Sabtu, 27 Juni 2009
OPINI
Oleh MARWANTO
("Harian Jogja", 25 Juni 2009)
Pemilu adalah sandiwara belaka...
Demikian keyakinan dr. Noguera, tokoh rekaan Gabriel Garcia Marques dalam novelnya One Hundred Years of Solitude (Seratus Tahun Kesunyian). Saya selalu membayangkan keyakinan dr. Noguera tersebut dengan pelaksanaan Pemilu di era Orde Baru (Orba). Pemilu yang penuh rekayasa. Dimana penyelenggara Pemilu dengan berbagai cara berusaha mendesain agar hasil Pemilu selalu dimenangkan oleh partai yang sedang berkuasa (“partai pemerintah”).
Desain penguasa untuk memenangkan salah satu kontestan Pemilu dilakukan mulai dari soal kebijakan sampai masalah teknis. Dalam hal kebijakan, misalnya, penguasa Orba membuat aturan bahwa kepengurusan partai politik tidak diperbolehkan sampai tingkat akar rumput. Intinya, di satu sisi rakyat bawah tidak diberi kesempatan untuk berpolitik, sementara di sisi lain aparat birokrasi dari atas sampai bawah dijadikan kader (atau minimal diwajibkan mendukung) salah satu peserta Pemilu.
Tak pelak, waktu itu Pemilu memang hanya sandiwara: penguasa bertindak sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, dengan pemain yang sama sekali tidak memiliki otonomi untuk berbuat selalin yang telah digariskan sang sutradara. Sehingga, meski belum ada tren quick-count, hasil Pemilu sudah bisa diketahui sejak dini. Pemilu sekedar seremonial lima tahunan bangsa Indonesia, untuk “menghormati dinamika politik yang remeh-temeh”: misal momentum Pak Harto mengganti wakil presiden.
Ketika Pemilu hanya dibuat main-main atau sandiwara, layak jika sebagian masyarakat mengkritiknya. Kritik itu dialamatkan untuk membenahi agar pelaksanaan Pemilu berlangsung demokratis, luber, dan jurdil. Sikap kritis yang tak kunjung direspon penguasa dengan memperbaiki pelaksanaan Pemilu itu kemudian maujud menjadi gerakan golongan putih (golput) alias tidak menggunakan hak pilih. Dalam konteks ini, golput adalah pilihan politik yang didasari atas sejumlah kekecewaan terhadap praktik politik waktu itu.
Dari sisi kuantitas, golput di era Orba amat kecil (atau karena “desain dari penguasa” sehingga data riil tentang Golput waktu itu tidak pernah terpublikasi secara jujur ?). Namun sejak dulu golput memang sudah bikin risih dan resah. Bahkan rezim Soeharto amat peka (dan dalam taraf tertentu “takut” sehingga acapkali harus bertindak represif) terhadap orang seperti Arief Budiman --tokoh yang sering dipandang sebagai penggerak golput.
Meski bikin risih dan resah penguasa, golput di era Orba sebenarnya tak pernah menang. Dalam arti, gerakan golput tak pernah berhasil mengubah mekanisme Pemilu (dan sistem politik secara umum) di negeri ini menjadi lebih demokratis. Berubahnya tatacara pelaksanaan Pemilu yang lebih demokratis, luber dan jurdil bukan buah dari golput, namun akibat gerakan reformasi tahun 1998. Reformasi 1998 yang menuntut perubahan tatakelola kehidupan kenegaraan di segala bidang, salah satunya berhasil menggelar Pemilu 1999 –Pemilu yang oleh sebagian pengamat dari sisi demokratis dan luber jurdil-nya sering disepadankan Pemilu 1955.
Pada Pemilu 1999 orang tak lagi bicara tentang golput. Sebab kran keterbukaan telah dibuka lebar, sebagai lawan dari sikap represif penguasa yang sebelumnya menjadi salah satu penyebab golput. Ada euforia politik waktu itu, yang mendorong masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu. Tercatat, pada Pemilu 1999 persentase voter turn-out (pemilih yang menggunakan hak pilihnya) sekitar 92%. Bahkan menurut saya, partisipasi pemilih pada waktu itu seharusnya bisa lebih tinggi lagi, mendekati 100%. Mengapa?
Karena pada Pemilu 1999 saya menjadi Gastarlih (Petugas Pendaftaran Pemilih), maka masih bening dalam ingatan saya tentang model pendaftaran pemilih waktu itu. Yakni, diumumkan pada masyarakat bahwa tanggal sekian akan ada pendaftaran pemilih. Selanjutnya pada tanggal yang sudah ditentukan, Gastarlih bertindak pasif: hanya duduk menunggu pemilih yang datang mendaftarkan diri. Gastarlih dilarang aktif mendaftar pemilih, dengan alasan karena trauma rezim Orba dimana penyelenggara Pemilu yang merupakan bagian dari birokrasi sering memobilisir warga. Artinya, pemilih yang datang minta didaftar jelas yang berniat akan menggunakan hak pilihnya di Pemilu. Tapi, tidak ada yang mempersoalkan apakah pemilih yang minta didaftar itu secara persentase sudah tinggi jika dilihat dari jumlah penduduk yang telah punya hak pilih.
Dari cara Gastarlih yang pasif tadi, sebenarnya bisa menjaring partisipasi pemilih yang genuine (murni). Namun model pendaftaran pemilih seperti itu diubah pada Pemilu 2004 dengan dibentuknya Pantarlih (Panitia Pendaftaran Pemilih). Beda dengan Gastarlih, Pantarlih bertindak aktif: terjun ke lapangan untuk mendata penduduk (secara de fakto) yang telah punya hak pilih. Dibanding Pemilu 1999, persentase pemilih yang menggunakan hak pilih pada Pemilu 2004 turun menjadi 84%. Penurunan ini bisa karena beralihnya model pendaftaran pemilih atau karena faktor politis (rakyat kecewa dengan kinerja elit politik pada fase pertama ere reformasi). Yang pasti: dari sekitar 16% golput tersebut tak ada yang disebabkan ghost-voter (pemilih yang hanya ada dalam daftar tapi tak ada di kenyataan).
Pemilu 2009 menggunakan pendekatan de jure untuk pendataan pemilih. Model ini berpotensi memperbesar jumlah ghost-voter, di satu sisi karena tingkat mobilitas masyarakat kita sudah tinggi dan di saat yang sama tidak dibarengi kualitas administrasi kependudukan yang baik. Tentu kisruh DPT tak hanya disebabkan faktor ini. Namun tingginya golput Pileg 2009 tak bisa disebut pemenang. Baik dari aspek kualitas: yang mempersoalkan golput Pileg tetap mengikuti Pilpres, demikian juga kongres golput tak bisa mengurangi antusias masyarakat pada Pemilu. Pun kuantitas: angka golput tak semestinya dibandingkan dengan perolehan partai A atau B. Angka golput (49.677.076) logikanya dihadapkan dengan pemilih yang menggunakan hak pilih (121.588.366) atau angka golput plus suara tidak sah pun jika digabung (67.165.657) belum bisa mengalahkan suara sah (104. 099.785).
Sejak era reformasi 1998 Pemilu di negera kita tak lagi sandiwara. Kalaupun ada kekuarangan di sana-sini, mari benahi bersama !***
Rabu, 06 Mei 2009
Stop Press ... !!!
Pemilih Paham Berikan Tanda 'Centang'
( Kedaulatan Rakyat, 04/05/2009 )
WATES (KR) - Masyarakat Kulonprogo yang menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Legislatif 2009, sudah memahami tata cara pemungutan suara di bilik suara tempat pemungutan suara (TPS) dengan memberikan tanda centang atau contreng pada tanda gambar partai politik (parpol) atau nama calon legislatif (caleg). Hal tersebut diketahui berdasarkan pengolahan data rekapitulasi penghitungan hasil perolehan suara Pemilu Legislatif 2009 yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kulonprogo. Perubahan tata cara pemungutan suara pemilu dengan tata cara memberikan tanda centang, pada awalnya cukup mencemaskan bagi penyelenggara Pemilu Legislatif 2009.
Anggota KPU Kabupaten Kulonprogo Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Humas dan Data Informasi Marwanto SSos yang dihubungi KR mengatakan, untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat terhadap tata cara pemungutan suara, dapat dilihat dari pengolahan data rekapitulasi suara sah dan tidak sah, hasil penghitungan suara pemilu legislatif. Menurutnya suara sah pemilu legislatif sebanyak 229.604 suara atau 90,73 persen dari sebanyak 253.050 suara dan suara tidak sah sebanyak 23.446 atau 9,27 persen. "Dengan melihat angka tersebut, artinya masyarakat yang menggunakan hak pilihnya sudah memahami tata cara pemungutan suara dengan cara memberikan tanda centang," kata Marwanto SSos.
Pemungutan suara pada pemilu legislatif dengan memberikan tanda centang merupakan hal yang baru bagi masyarakat yang sudah memenuhi persyaratan menjadi pemilih di Indonesia. Pada pemilu sebelumnya, pemilih hanya cukup mencoblos tanda gambar parpol peserta pemilu. Bagi masyarakat awam, pemungutan suara yang dilakukan 9 April lalu, semakin rumit. Selain ada perubahan tata cara memberikan tanda pada pemungutan suara, dalam surat suara tercantum pilihan gambar parpol dan daftar nama caleg.
Meskipun tata cara pemungutan suara semakin rumit, sosialisasi yang diberikan menjelang pelaksanaan pemilu dapat dipahami masyarakat. Suara tidak sah terendah dari sebanyak 12 kecamatan di Kulonprogo adalah di Kecamatan Samigaluh hanya 1.061 suara atau 6,16 persen dari sebanyak 17.211 suara. Adapun suara sah sebanyak 16.150 pemilih atau 93,84 persen. Suara tidak sah tertinggi di Kecamatan Kokap mencapai 2.712 suara atau 9,77 persen dari sebanyak 27.770 suara dan suara sah sebanyak 25.058 suara. (Ras)-e
Kamis, 29 Januari 2009
OPINI
Oleh Marwanto
"Kompas" (halaman Jateng-DIY), 29/01/2009
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota telah mendorong para calong anggota legislatif (caleg) yang akan berlaga pada Pemilu 2009 lebih giat melakukan kampanye. Betapa tidak. Dengan penetapan calon terpilih menggunakan dasar suara terbanyak, seolah tidak ada bedanya antara Caleg yang menempati nomor urut atas dengan nomor urut bawah. Semua Caleg sekarang punya kesempatan yang sama. Tinggal bagaimana para Caleg merebut simpati pemilih agar memberikan suaranya pada mereka.
Meski ada pihak yang merasa tidak puas atas putusan MK, namun dilihat dari sistem kepemiluan, dampak putusan MK tersebut cukup positif. Dalam arti, bisa mengeliminir kontradiksi antara sistem proporsional terbuka dengan penetapan calon terpilih. Sebab, sistem proporsional terbuka yang diterapkan pada Pemilu 2009, pada hakikatnya sangat menghormati suara rakyat. Dengan kata lain, siapa pun yang dikehendaki (dipilih) rakyat atau mendapat suara terbanyak, maka ia yang berhak menjadi wakilnya di parlemen.
Sistem proporsional terbuka yang menggunakan penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak juga berdampak pada bergesernya orientasi pemilih: dari yang semula menggunakan pertimbangkan partai politik kini lebih ke sosok Caleg. Konsekuensinya, kini Caleg seakan menjadi figur dan tumpuan sentral untuk meraup suara. Memang, Caleg tidak (atau belum) menjadi satu-satunya referensi yang akan dilihat oleh pemilih. Namun ketika “ideologi partai sudah sedemikian cair”, tak pelak lagi dominasi Caleg atas partai (dimata pemilih) akan semakin menguat –dari waktu ke waktu, terutama jika sistem seperti ini terus dipertahankan.
Tentu ada sejumlah konsekuensi ketika kiblat pemilih bergeser dari partai ke Caleg. Sejumlah konsekuensi itu diantaranya:
Pertama, kualitas personal Caleg akan menjadi referensi utama bagi pemilih. Tentu masih ada referensi lain, semisal platform partai atau ideologi partai. Namun, dalam suasana “pasar politik” yang hiruk-pikuk dan amat begitu gemuruh sehingga praktik yang terjadi di ranah politik menyerupai mekanisme dalam dunia industri, tak pelak lagi wacana tentang ideologi pelan-pelan akan memudar. Dalam kondisi demikian, kecenderungan pemilih pragmatis (melihat sosok Caleg yang dianggap mampu menawarkan solusi atas problem kemasyarakatan) akan lebih besar daripada pemilih ideologis. Belum lagi sejumlah survei yang menunjukkan tingkat kekecewaan masyarakat terhadap partai politik cukup tinggi. Maka, bergesernya orientasi pilihan dari parpol ke Caleg akan kian menguat.
Kedua, tingkat popularitas Caleg menjadi tuntutan yang tak terelakkan. Tingkat popularitas barangkali hal yang berbeda dengan tingkat elektabiltas (kemungkinan terpilih). Namun begitu, tingkat popularitas sedikit banyak akan berpengaruh pada tingkat elektabiltas seseorang. Bagaimana rakyat akan memilih, jika ia belum mengenal sama sekali si Caleg?
Ketiga, modal materi yang cukup untuk terjun ke kancah politik. Jer basuki mawa bea, adalah ungkapan yang tepat untuk para Caleg yang akan meraih kursi di lembaga legislatif. Memang benar, uang bukan segala-galanya. Tapi mesti disadari, bahwa segala-galanya (dalam proses politik) memerlukan uang.
Keempat, kerja keras. Kualiats personal, modal materi (uang), dan tingkat popularitas yang tinggi belum menjamin seorang Caleg akan terpilih. Sebab, masih ada satu faktor yang harus dilakukan oleh para Caleg, yakni kerja keras. Kini, Caleg tidak bisa lagi bersembunyi dibawah ketiak partai. Orang menyebut: era berpangku tangan bagi pengurus parpol (yang menjadi Caleg nomor “jadi”) sudah selesai. Saatnya sekarang Caleg bekerja keras.
Jika mencermati sejumlah survei, kerja keras Caleg bukan upaya yang sia-sia atau mubazir. Sebab, pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) jumlahnya cukup signifikan. Sebagai contoh, hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) bulan Desember 2008, menunjukkan pemilih yang belum menentukan pilihan ada sekitar 20%, --jauh di atas PDIP (17,1%) dan Golkar (13,3%). Dengan demikian, Caleg yang mampu menggarap undecided voters ini kemungkinan besar yang akan berhasil meraih dukungan untuk duduk di kursi legislatif. Kerja keras Caleg tersebut terutama dengan menunjukkan kemampuan diri (personal) bahwa ia mampu mengemban kepercayaan yang diberikan oleh rakyat. Penonjolan kemampuan personal seorang Caleg ini penting, seiring berkurangnya peran parpol. Kiranya, sudah bukan jamannya lagi berkampanye dengan cara “mengandalkan atau mengatasnamakan patron”. Peraga kampanye yang memperlihatkan foto Caleg dengan background sang patron (semisal Gus Dur, Amin Rais, Megawati, SBY, atau Sri Sultan) agaknya lambat laun akan dianggap lucu dan usang. Bagi pemilih cerdas, mereka lebih respek pada Caleg yang berani berkata: “Ini aku, bukan ini bapakku”.
Suara Rakyat
Oleh Marwanto
(Jurnal KPU Kulonprogo, Edisi 1/2009)
Dalam sebuah sajaknya yang berjudul “Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum”, Goenawan Muhamad (GM) membuka dengan larik kalimat: “Tuhan, berikanlah suara-Mu, padaku”
Mengapa ada seorang yang mengharap “Suara Tuhan” di hari Pemilu? Agaknya , ungkapan Vox Populi Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) telah menjadi jargon keramat yang kerap dikutip saat pesta demokrasi berlangsung. Konon, ungkapan ini juga menjadi salah satu inspirasi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menganulir pasal 214 UU No.10 tahun 2008 perihal penetapan calon terpilih.
MK, sebagai lembaga yang diberi kewenangan penuh menguji undang-undang, dalam menelorkan setiap putusan notabene berdasar dan/atau bekerja di ranah substansi. Termasuk ketika menganulir pasal di atas: MK sedang bicara substansi demokrasi. Putusan yang bersifat substantif memang sulit dibantah. Putusan MK, kata Satjipto Raharjdo (Kompas, 5/1/2009), ibarat idu geni: setiap MK mengeluarkan putusan rakyat harus diam, patuh, manut. Tidak boleh protes, banding dan tak ada jalan melawan.
Sementara dilain pihak, kita tahu, undang-undang (sekali lagi undang-undang, bukan undang-undang dasar) adalah pedoman yang cenderung aplikatif. Tidak mudah mensinkronkan hasil kerja di ranah substansi dengan aturan yang bersifat terapan –apalagi peraturan yang aplikatif tadi dihasilkan oleh sebuah rembug yang bersifat kompromistik. Reaksi dan respon beragam pun mengalir. Dua kutub reaksi yang menarik disimak adalah:
Pertama, pendapat yang menyatakan terbitnya putusan MK mampu mengeliminir kontradiksi antara sistem proporsional terbuka yang dianut dalam Pemilu 2009 dengan penetapan calon terpilih. Argumentasinya, sistem proporsional terbuka pada hakikatnya sangat menghormati suara rakyat. Dengan kata lain, siapa pun yang dikehendaki (dipilih) rakyat atau mendapat suara terbanyak (dalam “koridor proporsional”), maka ia yang berhak menjadi wakilnya di parlemen.
Kedua, pendapat yang mengatakan putusan MK tersebut justru membuat rancu sistem Pemilu 2009. Alasannya, peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD adalah partai politik, bukan perseorangan. Tapi mengapa ketika menetapkan calon terpilih menggunakan acuan perolehan suara terbanyak yang diperoleh caleg yang notabene itu perseorangan?
Hemat saya, pendapat pertama lebih logis. Sebab, yang berlaku nanti adalah “suara terbanyak proporsional”, bukannya “suara terbanyak distrik”. Artinya, ketika caleg dalam sebuah Dapil mendapat suara terbanyak namun partainya tidak memperoleh kursi, caleg tersebut tetap tidak berhak atas sebuah kursi. Jadi, perolehan suara parpol sebagai peserta Pemilu yang menentukan perolehan kursi, bukan perseorangan.
Selain dua kutub pendapat diatas, sejumlah tanggapan pro-kontra sempat muncul: merebaknya politik uang, ancaman akan tamatnya riwayat parpol, sampai hilangnya tindakan afirmatif action terhadap perempuan. Alhasil, konversi substansi demokrasi ke dalam sistem politik memang tidak pernah sempurna. Begitu juga terjemahan substansi demokrasi ke produk hukum, amat tidak mudah. Apalagi, pembuatan undang-undang itu sendiri adalah sebuah proses politik —yang tak mungkin steril dari kepentingan. Namum, sesulit apapun membuat aturan undang-undang yang bermuatan politis, tetap lebih sulit menjadi pelaksana (eksekutor) dari sebuah produk hukum yang kental muatan politiknya. Dan itulah yang dijalankan KPU saat menyelenggarakan Pemilu.
Tapi itu resiko yang harus dihadapi KPU. Meski mendapat tekanan dari elit politik sana-sini dan sulit melaksanakan aturan yang kental muatan politiknya sehingga masyarakat awam acapkali memberi citra KPU sebagai lembaga yang esok dele sore tempe, namun para komisioner KPU niscaya akan senantiasa ikhlas menerima segala bentuk cercaan demi menjalankan tugas. Ya, sebab menyelenggarakan Pemilu adalah tugas luhur dan mulia dengan sejumput harapan mampu memunculkan wakil rakyat dan pemimpin yang merupakan cerminan suara rakyat sehingga tatanan kenegaraan yang terwujud benar-benar implementasi dari ruh Daulat Rakyat.
Jika meleset , dalam arti suara rakyat bisa dibeli dengan uang atau para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih nanti membelokkan amanah dari konstituen, maka hajat Pemilu tak lebih sebagai –mengutip kalimat lain dari sajak GM di atas– bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan berisik”. Pemilu hanya menyisakan suara gemuruh dari sebuah pesta yang mengatasnamakan demokrasi. Dan itu sama artinya dengan kemubaziran. Semoga bangsa kita dijauhkan dari kemubaziran penyelengaraan Pemilu. Sebab, ongkos Pemilu di negeri ini teramat mahal. Bukan hanya dari hitungan rupiah, tapi yang dipertaruhkan adalah harapan duaratus juta lebih rakyat Indonesia.
Rabu, 14 Januari 2009
OPINI
Oleh Marwanto
("Radar Jogja", 13/01/2009)
Melegakan! Inilah yang dirasakan sejumlah pihak atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal tersebut intinya mengatur penetapan calon terpilih dengan menggunakan minimal 30% perolehan suara dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dan jika tidak ada calon yang memperoleh 30% dari BPP atau calon yang memperoleh 30% dari BPP lebih dari satu maka penentuannya berdasarkan nomor urut.
Dengan putusan MK tersebut, maka pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 otomatis tidak berlaku lagi. Semua pihak, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan partai politik (Parpol), sudah semestinya menghormati putusan MK tersebut. Di pihak KPU, menghormati putusan tersebut bisa diartikan dengan segera membuat peraturan tentang penetapan calon terpilih yang mendasarkan pada perolehan suara terbanyak. Di pihak Parpol, menghormati bisa diartikan dengan mengkondisikan internal parpol agar putusan MK tersebut tidak mempertajam persaingan antar caleg sehingga eskalasi konflik internal dapat dikendalikan.
Selain melegakan dan harus dihormati, diakui putusan MK tersebut juga menggembirakan paling tidak bagi tiga elemen yang terlibat langsung dalam Pemilu. Pertama, para caleg (terutama caleg yang berada di nomor bawah). Mereka merasa diuntungkan sebab pasca putusan MK, kini nomor urut tak lagi penting dan menentukan (apalagi “sakral”), seperti Pemilu 2004.
Kedua, KPU. Meski posisi KPU dalam pelaksanaan Pemilu “hanya” sebagai eksekutor undang-undang, tapi bagaimanapun eksistensi pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 cukup memberi beban pada kerja KPU. Hal ini disebabkan desakan dan keinginan sejumlah parpol (dan caleg) untuk menggunakan suara terbanyak sebagai landasan penetapan caleg terpilih sangat kuat.
Ketiga, rakyat (pemilih). Setelah adanya putusan MK, kini suara rakyat tak lagi dipasung oleh aturan undang-undang. Siapapun caleg yang dikehendaki rakyat (baca: memperoleh suara terbanyak), maka ia yang nantinya berhak menjadi wakilnya di lembaga legislatif.
Disamping melegakan dan menggembirakan, putusan MK tersebut juga dipandang memiliki sejumlah nilai plus. Sebab dengan acuan perolehan suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih, berarti makna demokrasi dikembalikan pada hakekat asalnya (yakni suara rakyat). Selain mengambalikan praktik demokrasi sesuai dengan hakekat asalnya, sejumlah nilai plus dari penetapan calon terpilih dengan menggunakan suara terbanyak dalam konteks Pemilu di Negara kita adalah :
Pertama, tak ada lagi kontradiksi antara sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam Pemilu kita dengan penentuan calon terpilih. Pada dasarnya, sistem proporsional terbuka memberi ruang bagi kemenangan suara rakyat, daripada kemenangan suara (pengurus) Parpol dalam menentukan caleg terpilih. Substansi pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 adalah memberi peluang lebih bagi kemenangan (pengurus) Parpol untuk menentukan caleg terpilih dengan menentukan nomor urut caleg-nya sehingga ada kontradiksi dengan sistem proporsional terbuka. Dengan dibatalkannya pasal tersebut, kontradiksi kini tak ada lagi.
Kedua, para caleg akan bekerja lebih keras dalam rangka mengumpulkan perolehan suara sebanyak-banyaknya. Mereka akan sangat rajin dan intens turun ke bawah guna meraup dukungan. Hal ini bisa berdampak pada berkurangnya angka golput. Sebab semua segmen yang ada dalam masyarakat diperkirakan tak ada yang luput dari sasaran (kampanye) para caleg.
Ketiga, dengan para caleg yang sering turun ke bawah, diharapkan mereka akan lebih familiar dengan kondisi yang sebenarnya (riil) di masyarakat, untuk kemudian diperjuangkan dalam gedung dewan. Jarak caleg dengan rakyat pun akan menjadi dekat. Bahkan dari kondisi atau momentum seperti ini, tidak mustahil untuk mulai dibangunnya sebuah kontrak politik antara caleg dengan rakyat.
Keempat, meminimalisir konflik yang mungkin terjadi saat penetapan caleg terpilih. Jika pasal 214 UU No. 10 tahun 2008 diberlakukan, diprediksi oleh banyak pengamat bahwa tahapan penetapan calon terpilih akan menjadi salah satu tahapan krusial Pemilu 2009. Sejumlah Parpol (yang pro suara terbanyak) telah menyiapkan strategi guna “mengakali” pasal 214 dengan membuat perjanjian internal yang intinya para caleg yang perolehan suaranya lebih kecil dari caleg nomor dibawahnya bersedia mundur agar yang terpilih adalah mereka yang perolehan suaranya terbanyak. Pada praktiknya, menyimak kasus Pemilu 2004, hal ini tidak mudah dilakukan dan justru menimbulkan konflik (terbuka) di internal Parpol. Dengan dibatalkannya pasal 214, praktis konflik itu tak bakal terjadi.
Tentu sebuah keputusan tidak hanya mengandung nilai plus, tapi juga ada sisi negatifnya (minus). Sejumlah sisi negatif dari penentuan calon berdasar suara terbanyak diantaranya adalah:
Pertama, karir seorang politikus di Parpol kurang dihargai. Seorang yang telah berpuluh-puluh tahun berkiprah di (dan bahkan menjadi bagian yang turut membesarkan) sebuah Parpol sangat mungkin dikalahkan oleh mereka yang baru “kemarin sore” masuk partai, yang karena ketenaran (popularitas) dan dikenal baik di masyarakat, maka ia yang akhirnya terpilih atau meraih perolehan suara terbanyak dibanding seniornya.
Kedua, dalam alam yang serba pragmatis (dimana politik telah menjadi industri) sangat mungkin terjadi para caleg yang terpilih adalah mereka yang “hanya” bermodalkan uang banyak. Kalau ini yang terjadi, tentu para anggota dewan yang terpilih nanti pertama-tama akan berpikir bagaimana caranya mengembalikan modal yang dipakai saat maju sebagai caleg.
Ketiga, beralihnya konflik internal partai dari tahapan penetapan calon terpilih ke tahapan kampanye (perebutan dukungan). Seperti disebutkan di atas, dengan dibatalkannya pasal 214 UU No. 10 tahun 2008, tahapan penetapan calon tak lagi krusial menimbulkan konflik intern Parpol. Namun begitu bukan berarti konflik internal Parpol akan reda, sebab dengan suara terbanyak sebagai dasar penentuan calon terpilih, maka diprediksi konflik internal parpol akan bergeser ke saat-saat kampanye (atau perebutan dukungan). Blok dukungan tak lagi antar Parpol, namun antar pendukung caleg, yang membuat jarak konflik kian dekat sehingga sumbu yang pendek itu mudah tersulut.
Bagaimanapun MK telah memutuskan suara terbanyak sebagai dasar penetapan calon terpilih. Tentu ada pihak yang diuntungkan, tapi juga ada yang kurang puas. Masyakarat Indonesia, yang telah berulangkali menjalani Pemilu, diharapkan bisa belajar pada setiap perubahan sistem Pemilu. Ditengah kejemuan rakyat menyongsong Pemilu, hemat saya, putusan MK tersebut bisa menggugah agar semua elemen bangsa antusias menyambut datangnya Pemilu. Semoga nantinya yang bakal terjadi adalah antusiasme yang produktif, yakni mengantarkan rakyat menjadi pemilih yang cerdas. Sebab kini dibuka ruang yang lebar bagi suara rakyat untuk menentukan wakilnya yang akan terpilih duduk di gedung dewan yang terhormat.***
STOP PRESS !!!
Disayangkan Kegiatan Pentas Teater Dikurangi
(Kedaulatan Rakyat, 16/12/2008)
TAHUN 2008, aktivitas berteater di Kulonprogo cukup marak. Tercatat enam pentas teater digelar oleh sejumlah komunitas di Kulonprogo bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) kabupaten setempat. Pertunjukan diawali tampilnya Sangsisaku dengan lakon Chairil Ketemu Kartini (5 April), kemudian disusul komunitas Lumbung Aksara yang mementaskan Bendera (3 Mei), TKP dengan The Kancil (7 Juni), komunitas Trotoar mengusung Panji Koming (5 Juli), komunitas Padhang mBulan menggelar Dua Lolo Wing (7 November) dan ditutup Wayang Disco (8 November) persembahan TKP. Namun maraknya pentas teater di Kulonprogo agaknya tak akan ditemui tahun depan. Konon, Disbudpar Kulonprogo akan mengurangi volume kerja sama menyelenggarakan pertunjukan teater dengan komunitas teater di Kulonprogo menjadi hanya dua kali setahun. Ketika diklarifikasi hal tersebut, koordinator komunitas Lumbung Aksara (LA) Marwanto membenarkan. “Saya pernah dengar sendiri dari orang Disbudpar tentang pengurangan menjadi dua kali setahun. Dan kalau hal ini benar, tentu sangat disayangkan. Menurut saya, iklim berteater di Kulonprogo yang sedang bersemi jangan dibiarkan layu sebelum berkembang,” kata Marwanto, Senin (15/12). Menurut Marwanto, alasan pengurangan karena pelaku seni lainnya (diluar teater) merasa cemburu sejatinya kurang tepat. Sebab selama ini anggaran untuk komunitas teater dan sastra sangat kecil dibanding anggaran untuk menghidupi kegiatan seni (tradisional) lainnya. Ia menambahkan, yang mesti terus dilakukan adalah dialog antara pelaku seni dengan Pemda (dalam hal ini Disbudpar) agar tercipta kedekatan persepsi penyelenggaraan pertunjukan teater. “Lewat dialog ini diharapkan kerja sama pertunjukan teater antara pemerintah dengan pelaku seni tak sekadar ngesahke proyek,” kata Marwanto. (Cdr)-k
Rabu, 26 November 2008
Esai
oleh Marwanto
(Kompas (halaman Yogyakarta), 26/11/2008)
Kota adalah lanskap dimana setiap anasir di dalamnya selalu bergerak, dinamis, dan penuh mobilitas. Orang-orang yang berjalan kaki selalu terlihat lebih cepat dari yang kita temui di jalan-jalan pedesaan. Kalaupun ada pejalan kaki yang terlihat lamban di jalan-jalan kota, mereka pasti seorang pengemis atau pemulung yang menjadi korban ritme hidup perkotaan. Atau dua sejoli yang kasmaran dan sedang melupakan hiruk-pikuk keramaian sekitar.
Namun kota juga bisa hadir (dan kita pandang) sebagai bentangan ribuan etalase Yang membuat kita diam, tertegun, dan bengong. Kota mendorong kita untuk berkhayal. Kota adalah gudang ilusi, seperti setting sebagian besar sinetron televisi kita. Meskipun kota sebagai sesuatu yang dicitakan, ia masih membuat kita --masyarakat kebanyakan-- tertegun dan bengong.
Sehingga tak berlebihan jika para pemikir melihat kota adalah konsekuensi fisik dan sosial sekaligus dari kapitalisme. Kapitalisme, dengan industrialisasi sebagai “mesinnya”, secara psikologis memang menghadirkan khayal. Tidak saja gedung-gedung pencakar langit, tower yang menjulang, serta jalan tol mulus, tapi juga papan reklame dan ribuan etalase yang mendorong manusia menciptakan khayal. Lalu, reaksi yang bagaimana yang jamak ditempuh manusia dalam kondisi demikian ?
Ketika orang kampung dari pedalaman Gunung Kidul atau Kulon Progo jalan-jalan di Malioboro dan memandang gemerlap reklame (Dian Sastro yang mengiklankan sabun misalnya), ia sejatinya tak hanya berhenti menatap seorang Dian Sastro. Di dalam file-file otaknya lambat laun terbentuk citra tentang ide kecantikan yang sempurna, yang diidamkan. Kebetulan yang hadir saat itu adalah Dian Sastro.
Maka saat ia pulang kampung, lahirlah trend meniru apa yang dipakai dan dilakukan artis tadi. Kalaupun ia tak secantik Dian Sastro, ia cukup bangga saat menggosokkan sabun yang dipakai Dian Sastro. Itulah reaksi kebanyakan orang dalam menghadapi konsekuensi kapitalisme. Dalam ketakmampuan, orang masih bisa menghibur diri: dengan ilusinya mencipta imej atau citra dalam kesemuan (pseudo). Ironisnya, kesemuan itu acapkali dipandang sebagai realitas dan dijadikan dasar tindakan.
Meski menimbulkan ironisme, tapi kapitalisme memang tak seharusnya dilawan secara membabi-buta: dengan perusakan dan pengeboman tempat hiburan misalnya. Kapitalisme justru bisa menjadi salah satu sparing patner manusia untuk menegakkan eksistensinya. Dalam konteks ini, maka cukup masuk akal jika ada usulan bahwa untuk menunjukkan keistimewaan Yogyakarta perlu mentransfer semangat kepeloporan keraton dan keberanian rakyat Yogya dalam menentang kolonialisme masa lalu untuk menghadapi neo-kolonialisme baru: globalisasi dan ekspansi pasar atau liberalisasi, wajah lain kapitalisme.
Manakala kita gagal menjadikan kapitalisme sebagai sparing patner, kita hanya akan menjadi bagian dari ekornya. Padahal kapitalisme, dengan “kultur kota” sebagai salah satu penampakannya (menurut Nikolai Gogol dalam salah satu cerita pendeknya) adalah bohong selamanya. Sebuah “kota” adalah seribu ilusi, sekaligus dusta yang memikat.***
Jumat, 21 November 2008
OPINI
Oleh Marwanto
(Radar Jogja, 21/11/2009)
Pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) kembali dibuka. Kabar ini segera disambut antusias oleh banyak pihak di negeri ini –suatu fenomena yang menunjukkan bahwa status sebagai PNS masih menjadi obsesi sebagian besar masyarakat kita. Pertanyaannya, mengapa di era sekarang status PNS masih diminati sebagian besar masyarakat?
Pertanyaan tersebut akan menghantarkan kita pada telaah mengenai sejarah panjang birokrasi di negara ini. Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya Demokrasi dan Budaya Birokrasi, menjelaskan untuk memahami birokrasi di negara kita perlu disimak tiga fase perkembangannya. Tiga fase tersebut meliputi: masa kerajaan, masa kolonial dan masa negara nasional. Dari sini diketahui bahwa corak (kultur) birokrasi kita saat ini merupakan warisan birokrasi model kerajaan –terutama kerajaan agraris.
Pada zaman kerajaan, kedudukan birokrasi disebut dengan nama abdi dalem, sebuah istilah yang lebih berorientasi melayani raja daripada rakyat. Dalam perjalanan waktu, para abdi dalem ini menjadi kelas sosial tersendiri yang berbeda dari masyarakat kebanyakan. Apalagi, kedudukannya kemudian diperkuat dengan berbagai atribut yang diperoleh dari kerajaan, misalnya dengan diberi pangkat atau gelar..
Fase kedua, ketika penjajah datang (masa kolonial), birokrasi dikenal dengan sebutan priyayi atau ambtenaar. Sama halnya dengan abdi dalem, priyayi juga mempunyai kedudukan/satuts yang istimewa dalam masyarakat. Selain itu, para priyayi juga sering menempatkan dirinya sebagai bagian dari kekuasaan kolonial, sebagaimana para abdi dalem menganggap dirinya bagian dari kekuasaan kerajaan.
Terakhir, ketika negara nasional terbentuk, birokrasi kita dikenal dengan nama pegawai negeri. Sama seperti dua masa sebelumnya, pegawai negeri juga memiliki strata sosial yang khusus dibanding masyarakat kebanyakan. Kalau kita simak berbagai kegiatan (hajatan) yang ada di masyarakat sekitar, maka akan selalu melibatkan orang yang dianggap terpandang. Dan salah satu segmen dari orang terpandang tersebut adalah mereka yang berstatus sebagai PNS ! Jadi, meski telah ada berbagai perubahan (reformasi) di negeri ini, sama seperti abdi dalem maupun priyayi, pegawai negeri juga acapkali mengidentikan dirinya bagian dari kekuasaan (status-quo).
Menyimak sejarah birokrasi kita yang amat panjang tersebut, ada satu benang merah yang dapat ditarik: bahwa kedudukan atau status sebagai birokrat sering diidentikan dengan menjadi bagian dari sebuah kekuasaan. Dan menjadi bagian dari kekuasaan, di manapun dan kapapun (terutama pada masa sulit atau tak menentu seperti saat ini) akan membuat seseorang merasa aman atau terjamin hidupnya.
Keyakinan seperti ini terutama akan diterima dengan sangat baik (taken for granted) oleh mereka yang memiliki mentalitas agraris. Sesuatu yang nyata-nyata bertolak belakang dari mentalitas (jiwa) wiraswasta –yang meski bisa membuat orang bebas (mandiri) berusaha, tapi penuh spekulasi dan kondisi yang tak pasti. Sementara seperti kita ketahui, saat ini mayoritas masyarakat kita masih bermental agraris. Itulah mengapa setiap ada lowongan CPNS selalu disambut antusias oleh masyarakat.
Kondisi ini sebenarnya bisa kontra-produktif bagi perjalanan bangsa ke depan. Sebagaimana kita tahu, waktu-waktu mendatang bersamaan dengan diberlakukannya pasar bebas yang berdampak makin ketatnya persaingan hidup (berusaha), tentu akan menuntut hadirnya orang-orang yang berjiwa atau punya mentalitas berwiraswasta. Orang-orang yang mandiri, kreatif, tangguh, dan tahan banting. Pendek kata, generasi yang tak hanya bersandar atau menggantungkan hidupnya pada pemerintah (negara).
Tentu obsesi dan pilihan hidup menjadi seorang pegawai negeri adalah sah-sah saja. Namun satu hal yang harus dicatat: ketika obsesi menjadi pegawai negeri hanya karena dilandasi ingin hidupnya aman, tak kena PHK, meski malas kerja tetap dapat gaji, dan dekat dengan kekuasaan, maka disitulah telah tertanam benih bagi timbulnya patologi (penyakit) birokrasi. Mengapa? Sebab kinerja birokrasi akan lebih berorientasi ke atas (kekuasaan) daripada ke bawah (melayani rakyat).
Dari penelitian (untuk keperluan skripsi) yang pernah saya lakukan menunjukkan bahwa faktor yang menyebabkan munculnya patologi birokrasi, sebagian besar karena orientasi aparatur negara lebih kepada melayani atau membuat senang kekuasaan daripada memberi layanan yang memuaskan pada publik. Dengan kata lain, semboyan abdi negara lebih ditonjolkan dibanding abdi masyarakat
Semoga seleksi penerimaan CPNS kali ini mampu menghasilkan para aparatur negara yang benar-benar beriktikad memberi layanan pada publik daripada sekedar membuat senang kekuasaan. Untuk mencapai tujuan ini, maka harus dimulai dengan transparansi rekruitmen PNS !***
Selasa, 11 November 2008
OPINI
Oleh Marwanto
(Kedaulatan Rakyat, 11 /11/2008)
Tak ada lencana yang lebih menawan dalam kebudayaan nasional modern daripada monumen-monumen dan makam-makan para tentara yang tak dikenal. Sekalipun makam tersebut menyimpan peninggalan mati yang tak dikenal atau jiwa-jiwa kosong, bagaimanapun makam-makan tersebut telah dipenuhi dengan khayalan nasional yang menghantui.
Paragraf di atas merupakan pendapat Benedict Anderson yang saya kutip dari buku karya Ross Poole, Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme (1993: 119). Lewat pendapat tersebut, tentu Ben Anderson tak sedang memuja seonggok benda mati bernama monumen. Tidak pula memuja kegagahan seorang tentara. Namun satu hal pasti: bagaimanapun epos kepahlawanan telah menjadi salah satu “ruh” dalam episode sejarah sebuah bangsa. Pembicaraan sejarah suatu bangsa tak akan lengkap tanpa membicarakan para pahlawan. Pada akhirnya, sosok pahlawan telah dan selalu menghantui perjalanan sebuah bangsa.
Maka, tak mengherankan jika dalam tiap periode sejarah dari sebuah negara-bangsa, banyak orang ingin tampil sebagai pahlawan. Tentu, seiring dengan perubahan jaman, maka makna dan sosok pahlawan akan selalu mengalami perubahan. Dulu, orang yang disebut pahlawan adalah mereka yang berjasa dalam pertempuran mengusir penjajah atau menghantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan. Lalu, di jaman sekarang ini, siapakah yang pantas disebut pahlawan ?
Tak mudah menjawabnya. Tapi yang pasti, dari dulu hingga sekarang, seorang pahlawan itu berangkat dari nilai. Pahlawan berjuang dan berkorban untuk menegakkan nilai. Nilai apakah yang ingin ditegakkan oleh seorang pahlawan ? Dari orang-orang bijak kita tahu jawabnya adalah nilai keadilan. Perjuangan dan pengorbaan pahlawan berujung pada terciptanya keadilan bagi umat manusia di muka bumi. Atas dasar titik pijak inilah, maka para pahlawan kita di jaman revolusi memperjuangkan kemerdekaan karena --seperti disebutkan dalam preambule konstitusi kita-- penjajahan itu tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Jika kita selidiki lebih jauh, sejatinya keadilan sebagai sebuah nilai merupakan muara dari tiga nilai yang dalam kajian moralitas sering disebut sebagai “ide agung”. Prof Mortimer Jerome Adler dalam karyanya yang telah menjadi klasik The Great Ideas: A Syntopicon of Great Book of The Western World, 1952) menguraikan penyelidikannya tentang “ide agung” tersebut. Menurutnya, setidaknya ada tiga ide agung yang menyangga perdaban manusia, yakni: kebenaran, kebaikan dan keindahan. Nah, dengan tergelarnya tiga ide agung tersebut dalam praktik kehidupan sehari-hari maka dapat dipastikan keadilan juga telah maujud dalam kehidupan.
Dari kajian pustaka di atas, maka jika seseorang telah berjuang untuk menegak-kan kebenaran, kabaikan, dan keindahan demi terwujudnya keadilan di muka bumi maka ia sudah bisa disebut sebagai sosok pahlawan. Namun dalam aplikasinya ternyata amat sulit untuk melihat atau menemukan sosok penegak keadilan. Hal ini karena dalam menegakkan keadilan selalu disertai sebuah pertanyaan: keadilan untuk siapa ? Terlebih ketika rasa kebangsaan kita mulai pudar, maka perjuangan untuk menegakkan nilai menjadi amat partikular sifatnya. Dengan kata lain, menegakkan nilai untuk kepentingan bersama sebagai bangsa menjadi sesuatu yang amat mahal dan jarang (untuk tidak menyebut mustahil) untuk diperjuangkan.
Sebagai contoh kecil, seorang yang ingin memberantas kasus korupsi, tapi kebetulan pelakunya itu ada hubungan (entah kerabat atau kolega) dengan yang hendak memberantas maka tentu akan berpikir dua kali. Alih-alih menegakkan keadilan dengan memberantas korupsi, yang terjadi malah berusaha dengan segala cara (baik secara legal maupun kekuatan politik) untuk menghalang-halngi tindak pidana korupsi tersebut.
Alhasil, yang kemudian terjadi adalah munculnya pahlawan-pahlawan bagi suatu kelompok. Padahal, selain berangkat untuk menegakkan nilai, konsep kepahlawanan juga berangkat dari rasa senasib-sepenanggungan. Perjuangan dan pengorbanan tanpa dilandasi rasa senasib-sepenanggungan hanya akan melahirkan heroisme semu. Heroisme semu inilah yang kini sedang melanda kehidupan di tanah air.
Apalagi ketika salah satu buah dari reformasi politik di negeri kita meng-amanatkan jabatan publik dipilih secara langsung oleh rakyat, maka upaya untuk tampil dengan haroisme semu kian menjadi-jadi. Dalam konteks ini, heroisme cuma disepadankan dengan satu kata: popularitas ! Lihatlah, dari pemilihan presiden sampai kepala desa, maka faktor pertama-tama untuk mendulang suara adalah popularitas. Tentu tidak ada salahnya dengan faktor popularitas, namun yang amat disayangkan adalah popularitas itu acapkali sekedar citra (atau ‘tebar pesona”) yang dibuat lewat media massa dan kurang berhubungan dengan kualitas, terlebih kinerja dari seseorang.
Dari realita itulah maka kini sosok pahlawan telah mengalami pendangkalan makna. Sudah pasti pendangkalan makna kepahlawanan ini menerbitkan sejumlah dampak negatif. Salah satunya adalah sulitnya bangsa ini melakukan perubahan. Ya, karena masing-masing orang hanya mau jadi pahlawan buat kelompoknya atau memikirkan hal-hal yang membuat dirinya supaya tetap populer meski kinerjanya payah.
Di jaman yang serba sulit dimana kohesi sosial kita sebagai bangsa belum sepenuhnya pulih, memang sulit memunculkan sosok pahlawan “sejati”. Pahlawan yang berjuang dan berkorban untuk menegakkan nilai dengan dilandasi rasa senasib-sepenanggungan dan buat kepentingan bersama. Tapi, diantara ribuan orang yang tampil sebagai pahlawan (semu), niscaya suatu saat akan muncul sosok pahlawan sejati. Cuma, pertanyaan yang selalu mengusik kita, kapan ia akan muncul memperbaiki kondisi bangsa kita?***