Senin, 06 Juli 2009

OPINI

Tenang, Tenang !, Tenaaannnng !!!
Oleh MARWANTO

Menjelang hari pemungutan suara, saya selalu teringat karikatur karya GM Sudharta yang pernah dimuat harian Kompas sekitar 10 tahun lampau, sesaat sebelum hari coblosan di Pemilu pertama era reformasi.
Dalam karikatur tersebut digambarkan dua orang, dimana yang seorang membisikan kata “tenang” pada telinga orang satunya (gambar 1). Di gambar 2, orang tersebut tak sekedar berbisik, namun sudah berkata pada lawan bicaranya. Hal ini terlihat dari tanda seru dibelakang kata “tenang!” yang menyertai gambar tersebut. Sementara di gambar 3, orang tersebut tak sekedar bicara, tapi berteriak. Hal ini tampak dari gambar mulut orang yang terbuka lebar, dan kata tenang yang menyertai gambar tersebut ditulis: “Tennaaannggg!!!!”.
Hemat saya, karikatur tersebut tak sekedar simpel, tapi benar-benar mengena. Pesan yang hendak disampaikan sangat menohok: pada hari tenang menjelang coblosan (kini contrengan) para kontestan diharapkan menjaga suasana agar kondusif. Tapi? Alih-alih para kontestan menghentikan kegiatan kampanye sehingga membuat suasana bisa menjadi adem-ayem, yang terjadi justru suhu politik menjelang hari H pemungutan suara kian memanas. Makna “tenang” pun berubah menjadi “teriak”.
Filosofi Hari Tenang
Pada Pilpres 2009, KPU menetapkan tanggal 5 sampai 7 Juli sebagai hari tenang. Menurut undang-undang, di hari tenang tidak boleh ada aktivitas kampanye. Jika peserta pemilu melakukan kegiatan kampanye di hari tenang (baca: di luar jadwal), maka ada sanksi pidana (pasal 213 UU N0. 42 tahun 2008).
Lalu apa sesungguhnya filosofi hari tenang? Mengapa harus ada hari tenang menjelang pemungutan suara? Konon, filosofi hari tenang adalah masa dimana masyarakat benar-benar memperoleh ketenangan untuk dapat berpikir jernih. Berpikir jernih adalah perpaduan antara olah nurani dan logika, sambil mengesampingkan sisi-sisi emosional dalam diri manusia yang sebelumnya diharu-biru oleh gempuran strategi kampanye peserta Pemilu.
Pendek kata, di masa tenang pemilih di harapkan punya waktu untuk merenung. Merenungkan pilihan terbaiknya: semacam ancang-ancang atau masa pengendapan, untuk kemudian menentukan atau memutuskan pilihan. Seperti seorang atlet panah yang akan melepaskan busurnya, butuh jeda beberapa saat untuk konsentrasi.
Atas dasar inilah di hari tenang tak boleh ada aktivitas kampanye. Selain kampanye, rilis dan berita yang memuat hasil survei atau jajak pendapat pun juga dilarang. Sebab, hasil jajak pendapat dapat memengaruhi pendirian pemilih. Menurut teori Bandwagon, seorang pemilih cenderung memutuskan untuk memilih yang dipilih oleh mayoritas rakyat. Pendek kata, memilih kandidat yang akan menang.
Namun apa yang sekarang terjadi?
Secara formal larangan kampanye memang masih berlaku. Tapi agaknya peserta pemilu kian hari makin canggih membungkus strategi kampanye sehingga di hari tenang pun tetap bisa bergerilya menyasar dan memengaruhi pemilih, tanpa kegiatan tersebut dapat dimasukkan sebagai aktivitas kampanye. Dan, realitas menunjukkan di hari tenang ini justru banyak sekali berkeliaran “teriakan-teriakan” yang mengganggu konsentrasi rakyat untuk merenungkan pilihannya.
Alhasil, hari tenang kenyataannya adalah masa emas bagi peserta Pemilu untuk mendekati pemilih agar meraup dukungan semaksimal mungkin. Konon orang Jawa percaya, seorang yang mencalonkan diri akan menduduki jabatan politik, maka di malam hari pemungutan suara ia dilarang untuk tidur. Kalau ia sampai tertidur (lengah), maka “wahyu” atau “pulung” (keberungtungan) yang telah ia kantongi sangat riskan dicuri orang lain.
“Teriakan” yang Dilegalkan
Demikianlah, pada saat ini hari tenang adalah hari dimana banyak “teriakan” berseliweran. Bahkan karena sejumlah alasan (kebebasan dan keterbukaan, kata orang) “teriakan” di hari tenang itu sekarang ada yang dilegalkan. Rilis berita jajak pendapat atau survei yang semula dilarang di peraturan (pasal 228 UU N0. 42 tahun 2008), kini pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Realitas menunjukkan tak ada lagi beda antara hari tenang atau bukan. Lalu, di mana lagi rakyat mesti mencari makna dan hakekat hari tenang? Atau hari tenang itu memang sudah tak diperlukan lagi?

Tidak ada komentar: