Senin, 08 Maret 2010

CERPEN

Ombak Pantai Hawaii
Cerpen Marwanto
( Dimuat MINGGU PAGI, Minggu IV Desember 2009 )

“Sudah dulu ya Ma. Cium jauh, cupp emmmuah……..”
Mata Nurhana berkaca-kaca. Ia letakkan hanphone di atas meja dekat tempat tidurnya. Telpon genggam itu kini bersanding dengan photo dan beker yang menunjuk pukul dua pagi. Di luar suara jangkrik terdengar merajam hati. Lalu kesunyian yang hampir membeku, mengiringi Ana melamunkan perairan Hawaii.
Mungkin di Hawaii sekitar jam dua siang. Tentu Tono, suaminya yang bekerja di kapal pesiar sebagai juru masak, kembali melanjutkan rutinitasnya: mengangkut barang-barang milik para pelancong. Ya, dua bulan lalu Tono memberitahu Ana kalau waktu senggangnya dipakai buat kerja sambilan membantu para pelancong membawakan barang-barangnya. Hasilnya lumayan, duapuluh dolar perjam. “Lumayan kan Ma, bisa untuk nelpon ke rumah”, Tono memberikan alasan.
“Ah, Papa. Kau pasti tambah berotot berkat sambilanmu itu”, batin Ana sambil mengusap foto suaminya. “Tapi itu lebih baik, daripada buat mikirin macam-macam. Laki-laki itu jangan terlalu banyak punya waktu luang”, Ana melanjutkan kata hatinya.
Lamunan Ana terusik suara tangis si kecil Ade. Melihat anaknya menangis, Ana segera merapatkan selimut yang membungkus bocah dua tahun itu. Tapi Ade meronta: “Maa....mimik cucu, mimik cucu Ma, mimik...”. Ana kemudian menggendong bocah itu dan berjalan menuju kamar pembantu yang terletak di dekat dapur.
“Mbok Jum, tolong buatkan susu !”
Selama pembantu itu membuat susu, tangis Ade tak juga berhenti. Ini membuat Anggi, kakaknya, terbangun. Bocah lima setengah tahun itu bangkit dari ranjang lalu mengusap-usap matanya. Saat Ana kembali ke kamar dan menemuinya, Anggi langsung mengajukan pertanyaan sebagaimana malam-malam sebelumnya.
“Papa telpon lagi ya Ma?”
“Iya”
“Kapan sih Papa pulang? Anggi sudah rinduuu... banget.”
“Tidak lama Papa juga akan pulang, sayang. Mama juga kangen, kok. Sekarang kamu tidur lagi, ya.!”
Anggi segera memeluk boneka kesayangannya. Lalu terlelap bersama mimpi indahnya. Mungkin ia memimpikan pantai Hawaii, dengan penjaga pantainya yang cantik-cantik seperti sering ia lihat dalam sebuah film seri di televisi itu.
Begitu Mbok Jum mengantar botol susu ke kamar nyonya rumah, Ana langsung melatakkan buah hatinya itu dengan sangat hati-hati agar bisa lekas tidur. Lalu sebagaimana biasa, bersamaan dengan habisnya sebotol susu, bocah yang lahir saat ayahnya sedang di Hawaii itu langsung tertidur pulas.
Dan pagi kembali sepi. Lamunan Ana kian meninggi. Tak bertepi. Suara jangkrik yang diiringi detak beker membuat Ana sulit memejamkan mata. Ia kembali membayangkan perairan Hawaii, yang belum pernah ia kunjungki. Tapi, seperti juga Anggi, lewat salah satu film seri di televisi Ana bisa merasakan alam Hawaii. Pantai eksotik yang indah nan ramai. Sesuatu yang bertolak belakang dengan suasana hatinya: dingin dan sepi.
Sepinya pagi menggerakkan tangan Ana meraih remote tape-recorder. Tak lama kemudian terdengar sayup-sayup suara lembut Celine Dion melantunkan Power of Love. Itulah pelipur Ana satu-satunya saat ia sulit tidur selepas merima telpon dari Tono. Lagu yang disukainya, juga disukai Tono. Lagu yang menguatkan dua hati yang berpisah
***
Saptono melamar Nurhana tujuh tahun silam setelah menamatkan kuliahnya di akademi perhotelan. Sebuah akademi yang menurut ibunya hanya memproduk “babu bagi turis-turis”.
“Jadi babu ndak masalah to Bu. Asal bisa kaya.”, kilah Tono waktu itu. Dan benar, selepas lulus ia langsung mendapat kerjaan sebagai juru masak di sebuah hotel berbintang tiga di kota. Dia ngelajo menjalani pekerjaannya, dan memilih tinggal di desa kelahirannya. Sebab gaji sebagai juru masak akan lebih berarti jika dipakai hidup di desa. Tak hanya berarti, tapi bisa dibilang lumayan tinggi -- apalagi untuk sebuah keluarga baru.
Namun Tono tetap belum puas dengan profesinya sebagai juru masak di hotel berbintang. Dia ingin membuktikan ucapannya: menjalani profesi sebagai babu atau jongos tidak masalah asal bisa kaya. Maka disela-sela menjalani pekerjaannya dia terus mencari informasi tentang pekerjaan di kapal pesiar. Dua tahun lalu Tono diterima dan berangkat kerja di kapal pesiar di sekitar perairan Hawaii, saat kandungan Ana menginjak bulan kesembilan.
“Kita akan baik-baik saja Ma. Percayalah, ini demi anak-anak dan masa depan kita. Pasrahkan saja pada yang di Atas. Dan.satu lagi… ingatlah selalu dengan lagu kita !”
Tono pergi dengan meninggalkan pesan yang tak hanya bergaung optimis, namun juga mengalun romantis. Tapi perempuan itu mendengarnya dengan hati yang teriris. Hari-hari menjelang kelahiran Ade dilalui dengan kesunyian dan beban berat. Dan saat kesunyian hati hampir mengantarnya ke jurang kegelapan, Power of Love itulah yang menahannya. Hati itupun kembali tegar. Ia ingat kata-kata Tono yang tertulis di sampul album lagu itu saat diberikan pada ultahnya yang keduapuluh tiga: “Sebuah lagu bukan sekedar kenangan, ia bagaikan busur yang meluncur tanpa ragu”. Kalimat yang membuat Ana tersenyum waktu itu (karena tak mutu pikirnya), tapi kini dirasakan mukjizatnya.
Kelahiran Ade sedikit mengobati kesunyian Ana. Wajah mungil yang masih suci itu menjadi pelipur hati tersendiri. Namun ini tak berlangsung lama. Setelah Ade bisa sedikit-sedikit berjalan, mulailah kerepotan Ana. Pendeknya, si Ade mulai membutuhkan perhatian ekstra. Sementara si Anggi belum sepenuhnya bisa “mandiri”. Seharian waktunya habis untuk mengurus kedua anaknya. Apalagi kalau si Anggi nakal, ia akan ingat suaminya. Sebab tak ada yang meluluhkan kenakanalan Anggi selain ayahnya.
Lama kelamaan Ana tak tahan juga dengan rutinitas hidupnya. Tapi mungkin benar kata pepatah bijak: dalam kesulitan itu ada kemudahan. Pun dalam kesusahan, selalu terbentang jalan menuju keceriaan. Dan di swalayan itulah barangkali Ana menemukan kembali keceriaan hidupnya yang selama ini musnah. Waktu itu ia sedang belanja bersama dua anaknya.
“Annaa......., Nurhana, ya ?”
Kening Ana berkerut sebentar, lalu berguman dalam tanya: “Dani …..?”
Agus Wardani adalah teman dekat Ana saat kuliah di akademi perbankan dulu. Mereka berdua lalu menceritakan keadaan masing-masing. Dani kini masih membujang dan bekerja di sebuah bank di kota kabupaten. Sementara Ana mengakui keadaan yang sebenarnya --maksudnya suaminya yang kerja di kapal pesiar. Termasuk rutinitas hidupnya yang melelahkan, membosankan, dan terhimpit sepi
“Mau bergabung dengan kami ?”
“Ah yang benar kamu ?”
“Serius. Perusahaan masih membutuhkan beberapa tenaga marketing. Yaaa.. tak seberapa sih gajinya. Apalagi kalau dibanding gaji suamimu yang hitungan dolar. Tapi percayalah, bisa untuk mengisi kesepian hidupmu.”
Setelah pertemuan itu Ana konsultasi dengan Tono. Dalam telpon, Tono menyetujui niat isterinya mengisi waktu luang dengan aktivitas di luar rumah. Atas kebaikan Dani, Ana pun kerja di bank itu. Sebagian gajinya untuk membayari pembantu, yang mengasuh Ade.
***
Ana tergagap dari lamunan saat suara adzan memanggil dari masjid dekat rumahnya. Ia memandang beker itu: jam empat lebih sepuluh menit. Ia bergegas mengambil air wudlu lalu sujud dua rakaat. Kemudian berdoa, mohon pada Allah agar diberi kekuatan lahir-batin dan keselamatan seluruh keluarga termasuk suaminya yang di rantau. Setelah itu ia harus menyiapkan segalanya. Keperluan sekolah buat Anggi, perlengkapan kerjanya, dan …... jawaban buat Dani. Ya, tiga hari lalu Dani mengajak Ana untuk menemaninya ke pesta resepsi salah satu koleganya di bank.
Ana merasa berat untuk menolak ajakan Dani. Tapi pergi berdua bersama Dani ke sebuah pesta resepsi jelas mustahil. Akhirnya Ana memutuskan untuk menolak ajakan Dani dengan alasan mau mengunjungi ibunya.
“Aduh gimana ya Dan. Ibu kemarin telpon mau ketemu Anggi dan Ade. Katanya beliau sudah rinduuuu banget sama cucunya. Tak baik kan menolak keinginan orang tua”
Dani tak bisa berbuat banyak. Dia sangat bisa mengerti segala alasan Ana. Bahkan sejak di bangku kuliah dulu, pengertian Dani lebih besar daripada yang dimiliki oleh Tono. Barangkali karena memang sudah nasib, akhirnya Ana jatuh ke tangan Tono. Tapi dasar jiwa seorang salles, Dani tak menyerah sampai di situ. Sebulan kemudian, di suatu sore, Dani mengajak Ana ke sebuah pameran pembangunan di kota kabupaten.
“Bisa kan nanti malam ?”
“Entahlah Dan. Emmm…..”
“Kalau kamu ragu, ajaklah Anggi, pasti dia senang.”
Kali ini Ana tak bisa mencari alasan. Ajakan Dani begitu mendadak. Ia bingung, dan terdiam sejenak. Ketika hendak mengemukakan suatu alasan, Dani terlanjur menutup pembicaraan dengan nada kalimat penuh optimisme seorang lelaki:. “Kalau begitu sampai nanti malam, daaah….”
Ana meletakkan telponnya sambil mengusap air mata. Juga mengusap photo Tono yang terletak dekat beker. Ia lalu meraih remote tape-recorder dan mengembara bersama lagu itu: Power of Love.
Pukul tujuh malam lebih sedikit pintu kamar Ana diketuk Anggi. “Ma, Mama… ada Om Dani. Katanya sudah janjian sama Mama…………”
Ana kembali mengusap-usap photo suaminya. Di sana tergambar debur ombak pantai Hawaii yang kini membuat gigil hatinya***

Tidak ada komentar: