perolehan suara terbanyak yang diperoleh caleg yang notabene itu perseorangan?

Hemat saya, pendapat pertama lebih logis. Sebab, yang berlaku nanti adalah “suara terbanyak proporsional”, bukannya “suara terbanyak distrik”. Artinya, ketika caleg dalam sebuah Dapil mendapat suara terbanyak namun partainya tidak memperoleh kursi, caleg tersebut tetap tidak berhak atas sebuah kursi. Jadi, perolehan suara parpol sebagai peserta Pemilu yang menentukan perolehan kursi, bukan perseorangan.

Selain dua kutub pendapat diatas, sejumlah tanggapan pro-kontra sempat muncul: merebaknya politik uang, ancaman akan tamatnya riwayat parpol, sampai hilangnya tindakan afirmatif action terhadap perempuan. Alhasil, konversi substansi demokrasi ke dalam sistem politik memang tidak pernah sempurna. Begitu juga terjemahan substansi demokrasi ke produk hukum, amat tidak mudah. Apalagi, pembuatan undang-undang itu sendiri adalah sebuah proses politik —yang tak mungkin steril dari kepentingan. Namum, sesulit apapun membuat aturan undang-undang yang bermuatan politis, tetap lebih sulit menjadi pelaksana (eksekutor) dari sebuah produk hukum yang kental muatan politiknya. Dan itulah yang dijalankan KPU saat menyelenggarakan Pemilu.

Tapi itu resiko yang harus dihadapi KPU. Meski mendapat tekanan dari elit politik sana-sini dan sulit melaksanakan aturan yang kental muatan politiknya sehingga masyarakat awam acapkali memberi citra KPU sebagai lembaga yang esok dele sore tempe, namun para komisioner KPU niscaya akan senantiasa ikhlas menerima segala bentuk cercaan demi menjalankan tugas. Ya, sebab menyelenggarakan Pemilu adalah tugas luhur dan mulia dengan sejumput harapan mampu memunculkan wakil rakyat dan pemimpin yang merupakan cerminan suara rakyat sehingga tatanan kenegaraan yang terwujud benar-benar implementasi dari ruh Daulat Rakyat.

Jika meleset , dalam arti suara rakyat bisa dibeli dengan uang atau para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih nanti membelokkan amanah dari konstituen, maka hajat Pemilu tak lebih sebagai –mengutip kalimat lain dari sajak GM di atas– bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan berisik”. Pemilu hanya menyisakan suara gemuruh dari sebuah pesta yang mengatasnamakan demokrasi. Dan itu sama artinya dengan kemubaziran. Semoga bangsa kita dijauhkan dari kemubaziran penyelengaraan Pemilu. Sebab, ongkos Pemilu di negeri ini teramat mahal. Bukan hanya dari hitungan rupiah, tapi yang dipertaruhkan adalah harapan duaratus juta lebih rakyat Indonesia.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

uang, raja paling mulia. hamba paling tercela. hehehe....mboh kwi karepe piye...
tapi yang pasti, tulisan di atas cukup nonjok, nendang, menelikung!
bagi calon pemilih...calon dipilih...dan yang terakhir - "yang banyak berpikir dan sedang berusaha menulis." wakaka...
OSEPHE H. W.

bensabar2009 mengatakan...

Mak Nyus