Sabtu, 04 Juli 2009

OPINI

Jargon dan Visi Misi
Oleh Marwanto

Tiga Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang berlaga di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres 2009) mempunyai jargon atau slogan yang dikenal baik oleh publik. Sebagaimana kita ketahui, jargon ketiga pasangan tersebut adalah: Pro-Rakyat (Megawati-Prabowo), Lanjutkan (SBY-Boediono), dan Lebih Cepat Lebih Baik (Jusuf Kalla-Wiranto).
Menurut sejumlah sumber, jargon diartikan kosakata khusus atau khas yang dipergunakan dalam bidang kehidupan (lingkungan) tertentu. Sementara dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2006), jargon disebut juga patois, slang, atau slogan. Dalam konteks tulisan ini, jargon diartikan kosakata atau rangkaian kosakata yang muncul dari “pemadatan ungkapan” visi-misi yang diusung oleh Pasangan Calon. Dengan pemadatan ungkapan, diharapkan pesan atau isi dari visi-misi dapat diterima dan dimengerti masyarakat dengan lebih mudah atau familiar.
Jargon Pro-Rakyat dari pasangan Mega-Prabowo misalnya, agaknya sudah pas menggambarkan visi-misi yang dibawa Pasangan Calon nomor satu tersebut. Dalam visi-nya, pasangan Mega-Prabowo menyebutkan “Gotong royong membangun kembali Indonesia Raya yang berdaulat, bermartabat, adil dan makmur”. Sementara dari tiga misi pasangan ini, salah satunya menyebutkan: “Mewujudkan kesejahteraan sosial dengan memperkuat ekonomi kerakyatan”.
Sementara jargon Lanjutkan dan Lebih Cepat Lebih Baik, selintas masih kabur untuk menggambarkan visi misi yang diusung kedua Pasangan Calon. Namun karena keduanya bagian dari incumbent, maka mereka mengasumsikan masyarakat telah faham betul visi-misi mereka, terlebih kinerjanya selama ini. Karena itu logis, jika Pasangan Calon nomor 2 dan 3 memilih jargon tersebut.
Jargon Lanjutkan mengajak pemilih untuk melanjutkan visi-misi (bahkan lebih ditekankan pada: melanjutkan capaian atau keberhasilan) dari pemerintah. Sementara Lebih Cepat Lebih Baik mengisyaratkan pencapaian keberhasilan pemerintah mesti dipercepat. Sehingga, meski kedua pasangan ini dilihat dari visi-misi memiliki sejumlah perbedaan (pasangan JK-Wiranto menekankan kemandirian, sebagai counter dari jalannya pemerintahan yang selama ini dinilai kurang mandiri), dari sisi jargon sepertinya tak jauh beda.
Karena jargon mereka tak jauh beda, maka kedua jargon ini bisa saling bertukaran dalam rangka merebut simpati massa. Misalnya ada sejumlah spanduk yang bertuliskan: Cukup Satu Putaran, Lebih Cepat Lebih Baik, Lanjutkan ! Atau: Yang Lebih Cepat dan Lebih Baik, Pantas Melanjutkan Pemerintahan. Akhirnya yang terjadi hanyalah perang jargon.
Perang jargon menjadi pendidikan politik yang kurang baik tatkala rakyat tidak paham betul visi-misi dibalik kandungan jargon tersebut. Apalagi jargon itu semata-mata hanya berangkat dari sebuah strategi untuk menggiring kesadaran massa agar larut dalam suasana tertentu dan jauh dari mencerminkan kristalisasi sebuah visi-misi. Di sisi lain, para kontestan (beserta tim suksesnya) juga tidak berusaha keras untuk mengelaborasi visi-misi mereka, selain mengulang-ulang jargon.
Dalam undang-undang disebutkan kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program. Cara menawarkan visi misi dan program yang baik tentu dalam rangka pendidikan politik bagi rakyat. Karena itu idealnya kampanye adalah sebagai salah satu sarana pendidikan politik rakyat. Dengan kampanye, selain memahami hak-hak politiknya, diharapkan rakyat juga mampu berpikir kritis dan sadar betul akan dibawa ke mana arah perjalanan bangsa ini ke depan.
Upaya tersebut hanya akan efektif jika kampanye dilakukan dengan cara atau metode dialogis, dan jauh dari bentuk hiruk-pikuk kampanye yang hanya saling serang jargon dan slogan. Kampanye dialogis, termasuk penyelenggaraan debat Capres dan Cawapres, sebenarnya menjadi kesempatan yang baik untuk melakukan pendidikan politik bagi rakyat.
Namun, sebagaimana kita saksikan bersama, pada awalnya debat Capres dan Cawapres berlangsung datar dan dingin. Debat Capres dan Cawapres menjadi sedikit menggelitik saat Jusuf Kalla “menyerang” SBY berulang-kali pada Debat Capres putaran ke-2. (Seyogyanya, pada putaran berikutnya hal ini dilanjutkan dengan elaborasi visi-misi masing-masing calon, dan tak sekedar saling serang dan klaim keberhasilan dalam pemerintahan).
Meski kampanye dengan model dialogis dinilai paling tepat dalam rangka pendidikan politik, bukan berarti jargon itu tidak ada gunanya. Jargon atau slogan yang bersifat “membakar” sangat dibutuhkan pada kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis. Sebab dengan hadirnya jargon yang tepat, akan dapat membangkitkan semangat juang rakyat untuk keluar dari krisis. Dalam konteks ini, jargon berfungsi untuk mencipta momentum politik.
Kini, meski belum sepenuhnya bangkit, masyarakat Indonesia tak bisa lagi disebut berada dalam kubangan krisis. Paling tidak, kita berada pada fase awal kebangkitan. Dan dalam kondisi ini, yang diperlukan tak sekedar jargon. Dalam fase awal kebangkitan, jargon tak akan mampu menciptakan momentum politik, sebab baik pemerintah maupun opisisi berada dalam kondisi yang hampir berimbang (fifty-fifty).
Hemat saya, dalam kondisi sekarang, yang diperlukan adalah mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dan kritis tentang arah bangsa ini ke depan. Dan, sekali lagi, elaborasi dari visi-misi Pasangan Calon sangat diperlukan untuk itu. Hal ini selaras dengan jargon Pemilu 2009: Pemilih Cerdas Memilih Pemimpin Berkualitas.***

Tidak ada komentar: