Kota dan Dusta
oleh Marwanto
(Kompas (halaman Yogyakarta), 26/11/2008)
Kota adalah lanskap dimana setiap anasir di dalamnya selalu bergerak, dinamis, dan penuh mobilitas. Orang-orang yang berjalan kaki selalu terlihat lebih cepat dari yang kita temui di jalan-jalan pedesaan. Kalaupun ada pejalan kaki yang terlihat lamban di jalan-jalan kota, mereka pasti seorang pengemis atau pemulung yang menjadi korban ritme hidup perkotaan. Atau dua sejoli yang kasmaran dan sedang melupakan hiruk-pikuk keramaian sekitar.
Namun kota juga bisa hadir (dan kita pandang) sebagai bentangan ribuan etalase Yang membuat kita diam, tertegun, dan bengong. Kota mendorong kita untuk berkhayal. Kota adalah gudang ilusi, seperti setting sebagian besar sinetron televisi kita. Meskipun kota sebagai sesuatu yang dicitakan, ia masih membuat kita --masyarakat kebanyakan-- tertegun dan bengong.
Sehingga tak berlebihan jika para pemikir melihat kota adalah konsekuensi fisik dan sosial sekaligus dari kapitalisme. Kapitalisme, dengan industrialisasi sebagai “mesinnya”, secara psikologis memang menghadirkan khayal. Tidak saja gedung-gedung pencakar langit, tower yang menjulang, serta jalan tol mulus, tapi juga papan reklame dan ribuan etalase yang mendorong manusia menciptakan khayal. Lalu, reaksi yang bagaimana yang jamak ditempuh manusia dalam kondisi demikian ?
Ketika orang kampung dari pedalaman Gunung Kidul atau Kulon Progo jalan-jalan di Malioboro dan memandang gemerlap reklame (Dian Sastro yang mengiklankan sabun misalnya), ia sejatinya tak hanya berhenti menatap seorang Dian Sastro. Di dalam file-file otaknya lambat laun terbentuk citra tentang ide kecantikan yang sempurna, yang diidamkan. Kebetulan yang hadir saat itu adalah Dian Sastro.
Maka saat ia pulang kampung, lahirlah trend meniru apa yang dipakai dan dilakukan artis tadi. Kalaupun ia tak secantik Dian Sastro, ia cukup bangga saat menggosokkan sabun yang dipakai Dian Sastro. Itulah reaksi kebanyakan orang dalam menghadapi konsekuensi kapitalisme. Dalam ketakmampuan, orang masih bisa menghibur diri: dengan ilusinya mencipta imej atau citra dalam kesemuan (pseudo). Ironisnya, kesemuan itu acapkali dipandang sebagai realitas dan dijadikan dasar tindakan.
Meski menimbulkan ironisme, tapi kapitalisme memang tak seharusnya dilawan secara membabi-buta: dengan perusakan dan pengeboman tempat hiburan misalnya. Kapitalisme justru bisa menjadi salah satu sparing patner manusia untuk menegakkan eksistensinya. Dalam konteks ini, maka cukup masuk akal jika ada usulan bahwa untuk menunjukkan keistimewaan Yogyakarta perlu mentransfer semangat kepeloporan keraton dan keberanian rakyat Yogya dalam menentang kolonialisme masa lalu untuk menghadapi neo-kolonialisme baru: globalisasi dan ekspansi pasar atau liberalisasi, wajah lain kapitalisme.
Manakala kita gagal menjadikan kapitalisme sebagai sparing patner, kita hanya akan menjadi bagian dari ekornya. Padahal kapitalisme, dengan “kultur kota” sebagai salah satu penampakannya (menurut Nikolai Gogol dalam salah satu cerita pendeknya) adalah bohong selamanya. Sebuah “kota” adalah seribu ilusi, sekaligus dusta yang memikat.***
Rabu, 26 November 2008
Jumat, 21 November 2008
OPINI
Obsesi Menjadi PNS
Oleh Marwanto
(Radar Jogja, 21/11/2009)
Pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kembali dibuka. Kabar ini segera disambut antusias oleh banyak pihak di negeri ini –suatu fenomena yang menunjukkan bahwa status sebagai PNS masih menjadi obsesi sebagian besar masyarakat kita. Pertanyaannya, mengapa di era sekarang status PNS masih diminati sebagian besar masyarakat?
Pertanyaan tersebut akan menghantarkan kita pada telaah mengenai sejarah panjang birokrasi di negara ini. Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya Demokrasi dan Budaya Birokrasi, menjelaskan untuk memahami birokrasi di negara kita perlu disimak tiga fase perkembangannya. Tiga fase tersebut meliputi: masa kerajaan, masa kolonial dan masa negara nasional. Dari sini diketahui bahwa corak (kultur) birokrasi kita saat ini merupakan warisan birokrasi model kerajaan –terutama kerajaan agraris.
Pada zaman kerajaan, kedudukan birokrasi disebut dengan nama abdi dalem, sebuah istilah yang lebih berorientasi melayani raja daripada rakyat. Dalam perjalanan waktu, para abdi dalem ini menjadi kelas sosial tersendiri yang berbeda dari masyarakat kebanyakan. Apalagi, kedudukannya kemudian diperkuat dengan berbagai atribut yang diperoleh dari kerajaan, misalnya dengan diberi pangkat atau gelar..
Fase kedua, ketika penjajah datang (masa kolonial), birokrasi dikenal dengan sebutan priyayi atau ambtenaar. Sama halnya dengan abdi dalem, priyayi juga mempunyai kedudukan/satuts yang istimewa dalam masyarakat. Selain itu, para priyayi juga sering menempatkan dirinya sebagai bagian dari kekuasaan kolonial, sebagaimana para abdi dalem menganggap dirinya bagian dari kekuasaan kerajaan.
Terakhir, ketika negara nasional terbentuk, birokrasi kita dikenal dengan nama pegawai negeri. Sama seperti dua masa sebelumnya, pegawai negeri juga memiliki strata sosial yang khusus dibanding masyarakat kebanyakan. Kalau kita simak berbagai kegiatan (hajatan) yang ada di masyarakat sekitar, maka akan selalu melibatkan orang yang dianggap terpandang. Dan salah satu segmen dari orang terpandang tersebut adalah mereka yang berstatus sebagai PNS ! Jadi, meski telah ada berbagai perubahan (reformasi) di negeri ini, sama seperti abdi dalem maupun priyayi, pegawai negeri juga acapkali mengidentikan dirinya bagian dari kekuasaan (status-quo).
Menyimak sejarah birokrasi kita yang amat panjang tersebut, ada satu benang merah yang dapat ditarik: bahwa kedudukan atau status sebagai birokrat sering diidentikan dengan menjadi bagian dari sebuah kekuasaan. Dan menjadi bagian dari kekuasaan, di manapun dan kapapun (terutama pada masa sulit atau tak menentu seperti saat ini) akan membuat seseorang merasa aman atau terjamin hidupnya.
Keyakinan seperti ini terutama akan diterima dengan sangat baik (taken for granted) oleh mereka yang memiliki mentalitas agraris. Sesuatu yang nyata-nyata bertolak belakang dari mentalitas (jiwa) wiraswasta –yang meski bisa membuat orang bebas (mandiri) berusaha, tapi penuh spekulasi dan kondisi yang tak pasti. Sementara seperti kita ketahui, saat ini mayoritas masyarakat kita masih bermental agraris. Itulah mengapa setiap ada lowongan CPNS selalu disambut antusias oleh masyarakat.
Kondisi ini sebenarnya bisa kontra-produktif bagi perjalanan bangsa ke depan. Sebagaimana kita tahu, waktu-waktu mendatang bersamaan dengan diberlakukannya pasar bebas yang berdampak makin ketatnya persaingan hidup (berusaha), tentu akan menuntut hadirnya orang-orang yang berjiwa atau punya mentalitas berwiraswasta. Orang-orang yang mandiri, kreatif, tangguh, dan tahan banting. Pendek kata, generasi yang tak hanya bersandar atau menggantungkan hidupnya pada pemerintah (negara).
Tentu obsesi dan pilihan hidup menjadi seorang pegawai negeri adalah sah-sah saja. Namun satu hal yang harus dicatat: ketika obsesi menjadi pegawai negeri hanya karena dilandasi ingin hidupnya aman, tak kena PHK, meski malas kerja tetap dapat gaji, dan dekat dengan kekuasaan, maka disitulah telah tertanam benih bagi timbulnya patologi (penyakit) birokrasi. Mengapa? Sebab kinerja birokrasi akan lebih berorientasi ke atas (kekuasaan) daripada ke bawah (melayani rakyat).
Dari penelitian (untuk keperluan skripsi) yang pernah saya lakukan menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan munculnya patologi birokrasi, sebagian besar karena orientasi aparatur negara lebih kepada melayani atau membuat senang kekuasaan daripada memberi layanan yang memuaskan pada publik. Dengan kata lain, semboyan abdi negara lebih ditonjolkan dibanding abdi masyarakat
Semoga seleksi penerimaan CPNS kali ini mampu menghasilkan para aparatur negara yang benar-benar beriktikad memberi layanan pada publik daripada sekedar membuat senang kekuasaan. Untuk mencapai tujuan ini, maka harus dimulai dengan transparansi rekruitmen PNS !***
Oleh Marwanto
(Radar Jogja, 21/11/2009)
Pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kembali dibuka. Kabar ini segera disambut antusias oleh banyak pihak di negeri ini –suatu fenomena yang menunjukkan bahwa status sebagai PNS masih menjadi obsesi sebagian besar masyarakat kita. Pertanyaannya, mengapa di era sekarang status PNS masih diminati sebagian besar masyarakat?
Pertanyaan tersebut akan menghantarkan kita pada telaah mengenai sejarah panjang birokrasi di negara ini. Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya Demokrasi dan Budaya Birokrasi, menjelaskan untuk memahami birokrasi di negara kita perlu disimak tiga fase perkembangannya. Tiga fase tersebut meliputi: masa kerajaan, masa kolonial dan masa negara nasional. Dari sini diketahui bahwa corak (kultur) birokrasi kita saat ini merupakan warisan birokrasi model kerajaan –terutama kerajaan agraris.
Pada zaman kerajaan, kedudukan birokrasi disebut dengan nama abdi dalem, sebuah istilah yang lebih berorientasi melayani raja daripada rakyat. Dalam perjalanan waktu, para abdi dalem ini menjadi kelas sosial tersendiri yang berbeda dari masyarakat kebanyakan. Apalagi, kedudukannya kemudian diperkuat dengan berbagai atribut yang diperoleh dari kerajaan, misalnya dengan diberi pangkat atau gelar..
Fase kedua, ketika penjajah datang (masa kolonial), birokrasi dikenal dengan sebutan priyayi atau ambtenaar. Sama halnya dengan abdi dalem, priyayi juga mempunyai kedudukan/satuts yang istimewa dalam masyarakat. Selain itu, para priyayi juga sering menempatkan dirinya sebagai bagian dari kekuasaan kolonial, sebagaimana para abdi dalem menganggap dirinya bagian dari kekuasaan kerajaan.
Terakhir, ketika negara nasional terbentuk, birokrasi kita dikenal dengan nama pegawai negeri. Sama seperti dua masa sebelumnya, pegawai negeri juga memiliki strata sosial yang khusus dibanding masyarakat kebanyakan. Kalau kita simak berbagai kegiatan (hajatan) yang ada di masyarakat sekitar, maka akan selalu melibatkan orang yang dianggap terpandang. Dan salah satu segmen dari orang terpandang tersebut adalah mereka yang berstatus sebagai PNS ! Jadi, meski telah ada berbagai perubahan (reformasi) di negeri ini, sama seperti abdi dalem maupun priyayi, pegawai negeri juga acapkali mengidentikan dirinya bagian dari kekuasaan (status-quo).
Menyimak sejarah birokrasi kita yang amat panjang tersebut, ada satu benang merah yang dapat ditarik: bahwa kedudukan atau status sebagai birokrat sering diidentikan dengan menjadi bagian dari sebuah kekuasaan. Dan menjadi bagian dari kekuasaan, di manapun dan kapapun (terutama pada masa sulit atau tak menentu seperti saat ini) akan membuat seseorang merasa aman atau terjamin hidupnya.
Keyakinan seperti ini terutama akan diterima dengan sangat baik (taken for granted) oleh mereka yang memiliki mentalitas agraris. Sesuatu yang nyata-nyata bertolak belakang dari mentalitas (jiwa) wiraswasta –yang meski bisa membuat orang bebas (mandiri) berusaha, tapi penuh spekulasi dan kondisi yang tak pasti. Sementara seperti kita ketahui, saat ini mayoritas masyarakat kita masih bermental agraris. Itulah mengapa setiap ada lowongan CPNS selalu disambut antusias oleh masyarakat.
Kondisi ini sebenarnya bisa kontra-produktif bagi perjalanan bangsa ke depan. Sebagaimana kita tahu, waktu-waktu mendatang bersamaan dengan diberlakukannya pasar bebas yang berdampak makin ketatnya persaingan hidup (berusaha), tentu akan menuntut hadirnya orang-orang yang berjiwa atau punya mentalitas berwiraswasta. Orang-orang yang mandiri, kreatif, tangguh, dan tahan banting. Pendek kata, generasi yang tak hanya bersandar atau menggantungkan hidupnya pada pemerintah (negara).
Tentu obsesi dan pilihan hidup menjadi seorang pegawai negeri adalah sah-sah saja. Namun satu hal yang harus dicatat: ketika obsesi menjadi pegawai negeri hanya karena dilandasi ingin hidupnya aman, tak kena PHK, meski malas kerja tetap dapat gaji, dan dekat dengan kekuasaan, maka disitulah telah tertanam benih bagi timbulnya patologi (penyakit) birokrasi. Mengapa? Sebab kinerja birokrasi akan lebih berorientasi ke atas (kekuasaan) daripada ke bawah (melayani rakyat).
Dari penelitian (untuk keperluan skripsi) yang pernah saya lakukan menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan munculnya patologi birokrasi, sebagian besar karena orientasi aparatur negara lebih kepada melayani atau membuat senang kekuasaan daripada memberi layanan yang memuaskan pada publik. Dengan kata lain, semboyan abdi negara lebih ditonjolkan dibanding abdi masyarakat
Semoga seleksi penerimaan CPNS kali ini mampu menghasilkan para aparatur negara yang benar-benar beriktikad memberi layanan pada publik daripada sekedar membuat senang kekuasaan. Untuk mencapai tujuan ini, maka harus dimulai dengan transparansi rekruitmen PNS !***
Selasa, 11 November 2008
OPINI
Masih Adakah Sosok “Pahlawan”?
Oleh Marwanto
(Kedaulatan Rakyat, 11 /11/2008)
Tak ada lencana yang lebih menawan dalam kebudayaan nasional modern daripada monumen-monumen dan makam-makan para tentara yang tak dikenal. Sekalipun makam tersebut menyimpan peninggalan mati yang tak dikenal atau jiwa-jiwa kosong, bagaimanapun makam-makan tersebut telah dipenuhi dengan khayalan nasional yang menghantui.
Paragraf di atas merupakan pendapat Benedict Anderson yang saya kutip dari buku karya Ross Poole, Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme (1993: 119). Lewat pendapat tersebut, tentu Ben Anderson tak sedang memuja seonggok benda mati bernama monumen. Tidak pula memuja kegagahan seorang tentara. Namun satu hal pasti: bagaimanapun epos kepahlawanan telah menjadi salah satu “ruh” dalam episode sejarah sebuah bangsa. Pembicaraan sejarah suatu bangsa tak akan lengkap tanpa membicarakan para pahlawan. Pada akhirnya, sosok pahlawan telah dan selalu menghantui perjalanan sebuah bangsa.
Maka, tak mengherankan jika dalam tiap periode sejarah dari sebuah negara-bangsa, banyak orang ingin tampil sebagai pahlawan. Tentu, seiring dengan perubahan jaman, maka makna dan sosok pahlawan akan selalu mengalami perubahan. Dulu, orang yang disebut pahlawan adalah mereka yang berjasa dalam pertempuran mengusir penjajah atau menghantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan. Lalu, di jaman sekarang ini, siapakah yang pantas disebut pahlawan ?
Tak mudah menjawabnya. Tapi yang pasti, dari dulu hingga sekarang, seorang pahlawan itu berangkat dari nilai. Pahlawan berjuang dan berkorban untuk menegakkan nilai. Nilai apakah yang ingin ditegakkan oleh seorang pahlawan ? Dari orang-orang bijak kita tahu jawabnya adalah nilai keadilan. Perjuangan dan pengorbaan pahlawan berujung pada terciptanya keadilan bagi umat manusia di muka bumi. Atas dasar titik pijak inilah, maka para pahlawan kita di jaman revolusi memperjuangkan kemerdekaan karena --seperti disebutkan dalam preambule konstitusi kita-- penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Jika kita selidiki lebih jauh, sejatinya keadilan sebagai sebuah nilai merupakan muara dari tiga nilai yang dalam kajian moralitas sering disebut sebagai “ide agung”. Prof Mortimer Jerome Adler dalam karyanya yang telah menjadi klasik The Great Ideas: A Syntopicon of Great Book of The Western World, 1952) menguraikan penyelidikannya tentang “ide agung” tersebut. Menurutnya, setidaknya ada tiga ide agung yang menyangga perdaban manusia, yakni: kebenaran, kebaikan dan keindahan. Nah, dengan tergelarnya tiga ide agung tersebut dalam praktik kehidupan sehari-hari maka dapat dipastikan keadilan juga telah maujud dalam kehidupan.
Dari kajian pustaka di atas, maka jika seseorang telah berjuang untuk menegak-kan kebenaran, kabaikan, dan keindahan demi terwujudnya keadilan di muka bumi maka ia sudah bisa disebut sebagai sosok pahlawan. Namun dalam aplikasinya ternyata amat sulit untuk melihat atau menemukan sosok penegak keadilan. Hal ini karena dalam menegakkan keadilan selalu disertai sebuah pertanyaan: keadilan untuk siapa ? Terlebih ketika rasa kebangsaan kita mulai pudar, maka perjuangan untuk menegakkan nilai menjadi amat partikular sifatnya. Dengan kata lain, menegakkan nilai untuk kepentingan bersama sebagai bangsa menjadi sesuatu yang amat mahal dan jarang (untuk tidak menyebut mustahil) untuk diperjuangkan.
Sebagai contoh kecil, seorang yang ingin memberantas kasus korupsi, tapi kebetulan pelakunya itu ada hubungan (entah kerabat atau kolega) dengan yang hendak memberantas maka tentu akan berpikir dua kali. Alih-alih menegakkan keadilan dengan memberantas korupsi, yang terjadi malah berusaha dengan segala cara (baik secara legal maupun kekuatan politik) untuk menghalang-halngi tindak pidana korupsi tersebut.
Alhasil, yang kemudian terjadi adalah munculnya pahlawan-pahlawan bagi suatu kelompok. Padahal, selain berangkat untuk menegakkan nilai, konsep kepahlawanan juga berangkat dari rasa senasib-sepenanggungan. Perjuangan dan pengorbanan tanpa dilandasi rasa senasib-sepenanggungan hanya akan melahirkan heroisme semu. Heroisme semu inilah yang kini sedang melanda kehidupan di tanah air.
Apalagi ketika salah satu buah dari reformasi politik di negeri kita meng-amanatkan jabatan publik dipilih secara langsung oleh rakyat, maka upaya untuk tampil dengan haroisme semu kian menjadi-jadi. Dalam konteks ini, heroisme cuma disepadankan dengan satu kata: popularitas ! Lihatlah, dari pemilihan presiden sampai kepala desa, maka faktor pertama-tama untuk mendulang suara adalah popularitas. Tentu tidak ada salahnya dengan faktor popularitas, namun yang amat disayangkan adalah popularitas itu acapkali sekedar citra (atau ‘tebar pesona”) yang dibuat lewat media massa dan kurang berhubungan dengan kualitas, terlebih kinerja dari seseorang.
Dari realita itulah maka kini sosok pahlawan telah mengalami pendangkalan makna. Sudah pasti pendangkalan makna kepahlawanan ini menerbitkan sejumlah dampak negatif. Salah satunya adalah sulitnya bangsa ini melakukan perubahan. Ya, karena masing-masing orang hanya mau jadi pahlawan buat kelompoknya atau memikirkan hal-hal yang membuat dirinya supaya tetap populer meski kinerjanya payah.
Di jaman yang serba sulit dimana kohesi sosial kita sebagai bangsa belum sepenuhnya pulih, memang sulit memunculkan sosok pahlawan “sejati”. Pahlawan yang berjuang dan berkorban untuk menegakkan nilai dengan dilandasi rasa senasib-sepenanggungan dan buat kepentingan bersama. Tapi, diantara ribuan orang yang tampil sebagai pahlawan (semu), niscaya suatu saat akan muncul sosok pahlawan sejati. Cuma, pertanyaan yang selalu mengusik kita, kapan ia akan muncul memperbaiki kondisi bangsa kita?***
Oleh Marwanto
(Kedaulatan Rakyat, 11 /11/2008)
Tak ada lencana yang lebih menawan dalam kebudayaan nasional modern daripada monumen-monumen dan makam-makan para tentara yang tak dikenal. Sekalipun makam tersebut menyimpan peninggalan mati yang tak dikenal atau jiwa-jiwa kosong, bagaimanapun makam-makan tersebut telah dipenuhi dengan khayalan nasional yang menghantui.
Paragraf di atas merupakan pendapat Benedict Anderson yang saya kutip dari buku karya Ross Poole, Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme (1993: 119). Lewat pendapat tersebut, tentu Ben Anderson tak sedang memuja seonggok benda mati bernama monumen. Tidak pula memuja kegagahan seorang tentara. Namun satu hal pasti: bagaimanapun epos kepahlawanan telah menjadi salah satu “ruh” dalam episode sejarah sebuah bangsa. Pembicaraan sejarah suatu bangsa tak akan lengkap tanpa membicarakan para pahlawan. Pada akhirnya, sosok pahlawan telah dan selalu menghantui perjalanan sebuah bangsa.
Maka, tak mengherankan jika dalam tiap periode sejarah dari sebuah negara-bangsa, banyak orang ingin tampil sebagai pahlawan. Tentu, seiring dengan perubahan jaman, maka makna dan sosok pahlawan akan selalu mengalami perubahan. Dulu, orang yang disebut pahlawan adalah mereka yang berjasa dalam pertempuran mengusir penjajah atau menghantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan. Lalu, di jaman sekarang ini, siapakah yang pantas disebut pahlawan ?
Tak mudah menjawabnya. Tapi yang pasti, dari dulu hingga sekarang, seorang pahlawan itu berangkat dari nilai. Pahlawan berjuang dan berkorban untuk menegakkan nilai. Nilai apakah yang ingin ditegakkan oleh seorang pahlawan ? Dari orang-orang bijak kita tahu jawabnya adalah nilai keadilan. Perjuangan dan pengorbaan pahlawan berujung pada terciptanya keadilan bagi umat manusia di muka bumi. Atas dasar titik pijak inilah, maka para pahlawan kita di jaman revolusi memperjuangkan kemerdekaan karena --seperti disebutkan dalam preambule konstitusi kita-- penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Jika kita selidiki lebih jauh, sejatinya keadilan sebagai sebuah nilai merupakan muara dari tiga nilai yang dalam kajian moralitas sering disebut sebagai “ide agung”. Prof Mortimer Jerome Adler dalam karyanya yang telah menjadi klasik The Great Ideas: A Syntopicon of Great Book of The Western World, 1952) menguraikan penyelidikannya tentang “ide agung” tersebut. Menurutnya, setidaknya ada tiga ide agung yang menyangga perdaban manusia, yakni: kebenaran, kebaikan dan keindahan. Nah, dengan tergelarnya tiga ide agung tersebut dalam praktik kehidupan sehari-hari maka dapat dipastikan keadilan juga telah maujud dalam kehidupan.
Dari kajian pustaka di atas, maka jika seseorang telah berjuang untuk menegak-kan kebenaran, kabaikan, dan keindahan demi terwujudnya keadilan di muka bumi maka ia sudah bisa disebut sebagai sosok pahlawan. Namun dalam aplikasinya ternyata amat sulit untuk melihat atau menemukan sosok penegak keadilan. Hal ini karena dalam menegakkan keadilan selalu disertai sebuah pertanyaan: keadilan untuk siapa ? Terlebih ketika rasa kebangsaan kita mulai pudar, maka perjuangan untuk menegakkan nilai menjadi amat partikular sifatnya. Dengan kata lain, menegakkan nilai untuk kepentingan bersama sebagai bangsa menjadi sesuatu yang amat mahal dan jarang (untuk tidak menyebut mustahil) untuk diperjuangkan.
Sebagai contoh kecil, seorang yang ingin memberantas kasus korupsi, tapi kebetulan pelakunya itu ada hubungan (entah kerabat atau kolega) dengan yang hendak memberantas maka tentu akan berpikir dua kali. Alih-alih menegakkan keadilan dengan memberantas korupsi, yang terjadi malah berusaha dengan segala cara (baik secara legal maupun kekuatan politik) untuk menghalang-halngi tindak pidana korupsi tersebut.
Alhasil, yang kemudian terjadi adalah munculnya pahlawan-pahlawan bagi suatu kelompok. Padahal, selain berangkat untuk menegakkan nilai, konsep kepahlawanan juga berangkat dari rasa senasib-sepenanggungan. Perjuangan dan pengorbanan tanpa dilandasi rasa senasib-sepenanggungan hanya akan melahirkan heroisme semu. Heroisme semu inilah yang kini sedang melanda kehidupan di tanah air.
Apalagi ketika salah satu buah dari reformasi politik di negeri kita meng-amanatkan jabatan publik dipilih secara langsung oleh rakyat, maka upaya untuk tampil dengan haroisme semu kian menjadi-jadi. Dalam konteks ini, heroisme cuma disepadankan dengan satu kata: popularitas ! Lihatlah, dari pemilihan presiden sampai kepala desa, maka faktor pertama-tama untuk mendulang suara adalah popularitas. Tentu tidak ada salahnya dengan faktor popularitas, namun yang amat disayangkan adalah popularitas itu acapkali sekedar citra (atau ‘tebar pesona”) yang dibuat lewat media massa dan kurang berhubungan dengan kualitas, terlebih kinerja dari seseorang.
Dari realita itulah maka kini sosok pahlawan telah mengalami pendangkalan makna. Sudah pasti pendangkalan makna kepahlawanan ini menerbitkan sejumlah dampak negatif. Salah satunya adalah sulitnya bangsa ini melakukan perubahan. Ya, karena masing-masing orang hanya mau jadi pahlawan buat kelompoknya atau memikirkan hal-hal yang membuat dirinya supaya tetap populer meski kinerjanya payah.
Di jaman yang serba sulit dimana kohesi sosial kita sebagai bangsa belum sepenuhnya pulih, memang sulit memunculkan sosok pahlawan “sejati”. Pahlawan yang berjuang dan berkorban untuk menegakkan nilai dengan dilandasi rasa senasib-sepenanggungan dan buat kepentingan bersama. Tapi, diantara ribuan orang yang tampil sebagai pahlawan (semu), niscaya suatu saat akan muncul sosok pahlawan sejati. Cuma, pertanyaan yang selalu mengusik kita, kapan ia akan muncul memperbaiki kondisi bangsa kita?***
Kamis, 30 Oktober 2008
STOP PRESS !!!
Masuk KPU, Tunda Terbitkan Buku
(Kedaulatan Rakyat, 30/10/2008)
LANTARAN dilantik menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kulonprogo periode 2008-2013, cerpenis dan penyair Marwanto terpaksa menunda rencana menerbitkan buku antologi cerpen-nya. Buku antologi cerpen yang sedianya akan diberi judul ‘Hujan Telah Jadi Logam’ tersebut sebenarnya sudah disodorkan ke sejumlah penerbit. Perihal rancangan buku tersebut, ia mengatakan seorang teman dekatnya menyarankan untuk menghilangkan 2 judul dari 16 judul cerpen yang akan dimuat. “Hingga kini belum fix, antologi cerpen tersebut akan berisi 16 atau 14 judul,” kata Marwanto, Sabtu (25/10). Penulis yang pernah bekerja sebagai Manajer Koperasi Serba Usaha (KSU) di Bank Pasar Wates tersebut menjelaskan bahwa padatnya pekerjaan di KPU mengharuskan dia untuk rehat beberapa saat dari aktivitas menulis. “Saya hanya mengurangi intensitas, bukan berhenti menulis”, tandas Koordinator Lumbung Aksara ini. Ia juga mengaku masih akan menyisakan waktunya untuk menggelorakan kegiatan sastra di Kulonprogo lewat komunitas ‘Lumbung Aksara’. (Cdr)-g
(Kedaulatan Rakyat, 30/10/2008)
LANTARAN dilantik menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kulonprogo periode 2008-2013, cerpenis dan penyair Marwanto terpaksa menunda rencana menerbitkan buku antologi cerpen-nya. Buku antologi cerpen yang sedianya akan diberi judul ‘Hujan Telah Jadi Logam’ tersebut sebenarnya sudah disodorkan ke sejumlah penerbit. Perihal rancangan buku tersebut, ia mengatakan seorang teman dekatnya menyarankan untuk menghilangkan 2 judul dari 16 judul cerpen yang akan dimuat. “Hingga kini belum fix, antologi cerpen tersebut akan berisi 16 atau 14 judul,” kata Marwanto, Sabtu (25/10). Penulis yang pernah bekerja sebagai Manajer Koperasi Serba Usaha (KSU) di Bank Pasar Wates tersebut menjelaskan bahwa padatnya pekerjaan di KPU mengharuskan dia untuk rehat beberapa saat dari aktivitas menulis. “Saya hanya mengurangi intensitas, bukan berhenti menulis”, tandas Koordinator Lumbung Aksara ini. Ia juga mengaku masih akan menyisakan waktunya untuk menggelorakan kegiatan sastra di Kulonprogo lewat komunitas ‘Lumbung Aksara’. (Cdr)-g
Minggu, 05 Oktober 2008
CERPEN
Teriakan Menjelang Lebaran
Cerpen MARWANTO
(KORAN MERAPI, 28/9/2008)
Pada awalnya Miskinem ragu menerima tawaran Tuan Suryo untuk menjadi pembantu di rumahnya. Sebab selama ini ia telah menjalani profesinya dengan senang hati. Profesi sebagai pencari barang rongsokan yang dilakoninya sebelum mengenal Surip, sang suami. Meski tak menghasilkan banyak uang, tapi pekerjaannya itu mendatangkan banyak sedulur alias kenalan. Bagaimana tidak, dalam sehari ia selalu mengayuh sepeda ontel berpuluh-puluh kilometer untuk mendatangi minimal tiga puluh rumah.
Karena itu Miskinem tak bisa membayangkan kalau nanti harus beralih profesi sebagai pembantu rumah tangga. Tentu hari-harinya hanya akan dilalui di dalam kungkungan tembok tinggi ala penjara. Tapi, dalam setiap kesempatan, Surip selalu mendesak isterinya. Dalam benaknya, profesi pembantu lebih menjanjikan kesejahteraan keluarga dibanding mencari barang rongsokan.
“Tidak kau pikirkan lagi tawaran Tuan Suryo itu, Mak ?”
“Apa sih enaknya jadi pembantu ?”
“Lho, kamu itu gimana to, ya jelas enak ! Tuan Suryo itu kan orang kaya. Pokoknya, ikut orang besar itu akan kena sawab sukses.”
“Ah, mbok jangan mengada-ada. Pembantu ya pembantu.“
“Yang pasti, kamu tidak terlalu capek seperti sekarang. Ya, ndak?”
“Meski capek, aku senang menjalaninya.....”
“Itu sekarang ! Apa sampai tua kamu akan keliling desa terus ?”
Inem mencoba mengerti jalan pikiran suaminya. Ia membayangkan masa depannya: saat tubuhnya sudah renta, apa akan kuat mengayuh sepeda berpuluh kilometer. Ah pasti sudah banyak penyakit menggerogotinya tubuhnya. Hati Inem mulai goyah.
Sampai akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya Tuan Suryo mendatangi keluarga itu, hati Inem luluh juga. Keberangkatan Inem dilepas suaminya dengan harapan akan memperbaiki nasib keluarga. Gatot, anak satu-satunya yang masih kelas lima, terlihat sedih saat emaknya melambaikan tangan dari dalam mobil sedan yang membawanya.
“Jangan sedih Tot! Besok kalau Emakmu pulang, kau pasti dibawakan sepatu bagus.......”
***
Sehari dua hari Inem masih agak kaku menjalani profesi barunya. Benar, yang ia rasakan pertama kali adalah rasa sumpek. Sejauh mata memandang hanya dinding-dinding yang terkesan angkuh dan kaku. Sehabis jam tujuh pagi, rumah yang besar dengan halaman seluas lapangan bola itu pasti telah lengang. Tuan Suryo, sebagai direktur utama di sebuah perusahaan real-estate, telah menuju kantornya yang berada di pusat kota. Sementara isterinya, Nyonya Lis, pergi mengantar Bagas ke sekolah. Wanita enerjik yang aktif diberbagai yayasan itu baru akan pulang selepas jam dua siang.
Praktis Inem hanya berteman dengan televisi dan Pak Jo, satpam di rumah itu. Tapi karena Pak Jo kurang familier diajak bicara, Inem jarang bertukar sapa dengan lelaki itu. Akhirnya, sehabis mencuci dan memasak Inem hanya berteman televisi. Satu-satunya teman ngobrol yang bisa diharapkan adalah kalau ada pedagang sayur keliling lewat. Itupun tak seberapa, cuma sekitar lima menit. Juga, kalau pas ada pencari barang rongsokan datang. Saat ada pencari barang rongsokan itulah Inem sering teringat masa lalunya.
“Enak ya Dik Nem, jadi pembantu orang kaya itu. Kerjanya ndak terlalu capek, tapi gajinya gedhe. Tiap hari makannya bergizi, tidurnya nyaman”.
“Ah, Mbakyu ini. Ya..... enakan seperti sampeyan itu to Yu Mur ...”
“Apa enaknya orang yang seharian penuh cuma keliling kampung ?”
“Ya enak, kan bisa bebas kesana kemari, mengenal banyak orang.....”
“Wah, berarti benar ya kata orang tua dulu. Urip ki mung sawang sinawang....”
“Dan enakan yang nyawang to daripada disawang atau nglakoni..?”
Mereka tersenyum, lalu tertawa kecil. Inem merasa terhibur sekali. Ia tak menyangka kalau pertemuannya dengan tukang rongsokan di siang itu justru menjadi awal kemarahan nyonya rumah. Sore harinya, setiba di rumah, Nyonya Lis kaget mengetahui ada termosnya yang raib. Inem mengaku kalau ia menjualnya ke pedagang rongsok.
“Kok berani-beraninya kamu menjual termos itu Nem ?”
“Kan sudah tidak panas lagi buat nyimpan air Nyonya.....”
“Itu berarti tinggal mengganti kacanya, dengan ongkos sepuluh ribu. Kalau beli yang baru, kan paling tidak dua puluhlima ribu. Jadi termos bekas itu seharusnya masih berharga limabelas ribu. Hayo.... tadi kamu menjualnya berapa ?”
Inem tertunduk. Jelas termos bekas itu tak laku dijual lebih dari lima ribu. Ia tak menyangka Nyonya Lis punya tabiat seperti itu: pelit dan perhitungan. Lain waktu, katika Inem membersihkan gudang, matanya melihat sepatu bekas milik Bagas. Ingatan Inem langsung tertuju pada Gatot, yang beberapa waktu lalu merengek minta dibelikan sepatu. Tapi, ketika Inem bermaksud membawa sepatu itu, Nyonya Lis memergokinya.
“Buat apa sepatu itu Nem ?”
“Anu Nyonya.... buat Gatot. Sepertinya Mas Bagas sudah tak memakainya lagi...”
“Enak saja, kan bisa dijual ke pedagang rongsokan. Simpan di gudang lagi sana !”
Sejak itu Inem tak berani minta barang apapun di rumah itu. Pengalaman terakhir yang paling membuat Inem sakit hati adalah saat membeli sayur dalam jumlah besar.
“Nem, kok banyak amat kamu beli sayur hari ini?”
“Anu Nyonya, tukang sayur itu bilang kalau besok mau libur”.
“Lho..... kamu kan bisa beli di pasar”.
“Maksud saya, daripada harus jalan ke pasar....”
“Eee...jadi kau pikir di sini cuma disuruh untuk duduk-duduk ?!”
***
Baru sebulan Inem jadi pembantu, tapi serasa setahun berlalu. Tubuhnya memang tidak lelah, tapi batinnya letih dan pecah. Di akhir bulan, Inem pulang menengok keluarganya sambil membawa gaji bulanan. Setiba di rumah, Inem mengadu pada Surip, suaminya. Tapi lelaki yang sehari-harinya kerja di bengkel itu menanggapinya dingin.
“Ah, biasa...”
“Biasa bagaimana maksud Bapak ini ?”
“Sebagai pengatur keuagan rumah tangga, Nyonya Lis memang harus begitu, perhitungan !”
“Ini bukan perhitungan lagi namanya, tapi pelit !”
“Mak, Mak, kamu cuma belum terbiasa saja. Mana ada kerjaan yang tanpa resiko. Oya, jadi kamu bawakan sepatu ndak Si Gatot ?”
“Boro-boro sepatu Pakne, damprat Nyonya Lis yang kudapat !”
Di bulan-bulan berikutnya, saat pulang, Inem selalu mengadu hal serupa pada suaminya. Tapi Surip selalu bilang “Ah, kamu cuma belum terbiasa“. Ini membuat Inem jengkel. Dan di bulan keenam, Inem merasa sudah tak kuat lagi. Ia mendesak suaminya untuk menemaninya pamit dari rumah Tuan Suryo.
“Wis tok pikirke sing wening, Mak ?”
“Sudah ! Aku sudah tak kuat lagi.”
Kening Surip berkerut lusuh. Matanya menerawang jauh. Impiannya merubah nasib dengan mengabdi pada orang besar punah sudah.
“Baik kalau memang niatmu sudah bulat. Aku tak bisa memaksa. Tapi mbok ditunggu sehabis lebaran. Biar nanti bisa padang-padangan semuanya. Mungkin selama ini Tuan Suryo tak mengetahui kalau Nyonya Lis bersikap keterlaluan padamu. Dan, siapa tahu sehabis Ramadhan Nyonya Lis berubah sikap. Kan tujuan puasa membuat orang tambah bertaqwa, tambah baik perilakunya. Itu yang kudengar di ceramah-cermah lho Mak.”
Inem mengangguk. Ia juga berharap, saat lebaran nanti ada sedikit uang ekstra atau THR (Tunjangan Hari Raya) dari majikannya.
“Apalagi Tuan Suryo itu orangnya baik, ya kan Mak ?”.
Inem mengangguk lagi. Keyakinan Inem akan kebaikan Tuan Suryo kini terbukti. Saat bulan puasa tiba, di rumah Tuan Suryo seminggu sekali diadakan buka bersama untuk anak-anak miskin. Bahkan di minggu terakhir, anak-anak itu diberi bingkisan yang berisi sarung, baju muslim, dan peci.
Sehari menjelang idul fitri tiba, Inem pamit untuk merayakan lebaran bersama keluarga.
“Barang empat atau lima hari saja Tuan”, Inem berkata sambil menunduk. Lalu pandangannya melirik ke arah Nyonya Lis dan meneruskan permintaannya: “Bisa kan Nyonya ?”
“Baiklah. Tapi kamu tahu sendiri kan, sekarang lagi jaman susah. Harga-harga melonjak tak karuan. Jadi untuk tahun ini dengan terpaksa kami tak bisa memberimu THR. Hanya uang bulanan seperti biasanya”, kata Nyonya Lis ketus –belum menunjukkan perubahan sedikitpun meski telah sebulan berpuasa. Tapi kata-kata Nyonya Lis itu segera ditimpali suaminya.
“Mam....! Em, begini Nem, kalau sekedar buat anakmu Gatot, kami masih ada sekedar oleh-oleh......”
Wajah Nyonya Lis mendadak masam. Ia menggeser duduknya, menjauhi suaminya yang selalu bersikap penuh belas kasihan.
“Mam, tolong ambilkan sisa bingkisan yang kita bagikan kemarin !”
“Kan sisa itu sudah dijatah buat anak-anak yayasan !”
“Sampun Tuan, sampun. Uang bulanan ini sudah cukup buat lebaran kami.”
Setelah mohon diri, dengan langkah gontai, Inem meninggalkan majikannya. Dalam benaknya ia terus berhitung: gaji bulanan itu memang baru cukup untuk menutup lumbung. Ia tak tahu uang dari mana buat membelikan baju dan sepatu anaknya. Namun, saat Inem sampai di pintu pagar, Tuan Suryo mencegatnya dengan raut muka hingar.
“Nem, ini ada sedikit uang buat Gatot, sebagai ganti bingkisan itu”.
Wajah Inem mendadak berseri, melihat Tuan Suryo mengeluarkan uang seratusan ribu – THR yang ia nanti..
“Matur nuwun sanget, terima kasih sekali Tuan”
Dalam perjalanan pulang hati Inem bernyanyi riang. Sampai alpa suasana dalam bus yang begitu padat, penuh tangan jail yang kesana-kemari mengemban muslihat. Setelah turun dari bus, mendadak tubuh Inem gemetar. Tangannya menggeledah mencari uang seratusan ribu dari Tuan Suryo. Saku, tas, dan bungkusan lainnya sudah ia periksa, tapi nihil alias tak beroleh apa-apa.
Dari kejauhan teriakan Gatot yang diiringi suara bedug menjelang Lebaran tiba sangat nyaring menyambut kedatangan Miskinem: “Mak,...sepatu baruuuu ....!!!.”***
Cerpen MARWANTO
(KORAN MERAPI, 28/9/2008)
Pada awalnya Miskinem ragu menerima tawaran Tuan Suryo untuk menjadi pembantu di rumahnya. Sebab selama ini ia telah menjalani profesinya dengan senang hati. Profesi sebagai pencari barang rongsokan yang dilakoninya sebelum mengenal Surip, sang suami. Meski tak menghasilkan banyak uang, tapi pekerjaannya itu mendatangkan banyak sedulur alias kenalan. Bagaimana tidak, dalam sehari ia selalu mengayuh sepeda ontel berpuluh-puluh kilometer untuk mendatangi minimal tiga puluh rumah.
Karena itu Miskinem tak bisa membayangkan kalau nanti harus beralih profesi sebagai pembantu rumah tangga. Tentu hari-harinya hanya akan dilalui di dalam kungkungan tembok tinggi ala penjara. Tapi, dalam setiap kesempatan, Surip selalu mendesak isterinya. Dalam benaknya, profesi pembantu lebih menjanjikan kesejahteraan keluarga dibanding mencari barang rongsokan.
“Tidak kau pikirkan lagi tawaran Tuan Suryo itu, Mak ?”
“Apa sih enaknya jadi pembantu ?”
“Lho, kamu itu gimana to, ya jelas enak ! Tuan Suryo itu kan orang kaya. Pokoknya, ikut orang besar itu akan kena sawab sukses.”
“Ah, mbok jangan mengada-ada. Pembantu ya pembantu.“
“Yang pasti, kamu tidak terlalu capek seperti sekarang. Ya, ndak?”
“Meski capek, aku senang menjalaninya.....”
“Itu sekarang ! Apa sampai tua kamu akan keliling desa terus ?”
Inem mencoba mengerti jalan pikiran suaminya. Ia membayangkan masa depannya: saat tubuhnya sudah renta, apa akan kuat mengayuh sepeda berpuluh kilometer. Ah pasti sudah banyak penyakit menggerogotinya tubuhnya. Hati Inem mulai goyah.
Sampai akhirnya, ketika untuk kesekian kalinya Tuan Suryo mendatangi keluarga itu, hati Inem luluh juga. Keberangkatan Inem dilepas suaminya dengan harapan akan memperbaiki nasib keluarga. Gatot, anak satu-satunya yang masih kelas lima, terlihat sedih saat emaknya melambaikan tangan dari dalam mobil sedan yang membawanya.
“Jangan sedih Tot! Besok kalau Emakmu pulang, kau pasti dibawakan sepatu bagus.......”
***
Sehari dua hari Inem masih agak kaku menjalani profesi barunya. Benar, yang ia rasakan pertama kali adalah rasa sumpek. Sejauh mata memandang hanya dinding-dinding yang terkesan angkuh dan kaku. Sehabis jam tujuh pagi, rumah yang besar dengan halaman seluas lapangan bola itu pasti telah lengang. Tuan Suryo, sebagai direktur utama di sebuah perusahaan real-estate, telah menuju kantornya yang berada di pusat kota. Sementara isterinya, Nyonya Lis, pergi mengantar Bagas ke sekolah. Wanita enerjik yang aktif diberbagai yayasan itu baru akan pulang selepas jam dua siang.
Praktis Inem hanya berteman dengan televisi dan Pak Jo, satpam di rumah itu. Tapi karena Pak Jo kurang familier diajak bicara, Inem jarang bertukar sapa dengan lelaki itu. Akhirnya, sehabis mencuci dan memasak Inem hanya berteman televisi. Satu-satunya teman ngobrol yang bisa diharapkan adalah kalau ada pedagang sayur keliling lewat. Itupun tak seberapa, cuma sekitar lima menit. Juga, kalau pas ada pencari barang rongsokan datang. Saat ada pencari barang rongsokan itulah Inem sering teringat masa lalunya.
“Enak ya Dik Nem, jadi pembantu orang kaya itu. Kerjanya ndak terlalu capek, tapi gajinya gedhe. Tiap hari makannya bergizi, tidurnya nyaman”.
“Ah, Mbakyu ini. Ya..... enakan seperti sampeyan itu to Yu Mur ...”
“Apa enaknya orang yang seharian penuh cuma keliling kampung ?”
“Ya enak, kan bisa bebas kesana kemari, mengenal banyak orang.....”
“Wah, berarti benar ya kata orang tua dulu. Urip ki mung sawang sinawang....”
“Dan enakan yang nyawang to daripada disawang atau nglakoni..?”
Mereka tersenyum, lalu tertawa kecil. Inem merasa terhibur sekali. Ia tak menyangka kalau pertemuannya dengan tukang rongsokan di siang itu justru menjadi awal kemarahan nyonya rumah. Sore harinya, setiba di rumah, Nyonya Lis kaget mengetahui ada termosnya yang raib. Inem mengaku kalau ia menjualnya ke pedagang rongsok.
“Kok berani-beraninya kamu menjual termos itu Nem ?”
“Kan sudah tidak panas lagi buat nyimpan air Nyonya.....”
“Itu berarti tinggal mengganti kacanya, dengan ongkos sepuluh ribu. Kalau beli yang baru, kan paling tidak dua puluhlima ribu. Jadi termos bekas itu seharusnya masih berharga limabelas ribu. Hayo.... tadi kamu menjualnya berapa ?”
Inem tertunduk. Jelas termos bekas itu tak laku dijual lebih dari lima ribu. Ia tak menyangka Nyonya Lis punya tabiat seperti itu: pelit dan perhitungan. Lain waktu, katika Inem membersihkan gudang, matanya melihat sepatu bekas milik Bagas. Ingatan Inem langsung tertuju pada Gatot, yang beberapa waktu lalu merengek minta dibelikan sepatu. Tapi, ketika Inem bermaksud membawa sepatu itu, Nyonya Lis memergokinya.
“Buat apa sepatu itu Nem ?”
“Anu Nyonya.... buat Gatot. Sepertinya Mas Bagas sudah tak memakainya lagi...”
“Enak saja, kan bisa dijual ke pedagang rongsokan. Simpan di gudang lagi sana !”
Sejak itu Inem tak berani minta barang apapun di rumah itu. Pengalaman terakhir yang paling membuat Inem sakit hati adalah saat membeli sayur dalam jumlah besar.
“Nem, kok banyak amat kamu beli sayur hari ini?”
“Anu Nyonya, tukang sayur itu bilang kalau besok mau libur”.
“Lho..... kamu kan bisa beli di pasar”.
“Maksud saya, daripada harus jalan ke pasar....”
“Eee...jadi kau pikir di sini cuma disuruh untuk duduk-duduk ?!”
***
Baru sebulan Inem jadi pembantu, tapi serasa setahun berlalu. Tubuhnya memang tidak lelah, tapi batinnya letih dan pecah. Di akhir bulan, Inem pulang menengok keluarganya sambil membawa gaji bulanan. Setiba di rumah, Inem mengadu pada Surip, suaminya. Tapi lelaki yang sehari-harinya kerja di bengkel itu menanggapinya dingin.
“Ah, biasa...”
“Biasa bagaimana maksud Bapak ini ?”
“Sebagai pengatur keuagan rumah tangga, Nyonya Lis memang harus begitu, perhitungan !”
“Ini bukan perhitungan lagi namanya, tapi pelit !”
“Mak, Mak, kamu cuma belum terbiasa saja. Mana ada kerjaan yang tanpa resiko. Oya, jadi kamu bawakan sepatu ndak Si Gatot ?”
“Boro-boro sepatu Pakne, damprat Nyonya Lis yang kudapat !”
Di bulan-bulan berikutnya, saat pulang, Inem selalu mengadu hal serupa pada suaminya. Tapi Surip selalu bilang “Ah, kamu cuma belum terbiasa“. Ini membuat Inem jengkel. Dan di bulan keenam, Inem merasa sudah tak kuat lagi. Ia mendesak suaminya untuk menemaninya pamit dari rumah Tuan Suryo.
“Wis tok pikirke sing wening, Mak ?”
“Sudah ! Aku sudah tak kuat lagi.”
Kening Surip berkerut lusuh. Matanya menerawang jauh. Impiannya merubah nasib dengan mengabdi pada orang besar punah sudah.
“Baik kalau memang niatmu sudah bulat. Aku tak bisa memaksa. Tapi mbok ditunggu sehabis lebaran. Biar nanti bisa padang-padangan semuanya. Mungkin selama ini Tuan Suryo tak mengetahui kalau Nyonya Lis bersikap keterlaluan padamu. Dan, siapa tahu sehabis Ramadhan Nyonya Lis berubah sikap. Kan tujuan puasa membuat orang tambah bertaqwa, tambah baik perilakunya. Itu yang kudengar di ceramah-cermah lho Mak.”
Inem mengangguk. Ia juga berharap, saat lebaran nanti ada sedikit uang ekstra atau THR (Tunjangan Hari Raya) dari majikannya.
“Apalagi Tuan Suryo itu orangnya baik, ya kan Mak ?”.
Inem mengangguk lagi. Keyakinan Inem akan kebaikan Tuan Suryo kini terbukti. Saat bulan puasa tiba, di rumah Tuan Suryo seminggu sekali diadakan buka bersama untuk anak-anak miskin. Bahkan di minggu terakhir, anak-anak itu diberi bingkisan yang berisi sarung, baju muslim, dan peci.
Sehari menjelang idul fitri tiba, Inem pamit untuk merayakan lebaran bersama keluarga.
“Barang empat atau lima hari saja Tuan”, Inem berkata sambil menunduk. Lalu pandangannya melirik ke arah Nyonya Lis dan meneruskan permintaannya: “Bisa kan Nyonya ?”
“Baiklah. Tapi kamu tahu sendiri kan, sekarang lagi jaman susah. Harga-harga melonjak tak karuan. Jadi untuk tahun ini dengan terpaksa kami tak bisa memberimu THR. Hanya uang bulanan seperti biasanya”, kata Nyonya Lis ketus –belum menunjukkan perubahan sedikitpun meski telah sebulan berpuasa. Tapi kata-kata Nyonya Lis itu segera ditimpali suaminya.
“Mam....! Em, begini Nem, kalau sekedar buat anakmu Gatot, kami masih ada sekedar oleh-oleh......”
Wajah Nyonya Lis mendadak masam. Ia menggeser duduknya, menjauhi suaminya yang selalu bersikap penuh belas kasihan.
“Mam, tolong ambilkan sisa bingkisan yang kita bagikan kemarin !”
“Kan sisa itu sudah dijatah buat anak-anak yayasan !”
“Sampun Tuan, sampun. Uang bulanan ini sudah cukup buat lebaran kami.”
Setelah mohon diri, dengan langkah gontai, Inem meninggalkan majikannya. Dalam benaknya ia terus berhitung: gaji bulanan itu memang baru cukup untuk menutup lumbung. Ia tak tahu uang dari mana buat membelikan baju dan sepatu anaknya. Namun, saat Inem sampai di pintu pagar, Tuan Suryo mencegatnya dengan raut muka hingar.
“Nem, ini ada sedikit uang buat Gatot, sebagai ganti bingkisan itu”.
Wajah Inem mendadak berseri, melihat Tuan Suryo mengeluarkan uang seratusan ribu – THR yang ia nanti..
“Matur nuwun sanget, terima kasih sekali Tuan”
Dalam perjalanan pulang hati Inem bernyanyi riang. Sampai alpa suasana dalam bus yang begitu padat, penuh tangan jail yang kesana-kemari mengemban muslihat. Setelah turun dari bus, mendadak tubuh Inem gemetar. Tangannya menggeledah mencari uang seratusan ribu dari Tuan Suryo. Saku, tas, dan bungkusan lainnya sudah ia periksa, tapi nihil alias tak beroleh apa-apa.
Dari kejauhan teriakan Gatot yang diiringi suara bedug menjelang Lebaran tiba sangat nyaring menyambut kedatangan Miskinem: “Mak,...sepatu baruuuu ....!!!.”***
Minggu, 27 Juli 2008
ESAI
Rindu Rumput Halaman
(KOMPAS (Halaman YOGYA), 23 /06/2008)
Beberapa waktu lalu saya dan sejumlah penulis dari Kulonprogo berkunjung ke rumah (baca: kamar kos) penyair Iman Budhi Santosa di Dipokusuman. Ada dua hal yang menjadi ciri menonjol kos-kosan Mas Iman: pohon sawo yang cukup besar menjulang tinggi dan halamannya yang luas. Ya, halaman berupa tanah yang kalau hujan datang pasti becek tak terelakkan.
“Saya sengaja memilih halaman yang tidak ber-konblok”,
“Lho, bukannya halaman yang ada kon-bloknya akan terlihat rapi dan bersih?”
“Iya, memang. Tapi, masa’ rumput saja dilarang tumbuh….” demikian Mas Iman berdalih pada kami.
Rumput. Jenis tumbuhan ini memang masih bisa tumbuh di halaman rumah-rumah perkotaan, meski halaman tersebut berkon-blok. Sebab, rumput akan dengan jeli tumbuh diantara himpitan kon-blok atau dimana saja area yang memungkinkan ia tumbuh. Tapi, saya kira tidak demikian maksud pernyataan Mas Iman. Apa yang dikatakan Mas Iman seakan sedang “mengoreksi” pemahaman kita akan kecintaan terhadap tanaman.
Ya, sejak booming tanaman (hias) beberapa waktu lalu, hampir tiap orang beramai-ramai “mencitai tanaman”. Rumah-rumah disulap dan dipenuhi aneka tanaman hias. Lalu ada imej: bahwa rumah beserta penghuninya sedang ramah lingkungan dengan banyaknya aneka tanaman (hias) dijejer di halaman sampai ruang tamu. Tapi, benarkah mereka benar-benar mencintai tanaman? Bukankah dengan “melarang” rumput tumbuh di halaman dengan memasang kon-blok, kita sejatinya mengekang tanaman?
Mencintai memang tidak gampang. Begitu juga mencintai tanaman dan lingkungan. Salah-salah, yang kita lakukan adalah menegakkan ego: mereka (tanaman) kita perlakukan sebagai objek penderita demi kesenangan dan hobi kita semata. Di sisi lain, hak tumbuh mereka secara wajar terus kita kebiri bahkan kita sumbat dan kekang.
Bagi orang yang menyuntukkan diri di dunia kreatif, seperti mas Iman, perilaku mencintai seperti itu jelas sangat bertentangan. Dunia kreatif sangat membenci kekangan. Di sini, Mas Iman adalah antitesa terhadap sikap mencitai tanaman (lingkungan) yang menjadikan tanaman sekedar objek penderita. Barangkali seperti tata kelola kota yang “mengharuskan” segala yang hidup tunduk pada logika dan konsep-konsep perkembangan kota modern.
Benarkah orang semacam Mas Iman adalah antitesa terhadap logika kehidupan kota? Mas Iman hanya salah satu amsal. Saya yakin masih ada orang lain seperti Mas Iman. Mereka ini akan terus memilih tinggal pada pekarangan yang di situ ada rumputnya. Dengan tinggal di tanah yang berumput, Mas Iman bisa terus selalu berkarya (menulis) sambil memandang pohon sawo atau rumput belukar di depan kamar kos-nya. Mungkin sambil menahan “letih” merasakan laju perkembangan kota dengan mengutip sebaris sajak Federico Garcia Lorca: Verde que te quiero verde…: Hijau, kumau engkau hijau://Bintang agung beku dingin//Tiba dengan bayang ikan//Yang merintis fajar.
(KOMPAS (Halaman YOGYA), 23 /06/2008)
Beberapa waktu lalu saya dan sejumlah penulis dari Kulonprogo berkunjung ke rumah (baca: kamar kos) penyair Iman Budhi Santosa di Dipokusuman. Ada dua hal yang menjadi ciri menonjol kos-kosan Mas Iman: pohon sawo yang cukup besar menjulang tinggi dan halamannya yang luas. Ya, halaman berupa tanah yang kalau hujan datang pasti becek tak terelakkan.
“Saya sengaja memilih halaman yang tidak ber-konblok”,
“Lho, bukannya halaman yang ada kon-bloknya akan terlihat rapi dan bersih?”
“Iya, memang. Tapi, masa’ rumput saja dilarang tumbuh….” demikian Mas Iman berdalih pada kami.
Rumput. Jenis tumbuhan ini memang masih bisa tumbuh di halaman rumah-rumah perkotaan, meski halaman tersebut berkon-blok. Sebab, rumput akan dengan jeli tumbuh diantara himpitan kon-blok atau dimana saja area yang memungkinkan ia tumbuh. Tapi, saya kira tidak demikian maksud pernyataan Mas Iman. Apa yang dikatakan Mas Iman seakan sedang “mengoreksi” pemahaman kita akan kecintaan terhadap tanaman.
Ya, sejak booming tanaman (hias) beberapa waktu lalu, hampir tiap orang beramai-ramai “mencitai tanaman”. Rumah-rumah disulap dan dipenuhi aneka tanaman hias. Lalu ada imej: bahwa rumah beserta penghuninya sedang ramah lingkungan dengan banyaknya aneka tanaman (hias) dijejer di halaman sampai ruang tamu. Tapi, benarkah mereka benar-benar mencintai tanaman? Bukankah dengan “melarang” rumput tumbuh di halaman dengan memasang kon-blok, kita sejatinya mengekang tanaman?
Mencintai memang tidak gampang. Begitu juga mencintai tanaman dan lingkungan. Salah-salah, yang kita lakukan adalah menegakkan ego: mereka (tanaman) kita perlakukan sebagai objek penderita demi kesenangan dan hobi kita semata. Di sisi lain, hak tumbuh mereka secara wajar terus kita kebiri bahkan kita sumbat dan kekang.
Bagi orang yang menyuntukkan diri di dunia kreatif, seperti mas Iman, perilaku mencintai seperti itu jelas sangat bertentangan. Dunia kreatif sangat membenci kekangan. Di sini, Mas Iman adalah antitesa terhadap sikap mencitai tanaman (lingkungan) yang menjadikan tanaman sekedar objek penderita. Barangkali seperti tata kelola kota yang “mengharuskan” segala yang hidup tunduk pada logika dan konsep-konsep perkembangan kota modern.
Benarkah orang semacam Mas Iman adalah antitesa terhadap logika kehidupan kota? Mas Iman hanya salah satu amsal. Saya yakin masih ada orang lain seperti Mas Iman. Mereka ini akan terus memilih tinggal pada pekarangan yang di situ ada rumputnya. Dengan tinggal di tanah yang berumput, Mas Iman bisa terus selalu berkarya (menulis) sambil memandang pohon sawo atau rumput belukar di depan kamar kos-nya. Mungkin sambil menahan “letih” merasakan laju perkembangan kota dengan mengutip sebaris sajak Federico Garcia Lorca: Verde que te quiero verde…: Hijau, kumau engkau hijau://Bintang agung beku dingin//Tiba dengan bayang ikan//Yang merintis fajar.
Kolom BYAR
Kethoprak
( Utik TW )
Ajakan nonton kethoprak. Itulah SMS terakhir yang kuterima darimu. Sebelum kau berpulang –pada sebuah pagi yang tak lagi dingin. Matahari, di pagi itu, telah senyum begitu lebar. Ah, bahkan tertawa. Ya, seperti tawamu yang amat lepas: ketika kita sedang tadarus puisi, menyiapkanTBM atau menggarap laporan PMK yang tak kunjung rampung. Dan di jalan Deandeles itu agaknya kau juga tertawa –meski dalam dekapan malaikat--, tawa yang terakhir.
Dan bukankah kethoprak (setidaknya dalam perspektif modern) mengajak kita tertawa? Mungkin memang bukan yang utama. Tapi, dalam konotasi tertentu, tawa dalam istilah kethoprak tidak bisa sekedar disebut bumbu. Simak misalnya dalam ungkapan: “Wah, malah kethoprak-an” atau “Jangan sok kethoprak-an, ah”. Ungkapan tersebut sering diartikan: jangan membuat lelucon. Akhirnya, pada tafsir kontemporer, acapkali seni kethoprak direduksi sekedar (pentas) lelucon.
Padahal, pada awal kemunculannya, kethoprak bukanlah berisi cerita yang cuma mengajak kita tertawa. Konon, sejarah kethoiprak yang bergulir tahun 1887 dengan jenis kethoprak lesung, dimulai dengan mengusung tema-tema “serius”: babad, legenda, dan adaptasi karya pujangga ternama semacam Pangeran Hamlet karya Shakespeare. Tapi, dalam perkembangnnya kethoprak diidentikan pentas yang mengusung lelucon. Muncullah kethoprak plesetan dan kethoprak humor.
Hal ini agaknya karena kehidupan yang kian pragmatis dan gersang. Dalam pragmatisme hidup, mengusung keseriusan ibarat berteriak ditengah gemuruh gelombang. Dan di dunia yang telah gersang, sesuatu yang serius acapkali membuat kram otak. Sebaliknya, lelucion/humor menjadi segelas es pelepas dahaga. Lalu dengan ditunjang perkembangan audio visual, pentas kethoprak meraih booming. Tapi, kejemuan memang gejala alamiah. Publik pun bosan. Masyarakat muak. Kethoprak tak lagi lucu. Sebab kehidupan nyata itu sendiri yang kemudian menjelma lelucon. Dan, dalam konteks ini, Utik tak salah: menyikapi dunia yang letih dengan tawa yang lepas.
Ah, Utik. Mungkin teman-teman lebih mengenangmu sebagai aktivis yang tak jenak diam (mobilitas telah identik dengan dirimu) atau kedua tahi lalat di pipimu. Namun ijinkan aku selalu terkenang dengan tawamu. Seperti di sore itu, memang ada isak dan air mata mengiringi jenazahmu –tapi selanjutnya yang terngiang adalah tawamu. Tawamu yang khas. Mengingatkanku pada pepatah Yahudi: saat manusia berpikir, Tuhan tertawa.***
Sumber: Buletin Sastra LONTAR Edisi 19/Th.II/2008
( Utik TW )
Ajakan nonton kethoprak. Itulah SMS terakhir yang kuterima darimu. Sebelum kau berpulang –pada sebuah pagi yang tak lagi dingin. Matahari, di pagi itu, telah senyum begitu lebar. Ah, bahkan tertawa. Ya, seperti tawamu yang amat lepas: ketika kita sedang tadarus puisi, menyiapkanTBM atau menggarap laporan PMK yang tak kunjung rampung. Dan di jalan Deandeles itu agaknya kau juga tertawa –meski dalam dekapan malaikat--, tawa yang terakhir.
Dan bukankah kethoprak (setidaknya dalam perspektif modern) mengajak kita tertawa? Mungkin memang bukan yang utama. Tapi, dalam konotasi tertentu, tawa dalam istilah kethoprak tidak bisa sekedar disebut bumbu. Simak misalnya dalam ungkapan: “Wah, malah kethoprak-an” atau “Jangan sok kethoprak-an, ah”. Ungkapan tersebut sering diartikan: jangan membuat lelucon. Akhirnya, pada tafsir kontemporer, acapkali seni kethoprak direduksi sekedar (pentas) lelucon.
Padahal, pada awal kemunculannya, kethoprak bukanlah berisi cerita yang cuma mengajak kita tertawa. Konon, sejarah kethoiprak yang bergulir tahun 1887 dengan jenis kethoprak lesung, dimulai dengan mengusung tema-tema “serius”: babad, legenda, dan adaptasi karya pujangga ternama semacam Pangeran Hamlet karya Shakespeare. Tapi, dalam perkembangnnya kethoprak diidentikan pentas yang mengusung lelucon. Muncullah kethoprak plesetan dan kethoprak humor.
Hal ini agaknya karena kehidupan yang kian pragmatis dan gersang. Dalam pragmatisme hidup, mengusung keseriusan ibarat berteriak ditengah gemuruh gelombang. Dan di dunia yang telah gersang, sesuatu yang serius acapkali membuat kram otak. Sebaliknya, lelucion/humor menjadi segelas es pelepas dahaga. Lalu dengan ditunjang perkembangan audio visual, pentas kethoprak meraih booming. Tapi, kejemuan memang gejala alamiah. Publik pun bosan. Masyarakat muak. Kethoprak tak lagi lucu. Sebab kehidupan nyata itu sendiri yang kemudian menjelma lelucon. Dan, dalam konteks ini, Utik tak salah: menyikapi dunia yang letih dengan tawa yang lepas.
Ah, Utik. Mungkin teman-teman lebih mengenangmu sebagai aktivis yang tak jenak diam (mobilitas telah identik dengan dirimu) atau kedua tahi lalat di pipimu. Namun ijinkan aku selalu terkenang dengan tawamu. Seperti di sore itu, memang ada isak dan air mata mengiringi jenazahmu –tapi selanjutnya yang terngiang adalah tawamu. Tawamu yang khas. Mengingatkanku pada pepatah Yahudi: saat manusia berpikir, Tuhan tertawa.***
Sumber: Buletin Sastra LONTAR Edisi 19/Th.II/2008
Langganan:
Postingan (Atom)