Selasa, 01 Desember 2009

CERPEN

Tetangga Baru
Cerpen Marwanto

(Dimuat KEDAULATAN RAKYAT, 8 November 2009)


Mijan. Begitu ia memperkanalkan namanya. Pendek memang. Sesingkat ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sebuah jabat tangan erat. Bagai cengkraman harimau yang tak kenal ralat. Belum lagi tatapan matanya yang tajam (Ah, mengingatkan kita pada mata elang !). Jelas, membuat kami semua segan. Tapi tak sedikit diantara kami yang selalu ingin dekat. Karena jauh dibalik ketajaman tatapannya, memancar telaga jernih -- yang membuat kami tak menolak untuk bersahabat.
Ia datang ke desa kami sebulan lalu. Mengaku berasal dari salah satu kampung di Indramayu. Ya, ia membawa beberapa bungkus kardus ukuran besar. Menurut pengakuannya, ia adalah seorang penjual minyak wangi yang mengedarkannya ke pasar-pasar. Namun menilik logat bicaranya, kami ragu kalau ia dari Indramayu.
“Apa benar sampeyan ini dari Indramayu ?”, tanya ketua RT yang juga mewakili warga yang hadir menyambutnya.
“Saya memang lahir di Indramayu.....”
“Tapi logat bicara sampeyan....”
“Benar, logat bicara saya memang Jawa Timuran. Sebab, sejak lulus SD saya berkelana di banyak pesantren di Jawa Timur. Dan hingga kini.... Ah, saya kira dari mana asal kita tak terlalu masalah. Yang penting, kita masih sebangsa, dan sama-sama kawulane Gusti Allah. Nggih mboten ?”
Kami semua manggut-manggut pertanda mengiyakan. Begitu pula ketika ia meminta nginap di salah satu rumah warga. Sebuah permintaan yang tak mungkin kami tolak, sebab meluncur dari mulut manis –mungkin semanis madu atau paling tidak kolak.
“Dengan amat sangat Bapak, saya mohon diperkenankan tinggal di sini. Barang satu sampai dua bulan, sebelum kami menemukan wilayah pemasaran yang tepat”.
“Jadi barang dagangan macam apa yang sampeyan bawa !”
“Minyak wangi non-alkohol.....”
Lalu dengan cekatan ia mengeluarkan beberapa contoh minyak wangi dalam botol-botol ukuran kecil. Dan dalam sekejab ruangan itu menjadi harum: semerbak melati, kasturi, strauberi, .......
Namun saya (dan mungkin juga warga lain) ragu apakah semua bungkusan kardus besar itu berisi minyak wangi. Rupanya keraguanku terbaca dengan baik oleh Mijan. Ia segera menjawab, sebelum saya lontarkan beberapa pertanyaan mengenai hal itu.
“Selain minyak wangi, kami juga menawarkan berbagai jenis baju muslim, sarung, dan pecis....”
Saya pun lega. Demikian pula warga lain yang hadir. Kemudian, dengan bahasa yang sopan pula, Pak RT meminta tanda pengenal tamu itu. Kami heran, melihat wajah Pak RT seperti memendam tanya begitu melihat KTP yang disodorkan Mijan.
“Benar ini KTP sampeyan ?”
“Benar Pak. Memang oleh teman-teman saya dipanggil Mijan, meski di KTP saya terlahir dengan nama Nur Kholil. Tapi apalah arti sebuah nama, ngggih mboten Bapak-Bapak ?”
Kami semua menggut-manggut lagi pertanda tak keberatan. Lalu dengan nada sopan, tamu itu menanyakan akan ditampung di rumah siapa untuk bermalam.
Pak RT menoleh kiri-kanan, seakan minta persetujuan. Dan akhirnya sampai pada kesimpulan.
“Bagaimana kalau di rumah Mas Gatot saja”
Saya terkejut nama saya disebut. Tapi kemudian saya memahami alasan Pak RT. Saya adalah ketua Karang Taruna, disamping itu rumah saya luas, belum beristeri, dan kerap dipakai nongkrong anak muda. Saya pun kemudian mengatakan tak keberatan Tapi, tamu itu justru yang tak berkenan. Alasananya, agak bersifat pribadi memang. Bahwa tiap malam ia tak terbiasa dengan suasana gaduh nan ramai. Sebab, katanya, ia selalu menghabiskan malam untuk mengaji dan sujud pada Tuhan. Maka dia mohon dicarikan rumah yang agak sepi, tak banyak orang berkerumun terutama di malam hari.
Selidik punya selidik, Pak RT dan kami menemukan pilihan rumah Mbokde Sayem –seorang janda yang hanya ditunggui cucunya bernama. Rahmat. Memang rumah itu tak begitu luas, tapi cukup untuk menampung barang bawaan Mijan --dan yang penting sepi, seperti yang ia inginkan.
Seminggu berlalu, tetangga baru kami segera bisa beradaptasi dengan lingkungan. Ia rajin nongol pada acara hajatan di kampung, seperti gotong royong atau kerja bakti. Tapi untuk kegiatan kepemudaan, Mijan jarang menampakkan diri. Satu-satunya kedekatan Mijan dengan pemuda hanyalah kalau ada acara pengajian di masjid –dan akhir-akhir ini ditambah dengan rutinitasnya mengajar anak-anak kampung baca Qur’an. Ah, dengan Rahmat pun Mijan terlihat akrab sekali. Cucu Mbokde Sayem itu kini lebih rajin ke masjid, menjadi muadzin setiap maghrib.
Namun yang membuat kami heran, hampir sebulan tak kami lihat Mijan ke pasar membawa dagangannya. Menurut keterangan Rahmat, selama ini Mijan hanya di rumah saja. Dan ketika saya selidik lebih jauh, bocah yang belum lama disunat itu hanya menjawab pendek: tidak tahu. Hal ini mendorong saya dan beberapa rekan pemuda desa menyambangi rumahnya. Mijan agak terjekut menerima kedatangan kami sore itu.
“Monggo Mas Gatot. Mari teman-teman... ...”
Ia mempersilahkan kami sambil dengan sigap membetulkan letak kardus-kardus besar itu, yang kelihatanya bukan berisi botol minyak wangi --dan mungkin juga bukan baju muslim, sarung atau peci.
“Kok masih di rumah saja Mas Mijan ?”
“Iya.”
“Lho, bagaimana dengan dagangannya. Kapan lakunya ?”
“Ceritanya kan begini Mas Gatot. Saya ini sebenarnya cuma membawakan barang milik seorang teman. Dan saya tak berani menjual barang-barang ini sebelum teman saya datang. Rencaanya dalam minggu ini .... ah paling lama awal minggu depan, teman saya itu akan datang. Sekarang ia masih ada urusan dagang di Temanggung”.
Saya dan pemuda desa lainnya saling berpandangan. Pandangan yang penuh terka. Sikap ini kami lakukan karena dalam pertemuan Karang Taruna se-kabupaten dua hari lalu, Pak Bupati menganjurkan supaya kami hati-hati kalau menerima tamu dari luar daerah yang belum dikenal. Dan tadi malam, kami memang mengumpulkan pengurus Karang Taruna desa untuk membicarakan pesan Pak Bupati tersebut. Jadi kedatangan kami hari ini adalah keputusan rapat tadi malam. Namun, ketika kami berusaha untuk menyelidik lebih jauh barang dagangannya, dalam kardus besar yang menurutnya berisi pakaian muslim, ia menolak halus.
“Maaf Mas Gatot, saya tak berani membuka barang milik teman saya ini sebagaimana diamanatkannya. Bukankah sebagai seorang muslim kita wajib melaksanakan amanat ? Tapi, kalau kardus yang satu ini, monggo silahkan lihat, ini milik saya,”
Lalu Mijan menyodorkan kardus yang sering dibukanya itu, yang dulu waktu dia datang pertama kali ke kampung kami telah membukannya dan berisi minyak wangi. Mungkin kardus itu memang sebagai sampel. Tapi yang kami inginkan adalah kardus lainnya, yang tak boleh dibuka itu.
Malam harinya, dalam sebuah rapat mendadak di Balai Desa, kejadian siang itu kami konsultasikan dengan perangkat desa dan BPD. Ternyata, sikap baik Pak RT dan saya yang mengijinkan tamu itu bermalam di rumah Mbokde Sayem kurang berkenan di hati Pak Lurah.
“Saya pikir, Pak RT dan Mas Gatot terlalu gegabah menerima orang itu”
Pak RT terdiam. Wajahnya tertunduk, menunjukkan watak khas seorang bawahan yang selalu siap menerima kemarahan atasan. Namun, saya agak tersinggung dengan ucapan Pak Lurah, apalagi pandangan matanya memancarkan sikap arogan.
“Begini Pak Lurah, sebagai sesama manusia, terus terang hati kami terketuk, dan tak kuasa menolak permintaannya. Apalagi permintaan itu diungkapkan dalam bahasa yang sangat halus dan sopan. Dan lagi, bukankah tamu itu sudah menunjukkan tanda pengenal dan juga mengakui pekerjaannya ?”
“Dan satu hal lagi Pak Lurah”, tiba-tiba salah satu pengurus Karang Taruna menyela pembicaraan, “Bukankah wajah Mijan tak ada kemiripan secuilpun dengan potret wajah yang disebar aparat beberapa waktu lalu ?”
Ternyata argumentasi yang kami lontarkan tak memuaskan Pak Lurah. Dan sebelum peserta rapat lainnya urun rembug, ketua BPD tampil memberi jalan tengah.
“Begini Bapak-Bapak sekalian, yang sudah ya sudah. Meski begitu, kita tak boleh lengah. Jadi, jangan buang waktu lagi. Besok pagi kita mengklarifikasi hal ini. Kita temui tetangga baru kita itu bersama-sama”.
.Forum yang hadir sepakat dengan usulan ketua BPD. Namun satu hal yang diluar dugaan kami: ternyata isi pertemuan malam itu cepat tersiar. Akhirnya, rencana menemui Mijan yang hanya melibatkan Pak Lurah, Pak RT, anggota BPD, dan beberapa pengurus Karang Taruna, ternyata diikuti pula oleh pihak Polsek
Pagi itu belum ada jam enam. Rombongan kami sudah tiba di rumahnya Mbokde Sayem – ini perintah Kapolsek yang harus kami laksanakan. Seperti biasa, rumah itu lengang dan sepi. Apalagi halamannya belum terkena sorot matahari. Ketika kami uluk salam, nampak perempuan tua itu membuka pintu dengan sangat hati-hati. Bukannya ia tak bisa lagi cekatan, gerakannya yang terlalu kuat akan mengakibatkan pintu tua dari kayu itu gogrok berantakan.
Ia adalah perempuan yang telah renta, dan semakin menunjukkan kepikunannya melihat rambongan kami. Karenanya saya membisikkan pada telingannya berkata ingin menemui Rahmat. Dengan panggilan khas, Mbode Sayem menyuruh cucunya itu keluar. Bgaimanapun, bocah ingusan itu agak kaget dan sedikit keder melihat kedatangan kami
“Jangan takut, Mat. Bapak-bapak ini cuma mau bertemu dengan Mijan...”
Rahmat diam sejenak. Lalu berkata dengan suara berat tertahan, “Emm anu Mas Gatot, tadi malam selepas tahajud Mas Mijan telah pamit?”
“Pamit ???”, kata kami serentak.
“Ya, membawa semua barangnya....”
Pak polisi, karena nalurinya yang mengharuskan tak percaya pada orang paling alim sekalipun, segera menghambur masuk menyelidik seluruh ruangan. Hasilnya nihil dan kami harus meninggalkan rumah Mbokde Sayem –rumah tua yang sejak saat itu menyimpan beribu pertanyaan.
Mijan telah pergi. Tak ada kejadian luar biasa selama sebulan ia bersama kami. Ya, kecuali anak-anak menjadi lebih rajin ke masjid untuk mengaji.***

Selasa, 20 Oktober 2009

OPINI

Oposisi Tak Diperlukan Lagi ?
Oleh MARWANTO
(Dimuat Harian Jogja, 17 Oktober 2009)

Presiden terpilih hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009 segera akan dilantik 20 Oktober mendatang. Kemenangan pasangan calon SBY-Boediono sudah diprediksi sejumlah pihak –baik pengamat, lembaga survei maupun masyarakat awam sekalipun. Hasil Pilpres 2009 pun menjadi kurang menarik untuk diikuti. Justru yang paling menarik perhatian orang dari Pilpres 2009 waktu itu adalah apakah Pilpres akan berlangsung dua atau satu putaran. Dan seperti kita saksikan bersama, Pilpres 2009 memang hanya berlangsung satu putaran.
Meski Pilpres 2009 sudah berlangsung dan kurang menarik diikuti, hemat saya ada satu hal yang patut ditelaah kaitannya dengan perolehan suara ketiga pasangan calon. Dari ketiga perolehan suara pasangan calon, hanya pasangan JK-Wiranto yang diluar dugaan. Menurut sejumlah lembaga survei, elektabilitas pasangan ini meningkat mendekati hari H pemilu dan diperkirakan akan head to head dengan pasangan SBY-Boediono jika Pilpres berlangsung dua putaran.
Peran partai memang tidak lagi signifikan untuk mendulang suara dalam Pilpres. Namun pasangan JK-Wiranto dikenal mempunyai jaringan luas –baik di Jawa maupun luar Jawa. Jangan lupa, pasangan JK-Wiranto juga didukung sejumlah tokoh ormas keagamaan. Tapi mengapa perolehan suara mereka jeblok?
Mari kita telusuri dari karakteristik perilaku pemilih. Berkaca dari hasil Pemilu Legislatif 2009, masyarakat kita mendasarkan pilihannya lebih menggunakan pertimbangan faktor rasional daripada ideologis. Pendek kata, pemilih kian pragmatis. Sehingga, faktor ideologis tak lagi menjadi pertimbangan yang dominan bagi pemilih kita. Konon, PKS memperoleh simpati (meningkat perolehan suaranya) bukan lantaran faktor ideologis, tapi partai ini mampu membangun citra sebagai partai yang bersih dan peduli.
Di Pilpres 2009 (karena pasangan calon yang terbatas), selain perilaku pemilih yang pragmatis, notabene pemilih kita hanya terbagi dalam dua arus besar: yakni pendukung pemerintah dan yang di luar pemerintah (baca: opisisi). Dilihat dari cara pandang ini, peta dua pasangan sudah jelas: pasangan Mega-Prabowo mewakili oposisi, sementara dari pemerintah (baca: incumbent) diwakili pasangan SBY-Boediono.
Lalu pasangan JK-Wiranto? Pasangan ini tidak jelas benar posisinya. Di satu sisi, JK acapkali ditempatkan sebagai bagian dari pemerintah. Namun dalam berbagai kesempatan (kampanye), JK sering mengkritik SBY. Sebagai bagian dari (keberhasilan) pemerintahan, posisi JK berada di bawah bayang-bayang SBY. Masyarakat awam menilai, keberhasilan pemerintahan karena peran presiden (SBY), dan bukan JK (wakil presiden). Di lain pihak, sebagai pengritik SBY, posisinya kalah dibanding oposisi (pasangan Mega-Prabowo).
Alhasil, ditilik dari dua kutub besar perilaku pemilih Pilpres 2009 (mendukung pemerintah atau oposisi), pasangan JK-Wiranto logis jika hanya memperoleh suara yang kecil. Agaknya, masyarakat menginginkan suatu sikap yang tegas dari politisi: pemerintah atau oposisi. Wilayah “abu-abu” atau permainan “dua kaki” yang dilakukan JK (dan partai Golkar dalam lima tahun terakhir), ternyata tak mendapat simpati rakyat.
Justru, masyarakat masih menaruh respek dan hormat pada opoisisi (pasangan Mega-Prabowo). Gabungan partai yang mengusung pasangan Mega-Prabowo di Pileg kemarin memperoleh suara pada kisaran 21%, tapi dalam Pilpres justru suaranya meningkat menjadi sekitar 26,79%. Sedang gabungan partai yang mengusung JK-Wiranto di Pileg memperoleh suara sekitar 22% namun suara mereka pada Pilpres menurun jauh hanya sekitar 12,41%.
Respek masyarakat terhadap oposisi bisa jadi didasarkan atas asumsi akan adanya perubahan kondisi kehidupan yang lebih baik, bukan sekedar melanjutkan. Dan setiap oposisi memang lahir dari ide perubahan. Dari sini sejatinya oposisi dapat memperoleh simpati dari rakyat. Tinggal bagaimana parpol yang menjadi oposisi itu merebutnya (baca: menciptakan momentum).
Namun menjadi oposisi di negeri ini memang butuh keberanian. Dua partai besar (Golkar dan PDIP) yang nyata-nyata menjadi rival partai pendukung presiden terpilih pada Pilpres 2009, bisa jadi akan memilih “jalan aman” (baca: bergabung dengan pemerintahan SBY). Padahal, baik Golkar dan PDIP adalah partai lama dengan kelebihan masing-masing. Golkar punya SDM pengurus yang bagus hingga tingkat bawah. Sementara PDIP punya pendukung fanatik yang cukup besar.
Namun memang realitas menunjukkan belum ada dalam sejarah politik di Indonesia partai oposisi itu mampu besar secara langgeng. Kebetulan, PDIP yang baru satu periode pemerintahan menjadi oposisi suaranya merosot. Namun, kata teori politik, jika sebuah kekuasaan tidak ada penyeimbangnya, maka yang akan muncul bukanlah pemerintahan yang kuat, tapi pemerintahan yang otoriter. Sehingga oposisi menjadi salah satu pra syarat terpeliharanya iklim kehidupan kenegaraan yang demokratis.
Lalu, siapa yang akan berani tampil sebagai oposisi demi mengemban visi luhur melakukan chek and balances agar tak lahir kekuasaan yang otoriter? Politisi kita lebih memilih oposisi demi kesehatan demokrasi atau kursi (di kabinet) ? Atau, format politik di negeri ini sedang akan bergeser: pemerintahan SBY akan merangkul semua kekuatan politik sehingga fungsi parlemen kembali seperti rezim Soeharto sekedar sebagai stempel pemerintah ? Lalu gerakan oposisi kembali diperankan oleh media maupun LSM dalam wujudnya oposisi ekstra-parlementer? Kita tunggu saja.***

Rabu, 30 September 2009

OPINI

DPR, Satu untuk Semua !

Oleh Marwanto

Sesuai peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 20 tahun 2008 tentang Tahapan dan Jadual Penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, pelantikan anggota DPR merupakan tahapan terakhir dari hajat besar demokrasi elektoral tersebut. Kini, semua pihak sudah bisa bernafas lega. Anggota dewan yang terhormat periode 2009-2004 sudah dilantik.

Tidak hanya anggota dewan yang dilantik yang berbahagia. Semua komponen bangsa sudah selayaknya bersyukur dan menyambut gembira atas momentum ini. Meski proses penyelenggaraan pemilu legislatif 2009 disertai sejumlah catatan (bahkan catatan penting), secara umum kita masih bisa mengabarkan pada dunia luar bahwa Indonesia masih merupakan negara yang menganut faham demokrasi.

Namun, tak seharusnya kegembiraan itu berlarut-larut. Tak semestinya keberhasilan menyelenggarakan pemilu menjadikan kita pongah. Sebab, bagi penyelenggara, ada banyak catatan serius yang harus diperbaiki untuk pelaksanaan pemilu lima tahun ke depan. Sementara untuk anggota dewan yang baru saja dilantik, sejumlah tugas sudah menunggu. Segudang amanat dari rakyat menumpuk untuk diperjuangkan. Juga, yang tak kalah penting, “PR” dari periode dewan yang lalu, yang harus segera diselesaikan.

Dan jauh di atas segalanya, makna dari frase “wakil rakyat” itu sendiri. Pernahkan di saat rehat dari kesibukan para anggota dewan yang terhormat itu mencoba memahami dalam-dalam makna substantif dari kata “wakil rakayt”? Baiklah, awam pun tahu ada tiga fungsi anggota dewan: legislasi, pengawasan, dan anggaran. Ketiga fungsi itupun, sejujurnya, belum optimal dilakukan. Apalagi sampai mendedah soal makna subtantif wakil rakyat.

Cobalah bertanya yang lebih konkret dan sederhana saja: apa yang terbayang di benak mereka beberapa saat setelah dilantik? Apakah ....

Pertama, membayangkan gaji dan fasilitas yang hanya bisa dinikmati oleh segelinitr orang di negeri ini. Kedua, membayangkan konstelasi politik demi mengamankan posisinya dan memperbesar kekuasaan kroniya lima tahun mendatang. Ketiga, membayangkan jutaan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, aspirasi rakyat yang belum sepenuhnya tertampung di gedung parlemen, dan hal lain sejenisnya?

Semoga ihwal ketiga yang terbayang di benak anggota dewan yang terhormat kita, begitu mereka selesai dilantik. Namun, jika nomor satu dan dua melintas di benak mereka, itupun sesuatu yang manusiawi. Sebagai wakil rakyat, mereka mesti digaji dan diberi fasilitas yang memadai. Pun sebagai politikus, mereka sah untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Tapi jika tidak hati-hati, fungsi sebagai politikus ini bisa mereduksi makna “wakil rakyat”.

Betapa tidak? Sering kita dengar secara santer kritikan dari sejumlah pihak yang menyebutkan anggota dewan kita lebih berposisi sebagai “wakil partai” daripada wakil rakyat. Ini karena katika mereka duduk di dewan lebih terbebani misi partai, bukannya menyalurkan aspirasi rakyat secara umum. Memang realitas di parlemen, bahwa DPR terdiri dari berbagai partai yang tercermin dari fraksi-fraksi. Namun sebagai institusi, (anggota) dewan adalah wakil dari seluruh rakyat Indonesia tanpa tersekat-sekat dalam kelompok tertentu.

Semangat anggota dewan untuk lebih berposisi sebagai wakil rakyat Indoneisa secara keseluruhan inilah yang dari waktu ke waktu dirasa mulai luntur. Padahal, semangat inilah yang menjadi awal sekaligus kunci kesuksesan dewan mengemban aspirasi dan mandat rakyat. Ketika anggota dewan berposisi sebagai wakil rakyat, ia tak akan tergoda untuk hanya memperjuangkan kepentingan (sempit) kelompoknya saja. Ia juga tidak mudah diintervensi dan ditekan pemerintah, berkaitan kebijakan pemerintah (kekuasaan) yang tidak memihak kepentingan rakyat banyak.

Alhasil, hemat saya, semangat untuk mengembalikan “kithah” anggota dewan sebagai wakil rakyat akan menjadi titik awal dalam rangka memulihkan kewibawaan institusi DPR itu sendiri yang pada gilirannya akan berdampak pada perbaikan kinerja dan karakter anggota dewan. Institusi dewan itu satu, tapi mengemban manfaat untuk semua atau seluruh rakyat negeri ini.

Semoga anggota dewan periode 2009-2014 yang baru saja dilantik juga berpikiran demikian.***

Minggu, 26 Juli 2009

BYAR

Kiai Noor

Kiai Noor Hadi wafat pada malam pencontrengan Pilpres 2009. Saya tidak tahu ia akan memilih pasangan capres nomer berapa, seandainya tanggal 8 Juli itu ia masih sugeng. Setiap saya sowan saat lebaran Idul Fitri, beliau tak pernah mengajak bicara politik. Ia lebih senang ngobrol dan mendiskusikan “radikalisme” pandangan keagamaan.
Namun jangan serta-merta mengidentikan radikalisme yang saya sebut di atas dengan sikap fundamentalisme beragama yang dalam wacana politik, terutama akhir-akhir ini (di tahun melenium yang melelahkan), cenderung memperoleh imej kurang sedap. Konon, radikalisme berasal dari kata “radik” yang berarti akar.
Akar keagamaan (dalam Islam) inilah yang, hemat saya, menjadi titik berangkat pandangan-pandangan Kiai Noor. Karena itulah, bagi orang yang kurang longgar memahami, Kiai Noor sering disalahpahami. Minimal, sebagian orang tak habis pikir mencerna pandangannya. Meski ia Mustaysar PC NU Kulonprogo (dengan demikian tak ada orang yang berani meragukan bahwa ia NU deles) toh ia cukup getol “menyerang” tradisi yang konon paling banyak dilakukan warga nahdliyin: peringatan 7 hari sampai 1000 hari orang meninggal.
Atau, ia adalah orang Muhammadiyah yang ditempatkan di NU? Sebagaimana guyonan selama ini bahwa Mohamad Sobary dan Habib Hirzin adalah orang NU yang ditempatkan di Muhammadiyah? Semua itu tak jadi soal. Seperti yang selalu dipesankan Kiai Noor saat kami (anak-anak muda NU) sowan lebaran di rumahnya: NU atau Muhammadiyah itu hanya wadah. “Jangan sekali-kali kalian memperjuangkan Islam karena NU. Itu salah besar. Perjuangkan agama Islam karena Allah semata !”, demikian yang selalu ia pesankan pada kami.
Pendek kata, “pada tingkat akar” Islam itu satu. Karena sesungguhnya Islam itu memang satu. Ya, inna dinna indallahil Islam, itu. Dan yang satu itu ketika diterjemahkan oleh makhluk menjadi bermacam-macam (interpretasi). Titik krusialnya: jangan sampai “terjemahan” itulah yang kita anggap Islam sebenarnya. Dari sinilah maka wajar jika ada yang menyebut bahwa perilaku beragama umat itu selalu dalam proses (menjadi). Dan tepat pula jika seorang Muhammad Iqbal menulis buku Religion in The Making.
Kini Kiai Noor Hadi, salah satu hamba pilihan Allah (juga aset Kulonprogo) yang selalu mengingatkan akar keagamaan itu telah tiada. Tidak seperti lebaran tahun-tahun lalu, tahun ini saya tak tahu harus sowan kepada siapa untuk memperoleh pencerahan. Benar kata pepatah: “Mati Satu Tumbuh Seribu”. Tapi, dalam konteks ini, ternyata seribu itu hanya angka statistik. Tak mudah mendapati intan diantara hamparan pasir berserakan. Seperti juga belum tentu kita temukan satu puisi pun di sela-sela jutaan sajak yang berjejer di facebook maupun blog-blog pribadi.***

Senin, 06 Juli 2009

OPINI

Tenang, Tenang !, Tenaaannnng !!!
Oleh MARWANTO

Menjelang hari pemungutan suara, saya selalu teringat karikatur karya GM Sudharta yang pernah dimuat harian Kompas sekitar 10 tahun lampau, sesaat sebelum hari coblosan di Pemilu pertama era reformasi.
Dalam karikatur tersebut digambarkan dua orang, dimana yang seorang membisikan kata “tenang” pada telinga orang satunya (gambar 1). Di gambar 2, orang tersebut tak sekedar berbisik, namun sudah berkata pada lawan bicaranya. Hal ini terlihat dari tanda seru dibelakang kata “tenang!” yang menyertai gambar tersebut. Sementara di gambar 3, orang tersebut tak sekedar bicara, tapi berteriak. Hal ini tampak dari gambar mulut orang yang terbuka lebar, dan kata tenang yang menyertai gambar tersebut ditulis: “Tennaaannggg!!!!”.
Hemat saya, karikatur tersebut tak sekedar simpel, tapi benar-benar mengena. Pesan yang hendak disampaikan sangat menohok: pada hari tenang menjelang coblosan (kini contrengan) para kontestan diharapkan menjaga suasana agar kondusif. Tapi? Alih-alih para kontestan menghentikan kegiatan kampanye sehingga membuat suasana bisa menjadi adem-ayem, yang terjadi justru suhu politik menjelang hari H pemungutan suara kian memanas. Makna “tenang” pun berubah menjadi “teriak”.
Filosofi Hari Tenang
Pada Pilpres 2009, KPU menetapkan tanggal 5 sampai 7 Juli sebagai hari tenang. Menurut undang-undang, di hari tenang tidak boleh ada aktivitas kampanye. Jika peserta pemilu melakukan kegiatan kampanye di hari tenang (baca: di luar jadwal), maka ada sanksi pidana (pasal 213 UU N0. 42 tahun 2008).
Lalu apa sesungguhnya filosofi hari tenang? Mengapa harus ada hari tenang menjelang pemungutan suara? Konon, filosofi hari tenang adalah masa dimana masyarakat benar-benar memperoleh ketenangan untuk dapat berpikir jernih. Berpikir jernih adalah perpaduan antara olah nurani dan logika, sambil mengesampingkan sisi-sisi emosional dalam diri manusia yang sebelumnya diharu-biru oleh gempuran strategi kampanye peserta Pemilu.
Pendek kata, di masa tenang pemilih di harapkan punya waktu untuk merenung. Merenungkan pilihan terbaiknya: semacam ancang-ancang atau masa pengendapan, untuk kemudian menentukan atau memutuskan pilihan. Seperti seorang atlet panah yang akan melepaskan busurnya, butuh jeda beberapa saat untuk konsentrasi.
Atas dasar inilah di hari tenang tak boleh ada aktivitas kampanye. Selain kampanye, rilis dan berita yang memuat hasil survei atau jajak pendapat pun juga dilarang. Sebab, hasil jajak pendapat dapat memengaruhi pendirian pemilih. Menurut teori Bandwagon, seorang pemilih cenderung memutuskan untuk memilih yang dipilih oleh mayoritas rakyat. Pendek kata, memilih kandidat yang akan menang.
Namun apa yang sekarang terjadi?
Secara formal larangan kampanye memang masih berlaku. Tapi agaknya peserta pemilu kian hari makin canggih membungkus strategi kampanye sehingga di hari tenang pun tetap bisa bergerilya menyasar dan memengaruhi pemilih, tanpa kegiatan tersebut dapat dimasukkan sebagai aktivitas kampanye. Dan, realitas menunjukkan di hari tenang ini justru banyak sekali berkeliaran “teriakan-teriakan” yang mengganggu konsentrasi rakyat untuk merenungkan pilihannya.
Alhasil, hari tenang kenyataannya adalah masa emas bagi peserta Pemilu untuk mendekati pemilih agar meraup dukungan semaksimal mungkin. Konon orang Jawa percaya, seorang yang mencalonkan diri akan menduduki jabatan politik, maka di malam hari pemungutan suara ia dilarang untuk tidur. Kalau ia sampai tertidur (lengah), maka “wahyu” atau “pulung” (keberungtungan) yang telah ia kantongi sangat riskan dicuri orang lain.
“Teriakan” yang Dilegalkan
Demikianlah, pada saat ini hari tenang adalah hari dimana banyak “teriakan” berseliweran. Bahkan karena sejumlah alasan (kebebasan dan keterbukaan, kata orang) “teriakan” di hari tenang itu sekarang ada yang dilegalkan. Rilis berita jajak pendapat atau survei yang semula dilarang di peraturan (pasal 228 UU N0. 42 tahun 2008), kini pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Realitas menunjukkan tak ada lagi beda antara hari tenang atau bukan. Lalu, di mana lagi rakyat mesti mencari makna dan hakekat hari tenang? Atau hari tenang itu memang sudah tak diperlukan lagi?

Sabtu, 04 Juli 2009

OPINI

Jargon dan Visi Misi
Oleh Marwanto

Tiga Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang berlaga di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres 2009) mempunyai jargon atau slogan yang dikenal baik oleh publik. Sebagaimana kita ketahui, jargon ketiga pasangan tersebut adalah: Pro-Rakyat (Megawati-Prabowo), Lanjutkan (SBY-Boediono), dan Lebih Cepat Lebih Baik (Jusuf Kalla-Wiranto).
Menurut sejumlah sumber, jargon diartikan kosakata khusus atau khas yang dipergunakan dalam bidang kehidupan (lingkungan) tertentu. Sementara dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2006), jargon disebut juga patois, slang, atau slogan. Dalam konteks tulisan ini, jargon diartikan kosakata atau rangkaian kosakata yang muncul dari “pemadatan ungkapan” visi-misi yang diusung oleh Pasangan Calon. Dengan pemadatan ungkapan, diharapkan pesan atau isi dari visi-misi dapat diterima dan dimengerti masyarakat dengan lebih mudah atau familiar.
Jargon Pro-Rakyat dari pasangan Mega-Prabowo misalnya, agaknya sudah pas menggambarkan visi-misi yang dibawa Pasangan Calon nomor satu tersebut. Dalam visi-nya, pasangan Mega-Prabowo menyebutkan “Gotong royong membangun kembali Indonesia Raya yang berdaulat, bermartabat, adil dan makmur”. Sementara dari tiga misi pasangan ini, salah satunya menyebutkan: “Mewujudkan kesejahteraan sosial dengan memperkuat ekonomi kerakyatan”.
Sementara jargon Lanjutkan dan Lebih Cepat Lebih Baik, selintas masih kabur untuk menggambarkan visi misi yang diusung kedua Pasangan Calon. Namun karena keduanya bagian dari incumbent, maka mereka mengasumsikan masyarakat telah faham betul visi-misi mereka, terlebih kinerjanya selama ini. Karena itu logis, jika Pasangan Calon nomor 2 dan 3 memilih jargon tersebut.
Jargon Lanjutkan mengajak pemilih untuk melanjutkan visi-misi (bahkan lebih ditekankan pada: melanjutkan capaian atau keberhasilan) dari pemerintah. Sementara Lebih Cepat Lebih Baik mengisyaratkan pencapaian keberhasilan pemerintah mesti dipercepat. Sehingga, meski kedua pasangan ini dilihat dari visi-misi memiliki sejumlah perbedaan (pasangan JK-Wiranto menekankan kemandirian, sebagai counter dari jalannya pemerintahan yang selama ini dinilai kurang mandiri), dari sisi jargon sepertinya tak jauh beda.
Karena jargon mereka tak jauh beda, maka kedua jargon ini bisa saling bertukaran dalam rangka merebut simpati massa. Misalnya ada sejumlah spanduk yang bertuliskan: Cukup Satu Putaran, Lebih Cepat Lebih Baik, Lanjutkan ! Atau: Yang Lebih Cepat dan Lebih Baik, Pantas Melanjutkan Pemerintahan. Akhirnya yang terjadi hanyalah perang jargon.
Perang jargon menjadi pendidikan politik yang kurang baik tatkala rakyat tidak paham betul visi-misi dibalik kandungan jargon tersebut. Apalagi jargon itu semata-mata hanya berangkat dari sebuah strategi untuk menggiring kesadaran massa agar larut dalam suasana tertentu dan jauh dari mencerminkan kristalisasi sebuah visi-misi. Di sisi lain, para kontestan (beserta tim suksesnya) juga tidak berusaha keras untuk mengelaborasi visi-misi mereka, selain mengulang-ulang jargon.
Dalam undang-undang disebutkan kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program. Cara menawarkan visi misi dan program yang baik tentu dalam rangka pendidikan politik bagi rakyat. Karena itu idealnya kampanye adalah sebagai salah satu sarana pendidikan politik rakyat. Dengan kampanye, selain memahami hak-hak politiknya, diharapkan rakyat juga mampu berpikir kritis dan sadar betul akan dibawa ke mana arah perjalanan bangsa ini ke depan.
Upaya tersebut hanya akan efektif jika kampanye dilakukan dengan cara atau metode dialogis, dan jauh dari bentuk hiruk-pikuk kampanye yang hanya saling serang jargon dan slogan. Kampanye dialogis, termasuk penyelenggaraan debat Capres dan Cawapres, sebenarnya menjadi kesempatan yang baik untuk melakukan pendidikan politik bagi rakyat.
Namun, sebagaimana kita saksikan bersama, pada awalnya debat Capres dan Cawapres berlangsung datar dan dingin. Debat Capres dan Cawapres menjadi sedikit menggelitik saat Jusuf Kalla “menyerang” SBY berulang-kali pada Debat Capres putaran ke-2. (Seyogyanya, pada putaran berikutnya hal ini dilanjutkan dengan elaborasi visi-misi masing-masing calon, dan tak sekedar saling serang dan klaim keberhasilan dalam pemerintahan).
Meski kampanye dengan model dialogis dinilai paling tepat dalam rangka pendidikan politik, bukan berarti jargon itu tidak ada gunanya. Jargon atau slogan yang bersifat “membakar” sangat dibutuhkan pada kondisi masyarakat yang sedang mengalami krisis. Sebab dengan hadirnya jargon yang tepat, akan dapat membangkitkan semangat juang rakyat untuk keluar dari krisis. Dalam konteks ini, jargon berfungsi untuk mencipta momentum politik.
Kini, meski belum sepenuhnya bangkit, masyarakat Indonesia tak bisa lagi disebut berada dalam kubangan krisis. Paling tidak, kita berada pada fase awal kebangkitan. Dan dalam kondisi ini, yang diperlukan tak sekedar jargon. Dalam fase awal kebangkitan, jargon tak akan mampu menciptakan momentum politik, sebab baik pemerintah maupun opisisi berada dalam kondisi yang hampir berimbang (fifty-fifty).
Hemat saya, dalam kondisi sekarang, yang diperlukan adalah mengajak masyarakat untuk berpikir jernih dan kritis tentang arah bangsa ini ke depan. Dan, sekali lagi, elaborasi dari visi-misi Pasangan Calon sangat diperlukan untuk itu. Hal ini selaras dengan jargon Pemilu 2009: Pemilih Cerdas Memilih Pemimpin Berkualitas.***

Sabtu, 27 Juni 2009

OPINI

Golput ( Tak Pernah ) Menang
Oleh MARWANTO
("Harian Jogja", 25 Juni 2009)

Pemilu adalah sandiwara belaka...
Demikian keyakinan dr. Noguera, tokoh rekaan Gabriel Garcia Marques dalam novelnya One Hundred Years of Solitude (Seratus Tahun Kesunyian). Saya selalu membayangkan keyakinan dr. Noguera tersebut dengan pelaksanaan Pemilu di era Orde Baru (Orba). Pemilu yang penuh rekayasa. Dimana penyelenggara Pemilu dengan berbagai cara berusaha mendesain agar hasil Pemilu selalu dimenangkan oleh partai yang sedang berkuasa (“partai pemerintah”).
Desain penguasa untuk memenangkan salah satu kontestan Pemilu dilakukan mulai dari soal kebijakan sampai masalah teknis. Dalam hal kebijakan, misalnya, penguasa Orba membuat aturan bahwa kepengurusan partai politik tidak diperbolehkan sampai tingkat akar rumput. Intinya, di satu sisi rakyat bawah tidak diberi kesempatan untuk berpolitik, sementara di sisi lain aparat birokrasi dari atas sampai bawah dijadikan kader (atau minimal diwajibkan mendukung) salah satu peserta Pemilu.
Tak pelak, waktu itu Pemilu memang hanya sandiwara: penguasa bertindak sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, dengan pemain yang sama sekali tidak memiliki otonomi untuk berbuat selalin yang telah digariskan sang sutradara. Sehingga, meski belum ada tren quick-count, hasil Pemilu sudah bisa diketahui sejak dini. Pemilu sekedar seremonial lima tahunan bangsa Indonesia, untuk “menghormati dinamika politik yang remeh-temeh”: misal momentum Pak Harto mengganti wakil presiden.
Ketika Pemilu hanya dibuat main-main atau sandiwara, layak jika sebagian masyarakat mengkritiknya. Kritik itu dialamatkan untuk membenahi agar pelaksanaan Pemilu berlangsung demokratis, luber, dan jurdil. Sikap kritis yang tak kunjung direspon penguasa dengan memperbaiki pelaksanaan Pemilu itu kemudian maujud menjadi gerakan golongan putih (golput) alias tidak menggunakan hak pilih. Dalam konteks ini, golput adalah pilihan politik yang didasari atas sejumlah kekecewaan terhadap praktik politik waktu itu.
Dari sisi kuantitas, golput di era Orba amat kecil (atau karena “desain dari penguasa” sehingga data riil tentang Golput waktu itu tidak pernah terpublikasi secara jujur ?). Namun sejak dulu golput memang sudah bikin risih dan resah. Bahkan rezim Soeharto amat peka (dan dalam taraf tertentu “takut” sehingga acapkali harus bertindak represif) terhadap orang seperti Arief Budiman --tokoh yang sering dipandang sebagai penggerak golput.
Meski bikin risih dan resah penguasa, golput di era Orba sebenarnya tak pernah menang. Dalam arti, gerakan golput tak pernah berhasil mengubah mekanisme Pemilu (dan sistem politik secara umum) di negeri ini menjadi lebih demokratis. Berubahnya tatacara pelaksanaan Pemilu yang lebih demokratis, luber dan jurdil bukan buah dari golput, namun akibat gerakan reformasi tahun 1998. Reformasi 1998 yang menuntut perubahan tatakelola kehidupan kenegaraan di segala bidang, salah satunya berhasil menggelar Pemilu 1999 –Pemilu yang oleh sebagian pengamat dari sisi demokratis dan luber jurdil-nya sering disepadankan Pemilu 1955.
Pada Pemilu 1999 orang tak lagi bicara tentang golput. Sebab kran keterbukaan telah dibuka lebar, sebagai lawan dari sikap represif penguasa yang sebelumnya menjadi salah satu penyebab golput. Ada euforia politik waktu itu, yang mendorong masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu. Tercatat, pada Pemilu 1999 persentase voter turn-out (pemilih yang menggunakan hak pilihnya) sekitar 92%. Bahkan menurut saya, partisipasi pemilih pada waktu itu seharusnya bisa lebih tinggi lagi, mendekati 100%. Mengapa?
Karena pada Pemilu 1999 saya menjadi Gastarlih (Petugas Pendaftaran Pemilih), maka masih bening dalam ingatan saya tentang model pendaftaran pemilih waktu itu. Yakni, diumumkan pada masyarakat bahwa tanggal sekian akan ada pendaftaran pemilih. Selanjutnya pada tanggal yang sudah ditentukan, Gastarlih bertindak pasif: hanya duduk menunggu pemilih yang datang mendaftarkan diri. Gastarlih dilarang aktif mendaftar pemilih, dengan alasan karena trauma rezim Orba dimana penyelenggara Pemilu yang merupakan bagian dari birokrasi sering memobilisir warga. Artinya, pemilih yang datang minta didaftar jelas yang berniat akan menggunakan hak pilihnya di Pemilu. Tapi, tidak ada yang mempersoalkan apakah pemilih yang minta didaftar itu secara persentase sudah tinggi jika dilihat dari jumlah penduduk yang telah punya hak pilih.
Dari cara Gastarlih yang pasif tadi, sebenarnya bisa menjaring partisipasi pemilih yang genuine (murni). Namun model pendaftaran pemilih seperti itu diubah pada Pemilu 2004 dengan dibentuknya Pantarlih (Panitia Pendaftaran Pemilih). Beda dengan Gastarlih, Pantarlih bertindak aktif: terjun ke lapangan untuk mendata penduduk (secara de fakto) yang telah punya hak pilih. Dibanding Pemilu 1999, persentase pemilih yang menggunakan hak pilih pada Pemilu 2004 turun menjadi 84%. Penurunan ini bisa karena beralihnya model pendaftaran pemilih atau karena faktor politis (rakyat kecewa dengan kinerja elit politik pada fase pertama ere reformasi). Yang pasti: dari sekitar 16% golput tersebut tak ada yang disebabkan ghost-voter (pemilih yang hanya ada dalam daftar tapi tak ada di kenyataan).
Pemilu 2009 menggunakan pendekatan de jure untuk pendataan pemilih. Model ini berpotensi memperbesar jumlah ghost-voter, di satu sisi karena tingkat mobilitas masyarakat kita sudah tinggi dan di saat yang sama tidak dibarengi kualitas administrasi kependudukan yang baik. Tentu kisruh DPT tak hanya disebabkan faktor ini. Namun tingginya golput Pileg 2009 tak bisa disebut pemenang. Baik dari aspek kualitas: yang mempersoalkan golput Pileg tetap mengikuti Pilpres, demikian juga kongres golput tak bisa mengurangi antusias masyarakat pada Pemilu. Pun kuantitas: angka golput tak semestinya dibandingkan dengan perolehan partai A atau B. Angka golput (49.677.076) logikanya dihadapkan dengan pemilih yang menggunakan hak pilih (121.588.366) atau angka golput plus suara tidak sah pun jika digabung (67.165.657) belum bisa mengalahkan suara sah (104. 099.785).
Sejak era reformasi 1998 Pemilu di negera kita tak lagi sandiwara. Kalaupun ada kekuarangan di sana-sini, mari benahi bersama !***