Senin, 08 Maret 2010

Cerpen

Lukisan Terakhir

Cerpen Marwanto

(Dimuat KR BISNIS, 22 November 2009)
Malam menunjuk pukul dua. Udara dingin menusuk tulang lewat pori-pori. Dan suara jangkrik di persawahan terdengar merajam hati. Hati lelaki yang kini terasa sulit merumuskan air mata. Meski telah menekuk tubuhnya di atas ranjang dan tak bangun lagi. Aatau bahkan berlari kencang di tengah padang tak bertepi. Yang pasti, malam berlalu begitu panjang. Dan lengang.
Malam-malam seperti itu, yang panjang dan lengang, sudah sewindu berlalu. Tepatnya, sejak ditinggal Sita, hidup lelaki itu tak menentu. Bagai layang-layang putus talinya. Hinggap di sembarang tempat. Tergantung angin. Kadang di trotoar. Sekali tempo mampir di terminal. Lain waktu mojok dengan anak-anak muda di pos ronda. Tapi uniknya: meski sering pulang larut malam ia tak lupa merenung sebentar sebelum tidur, sambil mencoret-coret beberapa kalimat --mungkin dimaksudkan sebagai puisi.
Dalam perenungan itulah Rama, lelaki tadi, sering teringat Sita. Gadis yang telah menemani hidupnya hampir tiga tahun. Bagi Rama, Sita adalah gadis pengertian, santun, jarang marah dan mudah memaafkan. Lebih dari itu, ia selalu dapat membaca hati Rama. Itulah sebabnya pengertian Sita melebihi gadis-gadis lain yang pernah dekat dengan Rama.
Masa lalu Rama tak lepas dari tiga hal: Sita, trotoar, dan lukisan. Ya, Rama adalah seorang pelukis wajah yang mengais rejeki di trotoar kota –profesi yang ia jalani setamat dari SMA. Sebenarnya Rama cukup beruntung memiliki kekasih macam Sita, yang mahasiswi dan cantik. Apalagi sepulang dari kampus Sita selalu mendampingi kekasihnya itu mengais rejeki di trotoar. Dan jika tak ada pesanan, Rama acapkali menjadikan kekasihnya itu sebagai model lukisan. Bagi Rama, kecantikan Sita tak habis-habisnya untuk dituangkan ke dalam kanvas. Seperti pemuda yang jatuh cinta memandang bulan purnama. Saat melukis wajah Sita itulah ekspresi dan semangat hidup baru muncul dari dalam jiwa Rama.
Tapi, kini semuanya berlalu. Musababnya sederhana: seorang bos perusahaan yang juga kolektor lukisan tertarik dengan lukisan wajah perempuan karya Rama. Ternyata ketertarikan bos tersebut tak berhenti di situ. Ia ingin sekali dikenalkan dengan model lukisan tadi, yang tak lain adalah Sita. Setelah keduanya berkenalan, malapetaka menimpa Rama. Sita yang selama ini dikenal sebagai satu-satunya gadis yang selalu bisa membaca hati Rama, ternyata gagal mempertahankan komitmen cintanya. Mungkin selama ini Sita adalah gadis polos yang cuma mengenal lingkungan kehidupan pelukis trotoar yang sederhana. Sita belum pernah merasakan empuknya duduk di jok Inova atau Grand Livina.
Kepergian Sita membekaskan luka teramat dalam bagi Rama. Ia merasa tak hanya dikhianati Sita, tapi dikhianati kecantikan. Dan ia pun berjanji untuk tidak lagi melukis keindahan. Rama tak percaya lagi pada kecantikan wajah. Baginya, kecantikan dan keindahan wajah seringkali menipu. Sejak itu ia pensiun melukis wajah. “Aku tak mungkin melukis kepalsuan !!”, jeritnya.
***
Sore itu kicau burung ramai bersautan. Di halaman belakang rumahnya, Rama sedang melukis pemandangan alam. Sejak pensiun melukis wajah, objek lukisan Rama pindah ke pemandangan. Bagi Rama, keindahan alam tak pernah menipu. Ia suci dan lugu. Tapi baru beberapa menit menorehkan kuasnya ke kanvas, pintu rumah ada yang mengetuk. Seorang laki-laki berpakaian perlente datang. Tamu itu ternyata seorang General Manejer di sebuah perusahaan real-estate. Bagas namanya. Kedatangannya bermaksud meminta Rama melukiskan wajah kekasihnya.
“Tapi Tuan, saya berjanji tak akan melukis wajah lagi”
“Tolonglah, saya mohon dengan sangat. Saya sudah jelajah ke seluruh penjuru kota. Ternyata, hanya Anda pelukis wajah yang punya jiwa.”
“Em….. tapi,”
“Coba dilihat dulu foto yang saya bawa ini...!”
Rama tercengang melihat kecantikan perempuan dalam foto itu. Lalu dengan tak sadarkan diri ia mengangguk-anggukan kepala. Bagas mengartikannya sebagai tanda setuju.
“Terima kasih, terima kasih. Kapanpun jadinya, saya akan menunggu.”.
Bagas berlalu. Mata Rama masih terpaku, menatap foto itu. Semburat masa lalu terbayang di wajahnya. Mendadak gairah baru muncul dalam jiwanya. Gairah yang menyeretnya untuk memegang kuas dan …. melukis wajah ! Tangan Rama seperti ada yang menggerakkan untuk terus menari-nari di atas kanvas melukis kecantikan bulan purnama. Dan akhirnya terciptalah sebuah lukisan yang amat indah. Ah, lebih dari indah. Lukisan itu alami dan hidup. Jika publik tahu, barangkali inilah lukisan yang paling menghebohkan dunia !
Pagi itu Rama bangun kesiangan. Semalam waktunya habis untuk memandangi hasil lukisannya. Lukisan itu hampir jadi. Ya, tinggal finishing touch atau sentuhan akhir yang akan menyempurnakan lukisan itu. Saat tangan Rama hendak mengusap wajah perempuan dalam lukisan itu, mendadak telpon genggamnya bergetar.
“Sudah Tuan, tinggal sentuhan akhir saja. Jum’at sore bisa di ambil”
“Terimakasih, terima kasih. Saya tak tahu harus membalas dengan apa budi baik Mas Rama.”
“Jangan terlalu dipikirkan Tuan, saya hanya ada satu syarat…”
“Katakan saja, jangan sungkan. Berapapun yang Mas Rama minta akan saya penuhi. Sepuluh juta, duapuluh, limapuluh atau bahkan….”
“Bukan soal rupiah Tuan..”
“Oya, lalu soal apa ?”
“Saya minta Tuan mengajak perempuan yang ada dalam foto itu saat nanti mengambil”
“Oke, tak masalah”
HP ditutup. Rama melemparnya ke tempat tidur. Tangannya kembali mengusap-usap wajah perempuan dalam lukisan itu. “Kutunggu kau Sang Putri”, desisnya dalam hati.
Pada hari yang ditentukan, Bagas datang bersama perempuan dalam foto itu. Di balik pintu regol rumahnya, Rama berdiri membelakangi tamunya. Bagas dan perempuan itu terkejut.
“Berhenti di situ Tuan !”
“Ada apa ini ?”
“Saya minta Tuan Bagas menunggu di sini. Saya akan membuat sentuhan akhir pada lukisan bersama perempuan itu !”
Bagas tak bisa menolak. Perempuan itu melangkah pelan –dari sorot matanya terpancar keraguan. Hatinya membisik: “Sepertinya aku tak asing lagi dengan suasana rumah ini, tapi…..”.
“Jangan ragu Sang Putri, ! Sliahkan, silahkan. Lukisannya ada di pendopo itu”
Perempuan itu meneruskan langkah. Pelan sekali. Ketika sampai di depan lukisan, mata mereka saling bertatapan --dan seperti ada tenaga ghaib yang membuat keduanya tak bisa berkedip.
“Saya akan melakukan sentuhan akhir pada lukisan ini, saya harap Sang Putri tak keberatan. “
Rama mendekat. Tangannya memegang pundak perempuan itu. Ditatapnya perempuan itu dalam-dalam, lama sekali. Lalu, sekali lagi, seperti ada tenaga gaib yang menggerakkan mereka untuk saling berdekapan. Berpelukan, erat sekali. Degup jantung mereka seperti air di ujung muara sungai ketika bertemu samudra. Lalu keduanya berguling-guling di lantai pendopo. Lantai yang saat itu berubah menjadi samudera dengan ombak yang rancak berirama. Dan, begitu ajaibnya, bersamaan dengan itu lukisan di samping mereka menjadi tambah indah, alami, dan hidup.
Di luar regol, Bagas sudah bosan menunggu. Ia masuk dan langsung menuju pendopo tempat lukisan itu dipajang. Ia takjub melihat keindahan lukisan perempuan itu: “Ah, ini bakal menjadi lukisan termahal di dunia”.
Tapi ketakjuban Bagas menjadi keterkejutan saat ia mendapati kekasihnya ber-pelukan dengan sang pelukis. Dan, tubuh kedua insan yang berpelukan telanjang itu ternyata sudah tak bergerak lagi. Mereka begitu damai menghempaskan nafas terakhir. Bagas sedikit cemas. Namun, logika dagangnya membuat pikirannya berbalik: masih banyak perempuan cantik, tapi tak banyak ada lukisan seindah ini.
“Saya akan menjadi kolektor terkaya”. Bagas menjerit sambil mengepalkan tangannya ke udara.
Tapi begitu Bagas hendak menyentuh lukisan terakhir karya Rama, pelan-pelan lukisan itu lebur --muksa bersama tubuh Rama-Sita.***

Tidak ada komentar: