Senin, 05 April 2010

Opini

Demokrasi Kerumunan
Oleh MARWANTO
(Dimuat Harian KOMPAS hlm Yogya-Jateng, 15 Maret 2010)

Seiring maraknya praktik demokrasi elektoral (Pemilu, Pemilukada, serta Pilkades), gugatan atas kriteria pemilih pun dilontarkan. Hal ini didasari atas argumentasi bahwa demokrasi yang menerapkan mekanisme pemilihan langsung kurang menjamin munculnya wakil rakyat dan pemimpin berkualitas. Bagaimana bisa kualitas seorang pemimpin ditentukan oleh pilihan publik dengan perolehan suara terbanyak?
Konon, pada zaman Yunani kuno praktik berdemokrasi (termasuk pemilu), hanya melibatkan apa yang disebut sebagai “warga negara resmi”. Rakyat jelata, atau lebih tepatnya budak, tidak diikutkan dalam pemilu. Demokrasi Yunani kuno beranggapan masalah politik kenegaraan lebih tepat jika diputuskan oleh orang-orang yang memiliki pandangan tentang kebajikan hidup.
Mirip hal tersebut, dulu di berbagai wilayah tanah air saat melangsungkan pemilihan pemimpin adat acapkali dilakukan dalam sebuah rembug (musyawarah) yang dihadiri oleh utusan tokoh-tokoh masyarakat. Sementara di era Orde Baru, kita tahu, mekanisme demokrasi perwakilan ini dipraktikkan MPR untuk memilih presiden dan DPRD untuk memilih kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota).
Gelombang demokratisasi awal abad 21 ternyata membawa tren mekanisme pemilihan langsung. Demokrasi perwakilan dianggap bias (bahkan gagal), karena wakil rakyat di parlemen yang diharapkan memperjuangkan aspirasi warga malah berkiblat pada kepentingan partai politik. Oligarki parpol ini membuat pemilihan pemimpin tak lebih sebagai praktik dagang sapi para elit parpol.
Namun ketika hasil pemilihan langsung tak juga kunjung berkorelasi positif dengan kesejahteraan, maka yang kemudian muncul tidak saja polemik seputar mekanisme pemilihan, tapi juga filosofi yang mendasari definisi pemilih (warga yang dilibatkan pemilu). Pihak yang setuju “membatasi” pemilih atau mendukung mekanisme pemilihan tidak langsung (perwakilan) memiliki argumentasi berikut.
Pertama, warga yang terlibat proses pemilu pada hakekatnya menanggung sejumlah konsekuensi. Diantaranya konsekuensi terhadap pilihannya. Lebih jauh lagi, konsekuensi terhadap kekuasaan yang terbentuk dari hasil pemilu. Artinya, warga sebagai pemilih semestinya juga terlibat aktif mengawasi pemerintahan hasil pemilu. Konsekuensi ini sangat berat jika ditanggung warga negara biasa, apalagi budak.
Kedua, membatasi keterlibatan warga dapat menekan biaya pelaksanaan pemilu. Ditengah citra mahalnya biaya demokrasi hal ini menjadi relevan. Dengan kata lain, pelaksanaan pemilu yang berbiaya rendah dan berlangsung efisien-efektif, sekaligus sudah mampu melahirkan kekuasaan legitimet yang mengemban amanat konstituen dalam rangka menyejahterakan rakyat.
Ketiga, hasil pemilu dapat dipertanggungjawabkan. Karena pemilih adalah warga terdidik (cerdas), maka selain persentase suara tidak sah sedikit, pilihan mereka juga diharapkan menghasilkan wakil rakyat (pemimpin) yang berkualitas. Pemilu 2009 di negera kita, yang punya slogan: pemilih cerdas memilih wakil berkualitas, agaknya terinspirasi dari sini.
Sementara mereka yang tidak setuju “pembatasan” pemilih akan berdalih bahwa hak pilih itu seharusnya berlaku universal. Semua warga negara –tanpa pengecualian yang bersifat ideologis dan politis—seharusnya berhak menjadi pemilih dalam pemilu. Pengakuan hak pilih universal ini menjadi salah satu syarat sebuah pemilu yang demokratis (Eep Saifullah Fatah, 1998: 101).
Dua pandangan tersebut tidak seharusnya diposisikan berhadapan secara diametral dan kaku. Praktik pemilu di zaman Yunani kuno yang mengharuskan pemilih adalah “warga negara resmi” mesti dimaknai bahwa pemilih dalam pemilu haruslah warga bangsa yang terdidik. Untuk itu pendidikan pemilih diharapkan menjadi ruh bagi penyelenggaraan pemilu.
Pendidikan pemilih merupakan agenda kepemiluan yang berlangsung terus menerus. Selain itu pendidikan pemilih adalah agenda yang terintegrasi sehingga bisa berdampak efektif dalam rangka melahirkan pemilih cerdas dan bertanggung jawab yang pada akhirnya dari pilihan mereka muncul pemimpin (wakil rakyat) berkualitas.
Makna integral pendidikan pemilih tidak saja dilihat dari aspek pelaku bahwa perlu menciptakan sinergisitas antara penyelenggara (KPU), pemerintah, partai politik dan stake-holder (pemangku kepentingan). Lebih dari itu, pendidikan pemilih semestinya diletakkan menjadi bagian pendidikan politik atau pendidikan kewarganegaraan yang lebih luas. Sebuah upaya untuk menumbuhkan kesadaran warga bangsa mengenai aspek-aspek kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Disamping pendidikan pemilih, agenda dalam rangka pembenahan kualitas praktik demokrasi elektoral juga perlu dari sisi kontestan pemilu. Secerdas apapun rakyat (pemilih), tidak akan ada artinya jika pemilu hanya diikuti oleh kontestan yang hanya menebar popularitas dan menomorsatukan kekuatan finansial, bukan kontestan yang mengandalkan aspek moralitas, integritas dan kualitas personal.
Agenda ini tidak hanya dalam rangka menyiapkan pemilih berkualitas menyongsong Pemilu 2014 dan pemilukada di sejumlah daerah. Bukan pula hanya untuk mendongkrak partisipasi pemilih yang terus menurun. Tapi sebuah agenda mendasar dalam rangka menyelamatkan pemilu. Agar mekanisme pemilihan langsung tidak hanya menghasilkan “demokrasi kerumuman”: asal besar dan banyak maka terpilih.
Demokrasi kerumunan harus kita cegah mulai hari ini. Sebab prinsip asal besar dan banyak maka terpilih (menang) sejatinya telah mendistorsi esensi demokrasi.

Senin, 08 Maret 2010

O P I N I

Menangkal Logika Dagang Pilkada
Oleh: Marwanto

( Dimuat Harian Jogja, 1 Maret 2010 )

Salah satu yang dikawatirkan banyak pihak pada pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung adalah maraknya praktik politik uang (money politics). Bagi rakyat, politik uang dalam pemilihan jabatan publik sebenarnya bukan hal baru. Sebab jauh sebelum munculnya era reformasi, mereka telah puluhan tahun melakukan pemilihan langsung kepala desa (Pilkades) yang notabena juga tak lepas dari praktik politik uang.
Konon ada anggapan umum bahwa seorang yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala desa (Kades) harus memiliki “Tiga B”. Pertama bandha yang berarti harta atau uang. Seorang Kades harus punya harta yang banyak. Harta akan sangat mendukung kerja operasional sang calon. Salah satunya, tak dipugkiri lagi, untuk melakukan moey politics.
Kedua, bandhu yang berarti keluarga (keturunan). Dengan memiliki latar belakang keluarga besar, sang calon sudah mengantongi modal awal suara (pemilih) yang militan. Sebab tradisi orang Jawa ketika hendak memberikan suaranya dalam bilik ia akan menggunakan idiom: tega larane ora tega patine. Selain modal suara militan, adanya keluarga besar juga mempermudah dan sangat efektif sekali untuk memperluas jaringan.
Ketiga, bandhit atau arti leterleknya penjahat. Mungkin dapat dimaksudkan sebagai orang yang punya pengaruh. Untuk konteks saat ini barangkali bisa diartikan sebagai satgas atau semacam pasukan pengaman. Modal terakhir ini berperan dalam banyak hal. Mulai dari mengamankan posisi sang calon, mengintimidasi warga, dan bisa juga pendamping (bahkan pelaksana) dalam melakukan serangan fajar.
Dalam konteks Pilkada, kiranya tak terlalu berbeda jauh dengan praktik Pilkades di atas. Seorang yang hendak maju mencalonkan diri --baik untuk jabatan gubernur, bupati maupun walikota-- adalah orang yang mempunyai kekayaan dan jaringan. Sementara untuk syarat lain seperti visi, misi, karakter, serta integritas (kepribadian) sang calon, seakan menjadi syarat nomor sekian.
Pendek kata, asal punya uang yang banyak, maka syarat lain bisa tercukupi. Uang bisa untuk membentuk jaringan, membeli orang membuatkan visi-misi, dan menutup mata orang untuk melihat karakter dan kepribadian sang calon. Dari sinilah sebenarnya politik uang itu berpangkal.
Untuk konteks Pilkada, politik uang itu paling tidak terjadi pada dua ranah. Ranah pertama ada di tubuh partai politik. Hal ini mulai berlangsung saat proses penjaringan bakal calon (balon).
Ketentuan pasal 59 (ayat 1) UU No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan: “Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, memang telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi nomor 005/PUU-VII/2005. Sehingga dengan terbitnya UU No. 12 tahun 2008 (yang merupakan perubahan atas UU No. 32/2004) dimungkinkan munculnya pasangan calon independen (tidak diusung lewat partai politik).
Namun demikian posisi parpol tetap menjadi “gadis cantik” yang mendapat pinangan banyak pihak. Jika kita simak proses penjaringan pasangan calon Pilkada di tiga kabupaten (Sleman, Bantul dan Gunungkidul) maka fakta itu akan terbukti. Sejumlah parpol (terutama parpol besar) menjadi rebutan banyak tokoh yang hendak mencalonkan diri. Sementara untuk jalur perseorangan, sepertinya hanya menjadi pilihan terakhir jika seorang gagal mencalonkan diri lewat jalur parpol.
Logikanya, sebuah parpol yang diincar banyak calon akan menerapkan sejumlah syarat. Disamping memiliki visi, misi dan kualitas pribadi, seorang tokoh yang hendak melamar juga disyaratkan punya “gizi”. Syarat “gizi” ini kadang tak diatur “secara resmi”. Beberapa parpol hanya menyebut adanya uang pendaftaran dan nominalnya relatif kecil. Namun, seakan sudah menjadi rahasia umum, bahwa transaksi di belakang layar acapkali mencapai jumlah yang mencengangkan.
Langkah untuk menangkal politik uang pada ranah ini adalah memperkuat posisi anggota (konstituen) partai agar dapat berpartisipasi menentukan calon terbaik yang akan diusung partainya. Sebuah partai bisa menggunakan cara konvensi yang melibatkan sebanyak mungkin pengurus dan anggota untuk menjaring calon. Pendek kata, pengurus dan konstituen partai harus diberi hak untuk terus mengawasi mekanisme penjaringan calon.
Jangan sampai idealisme partai dalam menjaring calong dikalahkan oleh fakor uang semata. Kalau logika dagang yang menang sehingga aspirasi konstituen ditinggalkan, tidak saja akan menciderai regenerasi dan rekruitmen dalam tubuh parpol yang bersangkutan. Hal ini juga menunjukkan kegagalan regenerasi dan rekruitmen politik dalam tubuh parpol. Padahal regenerasi dalam tubuh parpol menjadi salah satu modal untuk regenerasi kepemimpinan nasional.
Sementara ranah ke dua, praktik politik uang di Pilkada bisa terjadi di lapisan masyarakat bawah (massa pemilih). Politik uang di ranah ini tak kalah dahsyatnya. Konon, sekitar 60% sampai 70% modal dari sang calon habis (disebarkan) untuk politik uang di itngkat grass-root.
Cara untuk menangkal politik uang di tingkat grass-root, mau tak mau harus memperkuat posisi masyarakat sipil. Tapi masyarakat sipil tersebut adalah yang terorganisir dan membentuk dirinya dalam wadah-wadah pengawasan atau pemantaun Pilkada. Kinerja dan gerak mereka juga akan lebih efektif jika wadah (organisasi) itu tadi berisi atau mencakup semua segmen masyarakat yang ada dan betul-betul menjaga netralitasnya dengan semua calon.
Dari situlah sebetulnya, peran Pilkada selain untuk menumbuhkan demokratisasi di tingkat lokal, juga bisa memperkuat esksistensi masyarakat sipil lokal. Masyarakat sipil lokal akan terbiasa untuk memperjuangkan hak-hak politik warga dengan cara menekan seminimal mungkin logika dagang dalam Pilkada. Disamping itu, masyarakat sipil lokal juga akan terbiasa mengelola konflik. Menejemen konflik yang baik merupakan salah satu syarat kedewasaan masyarakat sipil ketika bersinggungan dengan proses politik.
Jadi, pengefektifan kontrol konstituen parpol dan penguatan masyarakat sipil sama pentingnya dan harus bekerja sinergis untuk menangkal logika dagang dalam Pilkada. Jika logika dagang dalam Pilkada dapat diminimalisir harapan kita perilaku korupsi juga akan berkurang. Sebab, konsentrasi kerja kepala daerah yang terpilih tidak hanya memikirkan bagaimana modal yang dipakai dalam Pilkada bisa kembali. Rakyatlah yang menjadi prioritas utama.***

CERPEN

Ombak Pantai Hawaii
Cerpen Marwanto
( Dimuat MINGGU PAGI, Minggu IV Desember 2009 )

“Sudah dulu ya Ma. Cium jauh, cupp emmmuah……..”
Mata Nurhana berkaca-kaca. Ia letakkan hanphone di atas meja dekat tempat tidurnya. Telpon genggam itu kini bersanding dengan photo dan beker yang menunjuk pukul dua pagi. Di luar suara jangkrik terdengar merajam hati. Lalu kesunyian yang hampir membeku, mengiringi Ana melamunkan perairan Hawaii.
Mungkin di Hawaii sekitar jam dua siang. Tentu Tono, suaminya yang bekerja di kapal pesiar sebagai juru masak, kembali melanjutkan rutinitasnya: mengangkut barang-barang milik para pelancong. Ya, dua bulan lalu Tono memberitahu Ana kalau waktu senggangnya dipakai buat kerja sambilan membantu para pelancong membawakan barang-barangnya. Hasilnya lumayan, duapuluh dolar perjam. “Lumayan kan Ma, bisa untuk nelpon ke rumah”, Tono memberikan alasan.
“Ah, Papa. Kau pasti tambah berotot berkat sambilanmu itu”, batin Ana sambil mengusap foto suaminya. “Tapi itu lebih baik, daripada buat mikirin macam-macam. Laki-laki itu jangan terlalu banyak punya waktu luang”, Ana melanjutkan kata hatinya.
Lamunan Ana terusik suara tangis si kecil Ade. Melihat anaknya menangis, Ana segera merapatkan selimut yang membungkus bocah dua tahun itu. Tapi Ade meronta: “Maa....mimik cucu, mimik cucu Ma, mimik...”. Ana kemudian menggendong bocah itu dan berjalan menuju kamar pembantu yang terletak di dekat dapur.
“Mbok Jum, tolong buatkan susu !”
Selama pembantu itu membuat susu, tangis Ade tak juga berhenti. Ini membuat Anggi, kakaknya, terbangun. Bocah lima setengah tahun itu bangkit dari ranjang lalu mengusap-usap matanya. Saat Ana kembali ke kamar dan menemuinya, Anggi langsung mengajukan pertanyaan sebagaimana malam-malam sebelumnya.
“Papa telpon lagi ya Ma?”
“Iya”
“Kapan sih Papa pulang? Anggi sudah rinduuu... banget.”
“Tidak lama Papa juga akan pulang, sayang. Mama juga kangen, kok. Sekarang kamu tidur lagi, ya.!”
Anggi segera memeluk boneka kesayangannya. Lalu terlelap bersama mimpi indahnya. Mungkin ia memimpikan pantai Hawaii, dengan penjaga pantainya yang cantik-cantik seperti sering ia lihat dalam sebuah film seri di televisi itu.
Begitu Mbok Jum mengantar botol susu ke kamar nyonya rumah, Ana langsung melatakkan buah hatinya itu dengan sangat hati-hati agar bisa lekas tidur. Lalu sebagaimana biasa, bersamaan dengan habisnya sebotol susu, bocah yang lahir saat ayahnya sedang di Hawaii itu langsung tertidur pulas.
Dan pagi kembali sepi. Lamunan Ana kian meninggi. Tak bertepi. Suara jangkrik yang diiringi detak beker membuat Ana sulit memejamkan mata. Ia kembali membayangkan perairan Hawaii, yang belum pernah ia kunjungki. Tapi, seperti juga Anggi, lewat salah satu film seri di televisi Ana bisa merasakan alam Hawaii. Pantai eksotik yang indah nan ramai. Sesuatu yang bertolak belakang dengan suasana hatinya: dingin dan sepi.
Sepinya pagi menggerakkan tangan Ana meraih remote tape-recorder. Tak lama kemudian terdengar sayup-sayup suara lembut Celine Dion melantunkan Power of Love. Itulah pelipur Ana satu-satunya saat ia sulit tidur selepas merima telpon dari Tono. Lagu yang disukainya, juga disukai Tono. Lagu yang menguatkan dua hati yang berpisah
***
Saptono melamar Nurhana tujuh tahun silam setelah menamatkan kuliahnya di akademi perhotelan. Sebuah akademi yang menurut ibunya hanya memproduk “babu bagi turis-turis”.
“Jadi babu ndak masalah to Bu. Asal bisa kaya.”, kilah Tono waktu itu. Dan benar, selepas lulus ia langsung mendapat kerjaan sebagai juru masak di sebuah hotel berbintang tiga di kota. Dia ngelajo menjalani pekerjaannya, dan memilih tinggal di desa kelahirannya. Sebab gaji sebagai juru masak akan lebih berarti jika dipakai hidup di desa. Tak hanya berarti, tapi bisa dibilang lumayan tinggi -- apalagi untuk sebuah keluarga baru.
Namun Tono tetap belum puas dengan profesinya sebagai juru masak di hotel berbintang. Dia ingin membuktikan ucapannya: menjalani profesi sebagai babu atau jongos tidak masalah asal bisa kaya. Maka disela-sela menjalani pekerjaannya dia terus mencari informasi tentang pekerjaan di kapal pesiar. Dua tahun lalu Tono diterima dan berangkat kerja di kapal pesiar di sekitar perairan Hawaii, saat kandungan Ana menginjak bulan kesembilan.
“Kita akan baik-baik saja Ma. Percayalah, ini demi anak-anak dan masa depan kita. Pasrahkan saja pada yang di Atas. Dan.satu lagi… ingatlah selalu dengan lagu kita !”
Tono pergi dengan meninggalkan pesan yang tak hanya bergaung optimis, namun juga mengalun romantis. Tapi perempuan itu mendengarnya dengan hati yang teriris. Hari-hari menjelang kelahiran Ade dilalui dengan kesunyian dan beban berat. Dan saat kesunyian hati hampir mengantarnya ke jurang kegelapan, Power of Love itulah yang menahannya. Hati itupun kembali tegar. Ia ingat kata-kata Tono yang tertulis di sampul album lagu itu saat diberikan pada ultahnya yang keduapuluh tiga: “Sebuah lagu bukan sekedar kenangan, ia bagaikan busur yang meluncur tanpa ragu”. Kalimat yang membuat Ana tersenyum waktu itu (karena tak mutu pikirnya), tapi kini dirasakan mukjizatnya.
Kelahiran Ade sedikit mengobati kesunyian Ana. Wajah mungil yang masih suci itu menjadi pelipur hati tersendiri. Namun ini tak berlangsung lama. Setelah Ade bisa sedikit-sedikit berjalan, mulailah kerepotan Ana. Pendeknya, si Ade mulai membutuhkan perhatian ekstra. Sementara si Anggi belum sepenuhnya bisa “mandiri”. Seharian waktunya habis untuk mengurus kedua anaknya. Apalagi kalau si Anggi nakal, ia akan ingat suaminya. Sebab tak ada yang meluluhkan kenakanalan Anggi selain ayahnya.
Lama kelamaan Ana tak tahan juga dengan rutinitas hidupnya. Tapi mungkin benar kata pepatah bijak: dalam kesulitan itu ada kemudahan. Pun dalam kesusahan, selalu terbentang jalan menuju keceriaan. Dan di swalayan itulah barangkali Ana menemukan kembali keceriaan hidupnya yang selama ini musnah. Waktu itu ia sedang belanja bersama dua anaknya.
“Annaa......., Nurhana, ya ?”
Kening Ana berkerut sebentar, lalu berguman dalam tanya: “Dani …..?”
Agus Wardani adalah teman dekat Ana saat kuliah di akademi perbankan dulu. Mereka berdua lalu menceritakan keadaan masing-masing. Dani kini masih membujang dan bekerja di sebuah bank di kota kabupaten. Sementara Ana mengakui keadaan yang sebenarnya --maksudnya suaminya yang kerja di kapal pesiar. Termasuk rutinitas hidupnya yang melelahkan, membosankan, dan terhimpit sepi
“Mau bergabung dengan kami ?”
“Ah yang benar kamu ?”
“Serius. Perusahaan masih membutuhkan beberapa tenaga marketing. Yaaa.. tak seberapa sih gajinya. Apalagi kalau dibanding gaji suamimu yang hitungan dolar. Tapi percayalah, bisa untuk mengisi kesepian hidupmu.”
Setelah pertemuan itu Ana konsultasi dengan Tono. Dalam telpon, Tono menyetujui niat isterinya mengisi waktu luang dengan aktivitas di luar rumah. Atas kebaikan Dani, Ana pun kerja di bank itu. Sebagian gajinya untuk membayari pembantu, yang mengasuh Ade.
***
Ana tergagap dari lamunan saat suara adzan memanggil dari masjid dekat rumahnya. Ia memandang beker itu: jam empat lebih sepuluh menit. Ia bergegas mengambil air wudlu lalu sujud dua rakaat. Kemudian berdoa, mohon pada Allah agar diberi kekuatan lahir-batin dan keselamatan seluruh keluarga termasuk suaminya yang di rantau. Setelah itu ia harus menyiapkan segalanya. Keperluan sekolah buat Anggi, perlengkapan kerjanya, dan …... jawaban buat Dani. Ya, tiga hari lalu Dani mengajak Ana untuk menemaninya ke pesta resepsi salah satu koleganya di bank.
Ana merasa berat untuk menolak ajakan Dani. Tapi pergi berdua bersama Dani ke sebuah pesta resepsi jelas mustahil. Akhirnya Ana memutuskan untuk menolak ajakan Dani dengan alasan mau mengunjungi ibunya.
“Aduh gimana ya Dan. Ibu kemarin telpon mau ketemu Anggi dan Ade. Katanya beliau sudah rinduuuu banget sama cucunya. Tak baik kan menolak keinginan orang tua”
Dani tak bisa berbuat banyak. Dia sangat bisa mengerti segala alasan Ana. Bahkan sejak di bangku kuliah dulu, pengertian Dani lebih besar daripada yang dimiliki oleh Tono. Barangkali karena memang sudah nasib, akhirnya Ana jatuh ke tangan Tono. Tapi dasar jiwa seorang salles, Dani tak menyerah sampai di situ. Sebulan kemudian, di suatu sore, Dani mengajak Ana ke sebuah pameran pembangunan di kota kabupaten.
“Bisa kan nanti malam ?”
“Entahlah Dan. Emmm…..”
“Kalau kamu ragu, ajaklah Anggi, pasti dia senang.”
Kali ini Ana tak bisa mencari alasan. Ajakan Dani begitu mendadak. Ia bingung, dan terdiam sejenak. Ketika hendak mengemukakan suatu alasan, Dani terlanjur menutup pembicaraan dengan nada kalimat penuh optimisme seorang lelaki:. “Kalau begitu sampai nanti malam, daaah….”
Ana meletakkan telponnya sambil mengusap air mata. Juga mengusap photo Tono yang terletak dekat beker. Ia lalu meraih remote tape-recorder dan mengembara bersama lagu itu: Power of Love.
Pukul tujuh malam lebih sedikit pintu kamar Ana diketuk Anggi. “Ma, Mama… ada Om Dani. Katanya sudah janjian sama Mama…………”
Ana kembali mengusap-usap photo suaminya. Di sana tergambar debur ombak pantai Hawaii yang kini membuat gigil hatinya***

Cerpen

Lukisan Terakhir

Cerpen Marwanto

(Dimuat KR BISNIS, 22 November 2009)
Malam menunjuk pukul dua. Udara dingin menusuk tulang lewat pori-pori. Dan suara jangkrik di persawahan terdengar merajam hati. Hati lelaki yang kini terasa sulit merumuskan air mata. Meski telah menekuk tubuhnya di atas ranjang dan tak bangun lagi. Aatau bahkan berlari kencang di tengah padang tak bertepi. Yang pasti, malam berlalu begitu panjang. Dan lengang.
Malam-malam seperti itu, yang panjang dan lengang, sudah sewindu berlalu. Tepatnya, sejak ditinggal Sita, hidup lelaki itu tak menentu. Bagai layang-layang putus talinya. Hinggap di sembarang tempat. Tergantung angin. Kadang di trotoar. Sekali tempo mampir di terminal. Lain waktu mojok dengan anak-anak muda di pos ronda. Tapi uniknya: meski sering pulang larut malam ia tak lupa merenung sebentar sebelum tidur, sambil mencoret-coret beberapa kalimat --mungkin dimaksudkan sebagai puisi.
Dalam perenungan itulah Rama, lelaki tadi, sering teringat Sita. Gadis yang telah menemani hidupnya hampir tiga tahun. Bagi Rama, Sita adalah gadis pengertian, santun, jarang marah dan mudah memaafkan. Lebih dari itu, ia selalu dapat membaca hati Rama. Itulah sebabnya pengertian Sita melebihi gadis-gadis lain yang pernah dekat dengan Rama.
Masa lalu Rama tak lepas dari tiga hal: Sita, trotoar, dan lukisan. Ya, Rama adalah seorang pelukis wajah yang mengais rejeki di trotoar kota –profesi yang ia jalani setamat dari SMA. Sebenarnya Rama cukup beruntung memiliki kekasih macam Sita, yang mahasiswi dan cantik. Apalagi sepulang dari kampus Sita selalu mendampingi kekasihnya itu mengais rejeki di trotoar. Dan jika tak ada pesanan, Rama acapkali menjadikan kekasihnya itu sebagai model lukisan. Bagi Rama, kecantikan Sita tak habis-habisnya untuk dituangkan ke dalam kanvas. Seperti pemuda yang jatuh cinta memandang bulan purnama. Saat melukis wajah Sita itulah ekspresi dan semangat hidup baru muncul dari dalam jiwa Rama.
Tapi, kini semuanya berlalu. Musababnya sederhana: seorang bos perusahaan yang juga kolektor lukisan tertarik dengan lukisan wajah perempuan karya Rama. Ternyata ketertarikan bos tersebut tak berhenti di situ. Ia ingin sekali dikenalkan dengan model lukisan tadi, yang tak lain adalah Sita. Setelah keduanya berkenalan, malapetaka menimpa Rama. Sita yang selama ini dikenal sebagai satu-satunya gadis yang selalu bisa membaca hati Rama, ternyata gagal mempertahankan komitmen cintanya. Mungkin selama ini Sita adalah gadis polos yang cuma mengenal lingkungan kehidupan pelukis trotoar yang sederhana. Sita belum pernah merasakan empuknya duduk di jok Inova atau Grand Livina.
Kepergian Sita membekaskan luka teramat dalam bagi Rama. Ia merasa tak hanya dikhianati Sita, tapi dikhianati kecantikan. Dan ia pun berjanji untuk tidak lagi melukis keindahan. Rama tak percaya lagi pada kecantikan wajah. Baginya, kecantikan dan keindahan wajah seringkali menipu. Sejak itu ia pensiun melukis wajah. “Aku tak mungkin melukis kepalsuan !!”, jeritnya.
***
Sore itu kicau burung ramai bersautan. Di halaman belakang rumahnya, Rama sedang melukis pemandangan alam. Sejak pensiun melukis wajah, objek lukisan Rama pindah ke pemandangan. Bagi Rama, keindahan alam tak pernah menipu. Ia suci dan lugu. Tapi baru beberapa menit menorehkan kuasnya ke kanvas, pintu rumah ada yang mengetuk. Seorang laki-laki berpakaian perlente datang. Tamu itu ternyata seorang General Manejer di sebuah perusahaan real-estate. Bagas namanya. Kedatangannya bermaksud meminta Rama melukiskan wajah kekasihnya.
“Tapi Tuan, saya berjanji tak akan melukis wajah lagi”
“Tolonglah, saya mohon dengan sangat. Saya sudah jelajah ke seluruh penjuru kota. Ternyata, hanya Anda pelukis wajah yang punya jiwa.”
“Em….. tapi,”
“Coba dilihat dulu foto yang saya bawa ini...!”
Rama tercengang melihat kecantikan perempuan dalam foto itu. Lalu dengan tak sadarkan diri ia mengangguk-anggukan kepala. Bagas mengartikannya sebagai tanda setuju.
“Terima kasih, terima kasih. Kapanpun jadinya, saya akan menunggu.”.
Bagas berlalu. Mata Rama masih terpaku, menatap foto itu. Semburat masa lalu terbayang di wajahnya. Mendadak gairah baru muncul dalam jiwanya. Gairah yang menyeretnya untuk memegang kuas dan …. melukis wajah ! Tangan Rama seperti ada yang menggerakkan untuk terus menari-nari di atas kanvas melukis kecantikan bulan purnama. Dan akhirnya terciptalah sebuah lukisan yang amat indah. Ah, lebih dari indah. Lukisan itu alami dan hidup. Jika publik tahu, barangkali inilah lukisan yang paling menghebohkan dunia !
Pagi itu Rama bangun kesiangan. Semalam waktunya habis untuk memandangi hasil lukisannya. Lukisan itu hampir jadi. Ya, tinggal finishing touch atau sentuhan akhir yang akan menyempurnakan lukisan itu. Saat tangan Rama hendak mengusap wajah perempuan dalam lukisan itu, mendadak telpon genggamnya bergetar.
“Sudah Tuan, tinggal sentuhan akhir saja. Jum’at sore bisa di ambil”
“Terimakasih, terima kasih. Saya tak tahu harus membalas dengan apa budi baik Mas Rama.”
“Jangan terlalu dipikirkan Tuan, saya hanya ada satu syarat…”
“Katakan saja, jangan sungkan. Berapapun yang Mas Rama minta akan saya penuhi. Sepuluh juta, duapuluh, limapuluh atau bahkan….”
“Bukan soal rupiah Tuan..”
“Oya, lalu soal apa ?”
“Saya minta Tuan mengajak perempuan yang ada dalam foto itu saat nanti mengambil”
“Oke, tak masalah”
HP ditutup. Rama melemparnya ke tempat tidur. Tangannya kembali mengusap-usap wajah perempuan dalam lukisan itu. “Kutunggu kau Sang Putri”, desisnya dalam hati.
Pada hari yang ditentukan, Bagas datang bersama perempuan dalam foto itu. Di balik pintu regol rumahnya, Rama berdiri membelakangi tamunya. Bagas dan perempuan itu terkejut.
“Berhenti di situ Tuan !”
“Ada apa ini ?”
“Saya minta Tuan Bagas menunggu di sini. Saya akan membuat sentuhan akhir pada lukisan bersama perempuan itu !”
Bagas tak bisa menolak. Perempuan itu melangkah pelan –dari sorot matanya terpancar keraguan. Hatinya membisik: “Sepertinya aku tak asing lagi dengan suasana rumah ini, tapi…..”.
“Jangan ragu Sang Putri, ! Sliahkan, silahkan. Lukisannya ada di pendopo itu”
Perempuan itu meneruskan langkah. Pelan sekali. Ketika sampai di depan lukisan, mata mereka saling bertatapan --dan seperti ada tenaga ghaib yang membuat keduanya tak bisa berkedip.
“Saya akan melakukan sentuhan akhir pada lukisan ini, saya harap Sang Putri tak keberatan. “
Rama mendekat. Tangannya memegang pundak perempuan itu. Ditatapnya perempuan itu dalam-dalam, lama sekali. Lalu, sekali lagi, seperti ada tenaga gaib yang menggerakkan mereka untuk saling berdekapan. Berpelukan, erat sekali. Degup jantung mereka seperti air di ujung muara sungai ketika bertemu samudra. Lalu keduanya berguling-guling di lantai pendopo. Lantai yang saat itu berubah menjadi samudera dengan ombak yang rancak berirama. Dan, begitu ajaibnya, bersamaan dengan itu lukisan di samping mereka menjadi tambah indah, alami, dan hidup.
Di luar regol, Bagas sudah bosan menunggu. Ia masuk dan langsung menuju pendopo tempat lukisan itu dipajang. Ia takjub melihat keindahan lukisan perempuan itu: “Ah, ini bakal menjadi lukisan termahal di dunia”.
Tapi ketakjuban Bagas menjadi keterkejutan saat ia mendapati kekasihnya ber-pelukan dengan sang pelukis. Dan, tubuh kedua insan yang berpelukan telanjang itu ternyata sudah tak bergerak lagi. Mereka begitu damai menghempaskan nafas terakhir. Bagas sedikit cemas. Namun, logika dagangnya membuat pikirannya berbalik: masih banyak perempuan cantik, tapi tak banyak ada lukisan seindah ini.
“Saya akan menjadi kolektor terkaya”. Bagas menjerit sambil mengepalkan tangannya ke udara.
Tapi begitu Bagas hendak menyentuh lukisan terakhir karya Rama, pelan-pelan lukisan itu lebur --muksa bersama tubuh Rama-Sita.***

Selasa, 01 Desember 2009

CERPEN

Tetangga Baru
Cerpen Marwanto

(Dimuat KEDAULATAN RAKYAT, 8 November 2009)


Mijan. Begitu ia memperkanalkan namanya. Pendek memang. Sesingkat ia mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sebuah jabat tangan erat. Bagai cengkraman harimau yang tak kenal ralat. Belum lagi tatapan matanya yang tajam (Ah, mengingatkan kita pada mata elang !). Jelas, membuat kami semua segan. Tapi tak sedikit diantara kami yang selalu ingin dekat. Karena jauh dibalik ketajaman tatapannya, memancar telaga jernih -- yang membuat kami tak menolak untuk bersahabat.
Ia datang ke desa kami sebulan lalu. Mengaku berasal dari salah satu kampung di Indramayu. Ya, ia membawa beberapa bungkus kardus ukuran besar. Menurut pengakuannya, ia adalah seorang penjual minyak wangi yang mengedarkannya ke pasar-pasar. Namun menilik logat bicaranya, kami ragu kalau ia dari Indramayu.
“Apa benar sampeyan ini dari Indramayu ?”, tanya ketua RT yang juga mewakili warga yang hadir menyambutnya.
“Saya memang lahir di Indramayu.....”
“Tapi logat bicara sampeyan....”
“Benar, logat bicara saya memang Jawa Timuran. Sebab, sejak lulus SD saya berkelana di banyak pesantren di Jawa Timur. Dan hingga kini.... Ah, saya kira dari mana asal kita tak terlalu masalah. Yang penting, kita masih sebangsa, dan sama-sama kawulane Gusti Allah. Nggih mboten ?”
Kami semua manggut-manggut pertanda mengiyakan. Begitu pula ketika ia meminta nginap di salah satu rumah warga. Sebuah permintaan yang tak mungkin kami tolak, sebab meluncur dari mulut manis –mungkin semanis madu atau paling tidak kolak.
“Dengan amat sangat Bapak, saya mohon diperkenankan tinggal di sini. Barang satu sampai dua bulan, sebelum kami menemukan wilayah pemasaran yang tepat”.
“Jadi barang dagangan macam apa yang sampeyan bawa !”
“Minyak wangi non-alkohol.....”
Lalu dengan cekatan ia mengeluarkan beberapa contoh minyak wangi dalam botol-botol ukuran kecil. Dan dalam sekejab ruangan itu menjadi harum: semerbak melati, kasturi, strauberi, .......
Namun saya (dan mungkin juga warga lain) ragu apakah semua bungkusan kardus besar itu berisi minyak wangi. Rupanya keraguanku terbaca dengan baik oleh Mijan. Ia segera menjawab, sebelum saya lontarkan beberapa pertanyaan mengenai hal itu.
“Selain minyak wangi, kami juga menawarkan berbagai jenis baju muslim, sarung, dan pecis....”
Saya pun lega. Demikian pula warga lain yang hadir. Kemudian, dengan bahasa yang sopan pula, Pak RT meminta tanda pengenal tamu itu. Kami heran, melihat wajah Pak RT seperti memendam tanya begitu melihat KTP yang disodorkan Mijan.
“Benar ini KTP sampeyan ?”
“Benar Pak. Memang oleh teman-teman saya dipanggil Mijan, meski di KTP saya terlahir dengan nama Nur Kholil. Tapi apalah arti sebuah nama, ngggih mboten Bapak-Bapak ?”
Kami semua menggut-manggut lagi pertanda tak keberatan. Lalu dengan nada sopan, tamu itu menanyakan akan ditampung di rumah siapa untuk bermalam.
Pak RT menoleh kiri-kanan, seakan minta persetujuan. Dan akhirnya sampai pada kesimpulan.
“Bagaimana kalau di rumah Mas Gatot saja”
Saya terkejut nama saya disebut. Tapi kemudian saya memahami alasan Pak RT. Saya adalah ketua Karang Taruna, disamping itu rumah saya luas, belum beristeri, dan kerap dipakai nongkrong anak muda. Saya pun kemudian mengatakan tak keberatan Tapi, tamu itu justru yang tak berkenan. Alasananya, agak bersifat pribadi memang. Bahwa tiap malam ia tak terbiasa dengan suasana gaduh nan ramai. Sebab, katanya, ia selalu menghabiskan malam untuk mengaji dan sujud pada Tuhan. Maka dia mohon dicarikan rumah yang agak sepi, tak banyak orang berkerumun terutama di malam hari.
Selidik punya selidik, Pak RT dan kami menemukan pilihan rumah Mbokde Sayem –seorang janda yang hanya ditunggui cucunya bernama. Rahmat. Memang rumah itu tak begitu luas, tapi cukup untuk menampung barang bawaan Mijan --dan yang penting sepi, seperti yang ia inginkan.
Seminggu berlalu, tetangga baru kami segera bisa beradaptasi dengan lingkungan. Ia rajin nongol pada acara hajatan di kampung, seperti gotong royong atau kerja bakti. Tapi untuk kegiatan kepemudaan, Mijan jarang menampakkan diri. Satu-satunya kedekatan Mijan dengan pemuda hanyalah kalau ada acara pengajian di masjid –dan akhir-akhir ini ditambah dengan rutinitasnya mengajar anak-anak kampung baca Qur’an. Ah, dengan Rahmat pun Mijan terlihat akrab sekali. Cucu Mbokde Sayem itu kini lebih rajin ke masjid, menjadi muadzin setiap maghrib.
Namun yang membuat kami heran, hampir sebulan tak kami lihat Mijan ke pasar membawa dagangannya. Menurut keterangan Rahmat, selama ini Mijan hanya di rumah saja. Dan ketika saya selidik lebih jauh, bocah yang belum lama disunat itu hanya menjawab pendek: tidak tahu. Hal ini mendorong saya dan beberapa rekan pemuda desa menyambangi rumahnya. Mijan agak terjekut menerima kedatangan kami sore itu.
“Monggo Mas Gatot. Mari teman-teman... ...”
Ia mempersilahkan kami sambil dengan sigap membetulkan letak kardus-kardus besar itu, yang kelihatanya bukan berisi botol minyak wangi --dan mungkin juga bukan baju muslim, sarung atau peci.
“Kok masih di rumah saja Mas Mijan ?”
“Iya.”
“Lho, bagaimana dengan dagangannya. Kapan lakunya ?”
“Ceritanya kan begini Mas Gatot. Saya ini sebenarnya cuma membawakan barang milik seorang teman. Dan saya tak berani menjual barang-barang ini sebelum teman saya datang. Rencaanya dalam minggu ini .... ah paling lama awal minggu depan, teman saya itu akan datang. Sekarang ia masih ada urusan dagang di Temanggung”.
Saya dan pemuda desa lainnya saling berpandangan. Pandangan yang penuh terka. Sikap ini kami lakukan karena dalam pertemuan Karang Taruna se-kabupaten dua hari lalu, Pak Bupati menganjurkan supaya kami hati-hati kalau menerima tamu dari luar daerah yang belum dikenal. Dan tadi malam, kami memang mengumpulkan pengurus Karang Taruna desa untuk membicarakan pesan Pak Bupati tersebut. Jadi kedatangan kami hari ini adalah keputusan rapat tadi malam. Namun, ketika kami berusaha untuk menyelidik lebih jauh barang dagangannya, dalam kardus besar yang menurutnya berisi pakaian muslim, ia menolak halus.
“Maaf Mas Gatot, saya tak berani membuka barang milik teman saya ini sebagaimana diamanatkannya. Bukankah sebagai seorang muslim kita wajib melaksanakan amanat ? Tapi, kalau kardus yang satu ini, monggo silahkan lihat, ini milik saya,”
Lalu Mijan menyodorkan kardus yang sering dibukanya itu, yang dulu waktu dia datang pertama kali ke kampung kami telah membukannya dan berisi minyak wangi. Mungkin kardus itu memang sebagai sampel. Tapi yang kami inginkan adalah kardus lainnya, yang tak boleh dibuka itu.
Malam harinya, dalam sebuah rapat mendadak di Balai Desa, kejadian siang itu kami konsultasikan dengan perangkat desa dan BPD. Ternyata, sikap baik Pak RT dan saya yang mengijinkan tamu itu bermalam di rumah Mbokde Sayem kurang berkenan di hati Pak Lurah.
“Saya pikir, Pak RT dan Mas Gatot terlalu gegabah menerima orang itu”
Pak RT terdiam. Wajahnya tertunduk, menunjukkan watak khas seorang bawahan yang selalu siap menerima kemarahan atasan. Namun, saya agak tersinggung dengan ucapan Pak Lurah, apalagi pandangan matanya memancarkan sikap arogan.
“Begini Pak Lurah, sebagai sesama manusia, terus terang hati kami terketuk, dan tak kuasa menolak permintaannya. Apalagi permintaan itu diungkapkan dalam bahasa yang sangat halus dan sopan. Dan lagi, bukankah tamu itu sudah menunjukkan tanda pengenal dan juga mengakui pekerjaannya ?”
“Dan satu hal lagi Pak Lurah”, tiba-tiba salah satu pengurus Karang Taruna menyela pembicaraan, “Bukankah wajah Mijan tak ada kemiripan secuilpun dengan potret wajah yang disebar aparat beberapa waktu lalu ?”
Ternyata argumentasi yang kami lontarkan tak memuaskan Pak Lurah. Dan sebelum peserta rapat lainnya urun rembug, ketua BPD tampil memberi jalan tengah.
“Begini Bapak-Bapak sekalian, yang sudah ya sudah. Meski begitu, kita tak boleh lengah. Jadi, jangan buang waktu lagi. Besok pagi kita mengklarifikasi hal ini. Kita temui tetangga baru kita itu bersama-sama”.
.Forum yang hadir sepakat dengan usulan ketua BPD. Namun satu hal yang diluar dugaan kami: ternyata isi pertemuan malam itu cepat tersiar. Akhirnya, rencana menemui Mijan yang hanya melibatkan Pak Lurah, Pak RT, anggota BPD, dan beberapa pengurus Karang Taruna, ternyata diikuti pula oleh pihak Polsek
Pagi itu belum ada jam enam. Rombongan kami sudah tiba di rumahnya Mbokde Sayem – ini perintah Kapolsek yang harus kami laksanakan. Seperti biasa, rumah itu lengang dan sepi. Apalagi halamannya belum terkena sorot matahari. Ketika kami uluk salam, nampak perempuan tua itu membuka pintu dengan sangat hati-hati. Bukannya ia tak bisa lagi cekatan, gerakannya yang terlalu kuat akan mengakibatkan pintu tua dari kayu itu gogrok berantakan.
Ia adalah perempuan yang telah renta, dan semakin menunjukkan kepikunannya melihat rambongan kami. Karenanya saya membisikkan pada telingannya berkata ingin menemui Rahmat. Dengan panggilan khas, Mbode Sayem menyuruh cucunya itu keluar. Bgaimanapun, bocah ingusan itu agak kaget dan sedikit keder melihat kedatangan kami
“Jangan takut, Mat. Bapak-bapak ini cuma mau bertemu dengan Mijan...”
Rahmat diam sejenak. Lalu berkata dengan suara berat tertahan, “Emm anu Mas Gatot, tadi malam selepas tahajud Mas Mijan telah pamit?”
“Pamit ???”, kata kami serentak.
“Ya, membawa semua barangnya....”
Pak polisi, karena nalurinya yang mengharuskan tak percaya pada orang paling alim sekalipun, segera menghambur masuk menyelidik seluruh ruangan. Hasilnya nihil dan kami harus meninggalkan rumah Mbokde Sayem –rumah tua yang sejak saat itu menyimpan beribu pertanyaan.
Mijan telah pergi. Tak ada kejadian luar biasa selama sebulan ia bersama kami. Ya, kecuali anak-anak menjadi lebih rajin ke masjid untuk mengaji.***

Selasa, 20 Oktober 2009

OPINI

Oposisi Tak Diperlukan Lagi ?
Oleh MARWANTO
(Dimuat Harian Jogja, 17 Oktober 2009)

Presiden terpilih hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2009 segera akan dilantik 20 Oktober mendatang. Kemenangan pasangan calon SBY-Boediono sudah diprediksi sejumlah pihak –baik pengamat, lembaga survei maupun masyarakat awam sekalipun. Hasil Pilpres 2009 pun menjadi kurang menarik untuk diikuti. Justru yang paling menarik perhatian orang dari Pilpres 2009 waktu itu adalah apakah Pilpres akan berlangsung dua atau satu putaran. Dan seperti kita saksikan bersama, Pilpres 2009 memang hanya berlangsung satu putaran.
Meski Pilpres 2009 sudah berlangsung dan kurang menarik diikuti, hemat saya ada satu hal yang patut ditelaah kaitannya dengan perolehan suara ketiga pasangan calon. Dari ketiga perolehan suara pasangan calon, hanya pasangan JK-Wiranto yang diluar dugaan. Menurut sejumlah lembaga survei, elektabilitas pasangan ini meningkat mendekati hari H pemilu dan diperkirakan akan head to head dengan pasangan SBY-Boediono jika Pilpres berlangsung dua putaran.
Peran partai memang tidak lagi signifikan untuk mendulang suara dalam Pilpres. Namun pasangan JK-Wiranto dikenal mempunyai jaringan luas –baik di Jawa maupun luar Jawa. Jangan lupa, pasangan JK-Wiranto juga didukung sejumlah tokoh ormas keagamaan. Tapi mengapa perolehan suara mereka jeblok?
Mari kita telusuri dari karakteristik perilaku pemilih. Berkaca dari hasil Pemilu Legislatif 2009, masyarakat kita mendasarkan pilihannya lebih menggunakan pertimbangan faktor rasional daripada ideologis. Pendek kata, pemilih kian pragmatis. Sehingga, faktor ideologis tak lagi menjadi pertimbangan yang dominan bagi pemilih kita. Konon, PKS memperoleh simpati (meningkat perolehan suaranya) bukan lantaran faktor ideologis, tapi partai ini mampu membangun citra sebagai partai yang bersih dan peduli.
Di Pilpres 2009 (karena pasangan calon yang terbatas), selain perilaku pemilih yang pragmatis, notabene pemilih kita hanya terbagi dalam dua arus besar: yakni pendukung pemerintah dan yang di luar pemerintah (baca: opisisi). Dilihat dari cara pandang ini, peta dua pasangan sudah jelas: pasangan Mega-Prabowo mewakili oposisi, sementara dari pemerintah (baca: incumbent) diwakili pasangan SBY-Boediono.
Lalu pasangan JK-Wiranto? Pasangan ini tidak jelas benar posisinya. Di satu sisi, JK acapkali ditempatkan sebagai bagian dari pemerintah. Namun dalam berbagai kesempatan (kampanye), JK sering mengkritik SBY. Sebagai bagian dari (keberhasilan) pemerintahan, posisi JK berada di bawah bayang-bayang SBY. Masyarakat awam menilai, keberhasilan pemerintahan karena peran presiden (SBY), dan bukan JK (wakil presiden). Di lain pihak, sebagai pengritik SBY, posisinya kalah dibanding oposisi (pasangan Mega-Prabowo).
Alhasil, ditilik dari dua kutub besar perilaku pemilih Pilpres 2009 (mendukung pemerintah atau oposisi), pasangan JK-Wiranto logis jika hanya memperoleh suara yang kecil. Agaknya, masyarakat menginginkan suatu sikap yang tegas dari politisi: pemerintah atau oposisi. Wilayah “abu-abu” atau permainan “dua kaki” yang dilakukan JK (dan partai Golkar dalam lima tahun terakhir), ternyata tak mendapat simpati rakyat.
Justru, masyarakat masih menaruh respek dan hormat pada opoisisi (pasangan Mega-Prabowo). Gabungan partai yang mengusung pasangan Mega-Prabowo di Pileg kemarin memperoleh suara pada kisaran 21%, tapi dalam Pilpres justru suaranya meningkat menjadi sekitar 26,79%. Sedang gabungan partai yang mengusung JK-Wiranto di Pileg memperoleh suara sekitar 22% namun suara mereka pada Pilpres menurun jauh hanya sekitar 12,41%.
Respek masyarakat terhadap oposisi bisa jadi didasarkan atas asumsi akan adanya perubahan kondisi kehidupan yang lebih baik, bukan sekedar melanjutkan. Dan setiap oposisi memang lahir dari ide perubahan. Dari sini sejatinya oposisi dapat memperoleh simpati dari rakyat. Tinggal bagaimana parpol yang menjadi oposisi itu merebutnya (baca: menciptakan momentum).
Namun menjadi oposisi di negeri ini memang butuh keberanian. Dua partai besar (Golkar dan PDIP) yang nyata-nyata menjadi rival partai pendukung presiden terpilih pada Pilpres 2009, bisa jadi akan memilih “jalan aman” (baca: bergabung dengan pemerintahan SBY). Padahal, baik Golkar dan PDIP adalah partai lama dengan kelebihan masing-masing. Golkar punya SDM pengurus yang bagus hingga tingkat bawah. Sementara PDIP punya pendukung fanatik yang cukup besar.
Namun memang realitas menunjukkan belum ada dalam sejarah politik di Indonesia partai oposisi itu mampu besar secara langgeng. Kebetulan, PDIP yang baru satu periode pemerintahan menjadi oposisi suaranya merosot. Namun, kata teori politik, jika sebuah kekuasaan tidak ada penyeimbangnya, maka yang akan muncul bukanlah pemerintahan yang kuat, tapi pemerintahan yang otoriter. Sehingga oposisi menjadi salah satu pra syarat terpeliharanya iklim kehidupan kenegaraan yang demokratis.
Lalu, siapa yang akan berani tampil sebagai oposisi demi mengemban visi luhur melakukan chek and balances agar tak lahir kekuasaan yang otoriter? Politisi kita lebih memilih oposisi demi kesehatan demokrasi atau kursi (di kabinet) ? Atau, format politik di negeri ini sedang akan bergeser: pemerintahan SBY akan merangkul semua kekuatan politik sehingga fungsi parlemen kembali seperti rezim Soeharto sekedar sebagai stempel pemerintah ? Lalu gerakan oposisi kembali diperankan oleh media maupun LSM dalam wujudnya oposisi ekstra-parlementer? Kita tunggu saja.***

Rabu, 30 September 2009

OPINI

DPR, Satu untuk Semua !

Oleh Marwanto

Sesuai peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 20 tahun 2008 tentang Tahapan dan Jadual Penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, pelantikan anggota DPR merupakan tahapan terakhir dari hajat besar demokrasi elektoral tersebut. Kini, semua pihak sudah bisa bernafas lega. Anggota dewan yang terhormat periode 2009-2004 sudah dilantik.

Tidak hanya anggota dewan yang dilantik yang berbahagia. Semua komponen bangsa sudah selayaknya bersyukur dan menyambut gembira atas momentum ini. Meski proses penyelenggaraan pemilu legislatif 2009 disertai sejumlah catatan (bahkan catatan penting), secara umum kita masih bisa mengabarkan pada dunia luar bahwa Indonesia masih merupakan negara yang menganut faham demokrasi.

Namun, tak seharusnya kegembiraan itu berlarut-larut. Tak semestinya keberhasilan menyelenggarakan pemilu menjadikan kita pongah. Sebab, bagi penyelenggara, ada banyak catatan serius yang harus diperbaiki untuk pelaksanaan pemilu lima tahun ke depan. Sementara untuk anggota dewan yang baru saja dilantik, sejumlah tugas sudah menunggu. Segudang amanat dari rakyat menumpuk untuk diperjuangkan. Juga, yang tak kalah penting, “PR” dari periode dewan yang lalu, yang harus segera diselesaikan.

Dan jauh di atas segalanya, makna dari frase “wakil rakyat” itu sendiri. Pernahkan di saat rehat dari kesibukan para anggota dewan yang terhormat itu mencoba memahami dalam-dalam makna substantif dari kata “wakil rakayt”? Baiklah, awam pun tahu ada tiga fungsi anggota dewan: legislasi, pengawasan, dan anggaran. Ketiga fungsi itupun, sejujurnya, belum optimal dilakukan. Apalagi sampai mendedah soal makna subtantif wakil rakyat.

Cobalah bertanya yang lebih konkret dan sederhana saja: apa yang terbayang di benak mereka beberapa saat setelah dilantik? Apakah ....

Pertama, membayangkan gaji dan fasilitas yang hanya bisa dinikmati oleh segelinitr orang di negeri ini. Kedua, membayangkan konstelasi politik demi mengamankan posisinya dan memperbesar kekuasaan kroniya lima tahun mendatang. Ketiga, membayangkan jutaan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, aspirasi rakyat yang belum sepenuhnya tertampung di gedung parlemen, dan hal lain sejenisnya?

Semoga ihwal ketiga yang terbayang di benak anggota dewan yang terhormat kita, begitu mereka selesai dilantik. Namun, jika nomor satu dan dua melintas di benak mereka, itupun sesuatu yang manusiawi. Sebagai wakil rakyat, mereka mesti digaji dan diberi fasilitas yang memadai. Pun sebagai politikus, mereka sah untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Tapi jika tidak hati-hati, fungsi sebagai politikus ini bisa mereduksi makna “wakil rakyat”.

Betapa tidak? Sering kita dengar secara santer kritikan dari sejumlah pihak yang menyebutkan anggota dewan kita lebih berposisi sebagai “wakil partai” daripada wakil rakyat. Ini karena katika mereka duduk di dewan lebih terbebani misi partai, bukannya menyalurkan aspirasi rakyat secara umum. Memang realitas di parlemen, bahwa DPR terdiri dari berbagai partai yang tercermin dari fraksi-fraksi. Namun sebagai institusi, (anggota) dewan adalah wakil dari seluruh rakyat Indonesia tanpa tersekat-sekat dalam kelompok tertentu.

Semangat anggota dewan untuk lebih berposisi sebagai wakil rakyat Indoneisa secara keseluruhan inilah yang dari waktu ke waktu dirasa mulai luntur. Padahal, semangat inilah yang menjadi awal sekaligus kunci kesuksesan dewan mengemban aspirasi dan mandat rakyat. Ketika anggota dewan berposisi sebagai wakil rakyat, ia tak akan tergoda untuk hanya memperjuangkan kepentingan (sempit) kelompoknya saja. Ia juga tidak mudah diintervensi dan ditekan pemerintah, berkaitan kebijakan pemerintah (kekuasaan) yang tidak memihak kepentingan rakyat banyak.

Alhasil, hemat saya, semangat untuk mengembalikan “kithah” anggota dewan sebagai wakil rakyat akan menjadi titik awal dalam rangka memulihkan kewibawaan institusi DPR itu sendiri yang pada gilirannya akan berdampak pada perbaikan kinerja dan karakter anggota dewan. Institusi dewan itu satu, tapi mengemban manfaat untuk semua atau seluruh rakyat negeri ini.

Semoga anggota dewan periode 2009-2014 yang baru saja dilantik juga berpikiran demikian.***