Senin, 08 Maret 2010

O P I N I

Menangkal Logika Dagang Pilkada
Oleh: Marwanto

( Dimuat Harian Jogja, 1 Maret 2010 )

Salah satu yang dikawatirkan banyak pihak pada pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung adalah maraknya praktik politik uang (money politics). Bagi rakyat, politik uang dalam pemilihan jabatan publik sebenarnya bukan hal baru. Sebab jauh sebelum munculnya era reformasi, mereka telah puluhan tahun melakukan pemilihan langsung kepala desa (Pilkades) yang notabena juga tak lepas dari praktik politik uang.
Konon ada anggapan umum bahwa seorang yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala desa (Kades) harus memiliki “Tiga B”. Pertama bandha yang berarti harta atau uang. Seorang Kades harus punya harta yang banyak. Harta akan sangat mendukung kerja operasional sang calon. Salah satunya, tak dipugkiri lagi, untuk melakukan moey politics.
Kedua, bandhu yang berarti keluarga (keturunan). Dengan memiliki latar belakang keluarga besar, sang calon sudah mengantongi modal awal suara (pemilih) yang militan. Sebab tradisi orang Jawa ketika hendak memberikan suaranya dalam bilik ia akan menggunakan idiom: tega larane ora tega patine. Selain modal suara militan, adanya keluarga besar juga mempermudah dan sangat efektif sekali untuk memperluas jaringan.
Ketiga, bandhit atau arti leterleknya penjahat. Mungkin dapat dimaksudkan sebagai orang yang punya pengaruh. Untuk konteks saat ini barangkali bisa diartikan sebagai satgas atau semacam pasukan pengaman. Modal terakhir ini berperan dalam banyak hal. Mulai dari mengamankan posisi sang calon, mengintimidasi warga, dan bisa juga pendamping (bahkan pelaksana) dalam melakukan serangan fajar.
Dalam konteks Pilkada, kiranya tak terlalu berbeda jauh dengan praktik Pilkades di atas. Seorang yang hendak maju mencalonkan diri --baik untuk jabatan gubernur, bupati maupun walikota-- adalah orang yang mempunyai kekayaan dan jaringan. Sementara untuk syarat lain seperti visi, misi, karakter, serta integritas (kepribadian) sang calon, seakan menjadi syarat nomor sekian.
Pendek kata, asal punya uang yang banyak, maka syarat lain bisa tercukupi. Uang bisa untuk membentuk jaringan, membeli orang membuatkan visi-misi, dan menutup mata orang untuk melihat karakter dan kepribadian sang calon. Dari sinilah sebenarnya politik uang itu berpangkal.
Untuk konteks Pilkada, politik uang itu paling tidak terjadi pada dua ranah. Ranah pertama ada di tubuh partai politik. Hal ini mulai berlangsung saat proses penjaringan bakal calon (balon).
Ketentuan pasal 59 (ayat 1) UU No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, memang telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi nomor 005/PUU-VII/2005. Sehingga dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2008 (yang merupakan perubahan atas UU No. 32/2004) dimungkinkan munculnya pasangan calon independen (tidak diusung lewat partai politik).
Namun demikian posisi parpol tetap menjadi “gadis cantik” yang mendapat pinangan banyak pihak. Jika kita simak proses penjaringan pasangan calon Pilkada di tiga kabupaten (Sleman, Bantul dan Gunungkidul) maka fakta itu akan terbukti. Sejumlah parpol (terutama parpol besar) menjadi rebutan banyak tokoh yang hendak mencalonkan diri. Sementara untuk jalur perseorangan, sepertinya hanya menjadi pilihan terakhir jika seorang gagal mencalonkan diri lewat jalur parpol.
Logikanya, sebuah parpol yang diincar banyak calon akan menerapkan sejumlah syarat. Disamping memiliki visi, misi dan kualitas pribadi, seorang tokoh yang hendak melamar juga disyaratkan punya “gizi”. Syarat “gizi” ini kadang tak diatur “secara resmi”. Beberapa parpol hanya menyebut adanya uang pendaftaran dan nominalnya relatif kecil. Namun, seakan sudah menjadi rahasia umum, bahwa transaksi di belakang layar acapkali mencapai jumlah yang mencengangkan.
Langkah untuk menangkal politik uang pada ranah ini adalah memperkuat posisi anggota (konstituen) partai agar dapat berpartisipasi menentukan calon terbaik yang akan diusung partainya. Sebuah partai bisa menggunakan cara konvensi yang melibatkan sebanyak mungkin pengurus dan anggota untuk menjaring calon. Pendek kata, pengurus dan konstituen partai harus diberi hak untuk terus mengawasi mekanisme penjaringan calon.
Jangan sampai idealisme partai dalam menjaring calong dikalahkan oleh fakor uang semata. Kalau logika dagang yang menang sehingga aspirasi konstituen ditinggalkan, tidak saja akan menciderai regenerasi dan rekruitmen dalam tubuh parpol yang bersangkutan. Hal ini juga menunjukkan kegagalan regenerasi dan rekruitmen politik dalam tubuh parpol. Padahal regenerasi dalam tubuh parpol menjadi salah satu modal untuk regenerasi kepemimpinan nasional.
Sementara ranah ke dua, praktik politik uang di Pilkada bisa terjadi di lapisan masyarakat bawah (massa pemilih). Politik uang di ranah ini tak kalah dahsyatnya. Konon, sekitar 60% sampai 70% modal dari sang calon habis (disebarkan) untuk politik uang di itngkat grass-root.
Cara untuk menangkal politik uang di tingkat grass-root, mau tak mau harus memperkuat posisi masyarakat sipil. Tapi masyarakat sipil tersebut adalah yang terorganisir dan membentuk dirinya dalam wadah-wadah pengawasan atau pemantaun Pilkada. Kinerja dan gerak mereka juga akan lebih efektif jika wadah (organisasi) itu tadi berisi atau mencakup semua segmen masyarakat yang ada dan betul-betul menjaga netralitasnya dengan semua calon.
Dari situlah sebetulnya, peran Pilkada selain untuk menumbuhkan demokratisasi di tingkat lokal, juga bisa memperkuat esksistensi masyarakat sipil lokal. Masyarakat sipil lokal akan terbiasa untuk memperjuangkan hak-hak politik warga dengan cara menekan seminimal mungkin logika dagang dalam Pilkada. Disamping itu, masyarakat sipil lokal juga akan terbiasa mengelola konflik. Menejemen konflik yang baik merupakan salah satu syarat kedewasaan masyarakat sipil ketika bersinggungan dengan proses politik.
Jadi, pengefektifan kontrol konstituen parpol dan penguatan masyarakat sipil sama pentingnya dan harus bekerja sinergis untuk menangkal logika dagang dalam Pilkada. Jika logika dagang dalam Pilkada dapat diminimalisir harapan kita perilaku korupsi juga akan berkurang. Sebab, konsentrasi kerja kepala daerah yang terpilih tidak hanya memikirkan bagaimana modal yang dipakai dalam Pilkada bisa kembali. Rakyatlah yang menjadi prioritas utama.***

Tidak ada komentar: