Minggu, 26 Juli 2009

BYAR

Kiai Noor

Kiai Noor Hadi wafat pada malam pencontrengan Pilpres 2009. Saya tidak tahu ia akan memilih pasangan capres nomer berapa, seandainya tanggal 8 Juli itu ia masih sugeng. Setiap saya sowan saat lebaran Idul Fitri, beliau tak pernah mengajak bicara politik. Ia lebih senang ngobrol dan mendiskusikan “radikalisme” pandangan keagamaan.
Namun jangan serta-merta mengidentikan radikalisme yang saya sebut di atas dengan sikap fundamentalisme beragama yang dalam wacana politik, terutama akhir-akhir ini (di tahun melenium yang melelahkan), cenderung memperoleh imej kurang sedap. Konon, radikalisme berasal dari kata “radik” yang berarti akar.
Akar keagamaan (dalam Islam) inilah yang, hemat saya, menjadi titik berangkat pandangan-pandangan Kiai Noor. Karena itulah, bagi orang yang kurang longgar memahami, Kiai Noor sering disalahpahami. Minimal, sebagian orang tak habis pikir mencerna pandangannya. Meski ia Mustaysar PC NU Kulonprogo (dengan demikian tak ada orang yang berani meragukan bahwa ia NU deles) toh ia cukup getol “menyerang” tradisi yang konon paling banyak dilakukan warga nahdliyin: peringatan 7 hari sampai 1000 hari orang meninggal.
Atau, ia adalah orang Muhammadiyah yang ditempatkan di NU? Sebagaimana guyonan selama ini bahwa Mohamad Sobary dan Habib Hirzin adalah orang NU yang ditempatkan di Muhammadiyah? Semua itu tak jadi soal. Seperti yang selalu dipesankan Kiai Noor saat kami (anak-anak muda NU) sowan lebaran di rumahnya: NU atau Muhammadiyah itu hanya wadah. “Jangan sekali-kali kalian memperjuangkan Islam karena NU. Itu salah besar. Perjuangkan agama Islam karena Allah semata !”, demikian yang selalu ia pesankan pada kami.
Pendek kata, “pada tingkat akar” Islam itu satu. Karena sesungguhnya Islam itu memang satu. Ya, inna dinna indallahil Islam, itu. Dan yang satu itu ketika diterjemahkan oleh makhluk menjadi bermacam-macam (interpretasi). Titik krusialnya: jangan sampai “terjemahan” itulah yang kita anggap Islam sebenarnya. Dari sinilah maka wajar jika ada yang menyebut bahwa perilaku beragama umat itu selalu dalam proses (menjadi). Dan tepat pula jika seorang Muhammad Iqbal menulis buku Religion in The Making.
Kini Kiai Noor Hadi, salah satu hamba pilihan Allah (juga aset Kulonprogo) yang selalu mengingatkan akar keagamaan itu telah tiada. Tidak seperti lebaran tahun-tahun lalu, tahun ini saya tak tahu harus sowan kepada siapa untuk memperoleh pencerahan. Benar kata pepatah: “Mati Satu Tumbuh Seribu”. Tapi, dalam konteks ini, ternyata seribu itu hanya angka statistik. Tak mudah mendapati intan diantara hamparan pasir berserakan. Seperti juga belum tentu kita temukan satu puisi pun di sela-sela jutaan sajak yang berjejer di facebook maupun blog-blog pribadi.***

Tidak ada komentar: