Senin, 04 Juni 2007

ESAI, RESENSI, CERPEN

Kewajiban Sebuah Upacara
Oleh MARWANTO


Awal bulan Agustus ini, anak saya yang duduk di kelas tiga SD minta dibelikan sepatu warna hitam untuk mengikuti upacara 17 Agustusan. Katanya, ia malu mengikuti upacara 17 Agustusan dengan sepatu yang telah usang. "Ayo dong Pa, sebagai warga negara kita kan wajib mengikuti upacara peringatan kemerdekaan."
Kata-kata anak saya itu mengingatkan saya ketika dulu mengikuti mata kuliah "Logika Terapan". Waktu itu, kalau tidak salah bulan Agustus 1991, saya mengajukan pertanyaan serupa pada dosen pengampu: "Apakah mengikuti upacara 17 Agustus hukumnya wajib bagi semua warga negara?" Sejenak dosen saya tadi berkerut keningnya, mendapati pertanyaan sederhana tapi mungkin baginya harus hati-hati dalam menjawab.
Dan, benar apa yang saya perkirakan, komentar beliau pertama kali adalah begini: "Sebuah pertanyaan bagus. Upacara peringatan kemerdekaan 17 Agustus, bagi bangsa kita, telah bertahun-tahun menjadi ritual yang seakan wajib dijalankan oleh setiap warga negara di berbagai instansi. Tapi, kita lupa mengkritisi substansi dan makna dari momentum upacara 17 Agustus itu sendiri. Alhasil, ritual itu selama bertahun-tahun hanya menjadi tradisi yang hambar."
Lalu, dengan perspektif filosofi beliau memulai jawabannya dengan mengurai kata "upacara". Menurutnya, kata "upacara" (beliau menuliskan "upa-cara") merupakan rangkaian laku terakhir dari dua laku sebelumnya, yakni "tata-cara" dan "cara-kerja". Ketiga kata tersebut, "tata-cara", "cara-kerja", dan "upa-cara", merupakan laku atau kegiatan yang harus urut berkesinambungan dan saling mensyaratkan. "Tata-cara" menjadi landasan "cara-kerja", sedangkan "cara-kerja" adalah syarat keabsahan "upa-cara". Dengan kata lain, "cara-kerja" hanya bisa dilakukan setelah sebelumnya disusun "tata-cara" yang benar, sementara "upa-cara" hanya sah jika "cara-kerja" dilakukan sesuai "tata-cara" yang telah ditetapkan.
Waktu itu kami, para mahasiswa, rata-rata masih belum jelas benar memahami konsep "upacara" dari dosen pengampu dalam konteks upacara peringatan 17 Agustus. Saya pun bertanya: "Maksudnya apa Pak, konteksnya dengan pertanyaan saya?" Beliau pun menjawab: "Saya memang baru masuk tataran konsep, dan akan saya lanjutkan dengan membuka konteks." Beliau tersenyum, sepertinya memahami betul semangat muda kami yang bergelora dan tergesa-gesa. Lalu beliau melanjutkan uraiannya.
Dalam konteks perjuangan kemerdekaan kita, "tata-cara" adalah perumusan strategi dan nilai-nilai filosofi yang dilakukan oleh para founding-father tentang konsep negara-bangsa yang hendak mereka wujudkan. Sementara "cara-kerja" merupakan jabaran terperinci dan operasional tentang rumusan strategi dan nilai filosofi tersebut, yang pada akhirnya menjadi acuan mereka berjuang dan bertindak untuk memperebutkan kemerdekaan bangsa. Akhirnya, "upa-cara" adalah momentum akhir sekaligus awal bagi perjalanan bangsa kita.
Kali ini, tanpa menunggu pertanyaan dari para mahasiswa, dosen saya tadi langsung cepat- cepat menjelaskan maksud dari kata "akhir sekaligus awal bagi perjalanan bangsa kita". Menurutnya, sebagai akhir perjalanan bangsa, upacara pada tanggal 17 Agustus 1945 menandai telah selesainya laku "tata-cara" dan "cara-kerja" secara benar berurutan-berkesinambungan.
Dengan kata lain, upacara 17 Agustus 1945 adalah ritual yang merupakan cerminan dari alinea kedua pembukaan UUD 1945, "Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur".
Logika dan moral
Namun, upacara 17 Agustus 1945 juga bisa dipandang sebagai titik awal. Hal ini didasarkan dari arti perkataan "upa-cara" sebagai "ambang cara" atau "persiapan kerja". Upacara 17 Agustus 1945 merupakan momentum awal bagi bangsa kita untuk merancang "tata-cara" dan "cara- kerja" berikutnya dalam rangka mengisi kemerdekaan. Di sinilah maksudnya bahwa upacara pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik akhir sekaligus awal bagi perjalanan bangsa Indonesia. Titik akhir dilihat dari perspektif pada pejuang dan founding-father, dan titik awal bagi generasi penerus.
"Lalu, upacara peringatan 17 Agustus setiap tahunnya itu untuk apa?" celetuk seorang teman sepertinya tak sabar. Dosen saya pun menjawab bahwa upacara 17 Agustus tiap tahunnya bisa menjadi semacam momentum refleksi tahunan bagi bangsa kita, apakah mereka telah menentukan "tata-cara" dan melakukan "cara-kerja" dengan benar selama setahun itu.
Kalau memang "tata-cara" dan "cara-kerja" itu telah dilakukan secara benar oleh penyelenggara negara dan kemanfaatannya dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, berarti upacara 17 Agustus telah menemukan substansi dan maknanya. Jadi, ia menjadi penting dan wajib diikuti oleh seluruh warga negara.
Namun, sebaliknya, kalau "tata-cara" dan "cara-kerja" tadi ternyata melenceng atau dibuat main-main oleh para penyelenggara negara sehingga rakyat tidak memetik kemanfaatan sedikit pun, maka upacara 17 Agustus tiap tahun itu menjadi "batal dari sudut pandang logika dan moral". Dari segi logika batal karena ketiga laku tersebut menjadi tidak urut-berkesinambungan dan saling mensyaratkan. Dari segi moral batal karena ketiga laku tersebut tidak membawa dampak yang positif (kemakmuran) bagi rakyat.
"Jadi, apakah mengikuti upacara 17 Agustus hukumnya wajib bagi semua warga negara?" Kali ini saya hanya bertanya dalam hati. Sebab, meski agak samar, saya telah bisa menyimpulkan sendiri jawabannya berdasar argumentasi dosen mata kuliah "Logika Terapan" tersebut.
Namun, saya tentu tidak akan memberi jawaban seperti itu pada anak saya. Biarlah, seiring bertambahnya usia, ilmu, dan kedewasaan, lambat laun ia akan mengerti makna dan substansi dari upacara 17 Agustus. Pada akhirnya ia bisa menyimpulkan apakah mengikuti upacara peringatan kemerdekaan itu hukumnya wajib atau tidak.
MARWANTO
Warga Negara Indonesia, Tinggal di Kulonprogo, Yogyakarta
Sumber: Harian KOMPAS, 12 Agustus 2006

Prestasi Tanpa Demokrasi?
Oleh MARWANTO

Bagi teman saya yang politikus, anggota DPRD kabupaten, Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang lebih menarik daripada Piala Dunia 2006 di Jerman. Mengapa?
Bukan karena di Piala Dunia 2002 Brasil menjadi juara. Bukan pula lantaran Piala Dunia 2002 menyuguhkan banyak pertandingan yang dramatis dengan tumbangnya tim-tim besar (Perancis dan Argentina) di babak penyisihan. Namun, itu lebih karena Piala Dunia 2002 memiliki banyak hal yang ternyata dapat menjadi pelajaran dalam berdemokrasi.
Kasus itu terjadi pada dua negara yang punya latar belakang hampir sama, yakni Senegal dan Arab Saudi. "Mengapa Senegal dan Arab Saudi yang sama-sama negara Dunia Ketiga dalam sepak bola, juga berpenduduk Muslim, mengalami nasib berbeda. Senegal mampu menekuk dan membuat malu Perancis (1-0), sedangkan Arab Saudi dipecundangi Jerman (0-8)?" tanya teman saya tadi.
"Karena doa rakyat Senegal lebih makbul daripada Arab Saudi?" jawab saya seenaknya.
"Ini urusan yang logis, jangan campur dengan hal yang mistis," tukas teman saya lagi. "Itu namanya menodong Tuhan," tambahnya. Dia pun menyodorkan argumentasi: "Alasan sesungguhnya adalah demokrasi!" Biarpun agak unik relasinya, kami pun terlibat dialog hangat tentang hal tersebut: sepak bola, Islam, dan demokrasi.
Senegal dan Arab Saudi memang sama-sama negara berpenduduk Muslim. Namun, Senegal—negara di Afrika bagian barat yang tergolong kecil (berpenduduk sekitar 10 juta orang) dan tergolong "miskin" (daya beli per kapita cuma 1.600 dollar AS, dibanding kita 2.900 dollar AS) ini—menurut Leonardo A Villalon (ahli ilmu politik dari Universitas Kansas, Amerika Serikat) adalah negara Muslim yang paling demokratis di dunia.
Tasawuf dan demokrasi
Meski berbeda pendapat dari Freedom House (lembaga independen yang mendorong kebebasan dan demokrasi) yang lebih memilih Mali sebagai negara Muslim paling demokratis, tapi Villalon punya alasan kuat mengapa memilih Senegal.
Menurut dia, sejak merdeka pada 1960, Senegal telah menggelar pemilu secara rutin. Walau selama 40 tahun partai yang berkuasa sama (setelah pemilu tahun 2000, partai yang berkuasa adalah oposisi), Senegal punya sejarah politik yang khusus, yang mendukung sistem politik toleran dan pluralis.
Mengapa Senegal bisa demokratis? Penelitian menunjukkan, ada dua sisi yang kelihatannya bertolak belakang, namun justru menjadikan kekuatan sinergis dalam membentuk demokrasi.
Sisi pertama, Senegal memiliki warisan politik jajahan Perancis yang sekuler. Di sisi lain, hampir semua Muslim di Senegal menganut ajaran tasawuf (Tijaniyah dan Qodariyah).
Menurut Villalon, ajaran tasawuf ini merupakan elemen penting dalam kehidupan demokrasi. Pendapat Villalon tersebut kiranya dapat kita pahami, sebab berbeda dengan Islam formal yang menuntut simbol-simbol (partai Islam, negara Islam), Islam tasawuf lebih mementingkan aspek isoterisme (kebersihan hati).
Sementara itu, Arab Saudi adalah negara berbentuk monarki yang dibangun oleh Dinasti Saud sejak awal abad ke-20 dan telah bertahun-tahun menjadi boneka Amerika. Kebalikan dengan Senegal, Arab adalah negara otoriter dengan intervensi cukup dalam pada urusan privat atau publik. Hal ini bisa terjadi karena keuangan negara tidak bergantung pada rakyat.
Arab adalah negara yang tidak menarik pajak dari rakyat. Arab menjadi semacam negara rente (rentier state), negara yang pendapatannya diperoleh dari minyak bumi, bukan dari sektor swasta (pajak).
Lebih dari itu, negara punya kemampuan untuk menyubsidi rakyat dari hasil minyak. Konsekuensinya, kekuatan demokrasi sulit tumbuh karena tak ada alasan bagi rakyat untuk menuntut partisipasi politik.
Jadi, mengapa Senegal lebih unggul dari Arab Saudi? Karena kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang demokratis di Senegal memengaruhi kehidupan olahraganya, sepakbolanya. Senegal mampu "mendemokrasikan" (menerapkan kaidah-kaidah demokrasi dalam) olahraga.
Kaidah-kaidah demokrasi itu (meminjam Kuntowijoyo: 1997:91), antara lain: ta’aruf (saling kenal), syura (musyawarah), ta’awun (kerja sama), mashlahah (menguntungkan), adil, dan taghyir (perubahan).
Saling kenal, musyawarah, dan kerja sama adalah tiga hal mendasar dalam olahraga. Terutama dalam sepak bola, tiga hal itu tak saja membuat permainan rancak, tapi juga kelihatan hidup dan enak ditonton. Tak pelak lagi, tiga hal itu akan berdampak pada keadilan (partisipasi tiap pemain) dan perubahan (memetik poin).
Sportif dan "fair"
Akan tetapi, hemat saya, masih ada dua hal lagi yang perlu ditambahkan dalam kaidah demokrasi (juga permainan/olahraga), yakni sportivitas dan fairness. Enam tahun lalu, saat Partai Buruh di Australia kalah tipis dari Partai Liberal (46:54), Paul Keating dengan sportif menerima kekalahannya.
Ia tak menyalahkan lawannya maupun media massa karena ia tak lupa bahwa kekalahan adalah bagian dari demokrasi. (Bandingkan dengan "partai gurem" di negeri kita yang meskipun tak menempatkan satu wakil pun di legislatif, masih sulit menerima kekalahan).
Konon, dalam olahraga kalah-menang bukan yang utama, tapi menumbuhkan jiwa yang sportif dengan menyuguhkan sebuah permainan menarik serta fairplay adalah lebih substansial. Buktinya, setelah para pemain bola selesai bertanding, mereka segera bertukaran kostum/kaus.
Dari renungan di atas, bisa disimpulkan ada korelasi yang positif antara demokrasi dan olahraga. Atas dasar ini mungkin sesekali perlu dicoba untuk membuat tema Hari Olahraga Nasional yang bersinggungan dengan demokrasi. Misalnya, "Dengan sportivitas kita sehatkan demokrasi Indonesia" atau "Sepak bola berprestasi tanpa demokrasi? Enggak mungkiiinnn...!"
Marwanto Departemen Seni Budaya dan Olahraga PW GP Ansor Yogyakarta
Sumber: Harian KOMPAS, 7 Oktober 2006

Jangan Bunuh Desa Kami
Oleh MARWANTO

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari definisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian, penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh. Namun, apakah selama ini kebijakan pemerintah telah memberi imbas pada penguatan desa?
Buku ini menjawab dengan sebuah riset. Karena berangkat dari sebuah penelitian, wajar kalau isi buku ini menjadi sangat mendalam, lengkap, dan kritis. Sebuah buku yang idealnya harus dimiliki tidak saja para praktisi (LSM) yang bergerak di bidang community development, tetapi juga para pengambil kebijakan baik di instansi pemerintah daerah maupun pusat. Dengan melakukan penelitian di desa-desa yang ada di tujuh kabupaten di Indonesia, yaitu Solok (Sumatera Barat), Gunung Kidul (DIY), Sumenep (Jawa Timur), Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur), Konawe (Sulawesi Tenggara), Lombok Timur (Nusa Tenggara Barat), dan Sumba Timur (Nusa Tenggara Timur), buku ini menyimpulkan bahwa yang terjadi selama ini adalah "pembangunan di desa" dan bukan "pembangunan untuk desa".
Memang, hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan sosial, membangun ketahanan sosial desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya, sederet tujuan tersebut mandek di atas kertas. Jika kita tengok ke belakang, sejak tahun 1982 memang telah diperkenalkan perencanaan pembangunan dari bawah (bottom-up planning), dengan alur yang dimulai dari Musbangdes di desa sampai Rakorbang di kabupaten untuk dibawa ke pusat (Jakarta). Secara teoretis, konsep ini mengandung prinsip desentralisasi dan demokrasi lokal yang berarti juga penguatan desa. Namun, dalam praktik di lapangan ternyata menunjukkan bias dan kontradiksi.
Di tingkat Musbangdes, proses dan isi perencanaan pembangunan masih bersifat elitis dan dalam kendali kepala desa. Bisa terjadi di antaranya karena peserta yang ikut dalam Musbangdes telah "disaring" oleh birokrasi desa. Warga desa yang cenderung vokal dan punya pandangan berseberangan dengan birokrasi desa biasanya tidak diundang. Padahal, kepala desa beserta birokrasinya biasanya (dan hampir pasti) lebih mengedepankan program pembangunan fisik yang belum tentu menjadi kebutuhan riil warganya. Mengapa mengedepankan pembangunan fisik? Karena selain bidang ini mendatangkan "proyek" yang menguntungkan elite desa, juga merupakan kesempatan yang baik untuk memobilisasi swadaya masyarakat serta menjadi indikator artifisial kepemimpinan kepala desa.
Hal tersebut menunjukkan bahwa mekanisme perencanaan dari bawah tak lebih sebagai mata rantai birokrasi. Sebab, sejatinya desa masih sangat bergantung pada kabupaten. Di mana, blue print perencanaan pembangunan tahunan maupun lima tahunan telah dirancang oleh institusi bernama Bapeda, yang kemudian disosialisasikan lewat perangkat desa. Dan, kalau dirunut lebih jauh lagi, pemerintah pusat melalui departemen-departemen dan Bapenas yang didukung oleh lembaga keuangan internasional (seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia) telah membuat blue print terpusat untuk diterapkan di daerah-daerah.
Sebagian kalangan melihat bahwa kegagalan penguatan desa lebih pada tataran pelaksanaan di lapangan dan bukan model perencanaan. Namun, dari penelitian buku ini dapat disimpulkan bahwa kegagalan itu disebabkan oleh: pertama, kekeliruan paradigma tentang desa. Selama ini pemerintah tidak membawa paradigma yang membuat desa menjadi otonom dan demokratis. Sebaliknya, paradigma yang diterapkan adalah korporatisasi politik dalam rangka menciptakan stabilitas politik desa serta memperkuat kontrol birokrasi terhadap desa. Salah satu imbasnya, begitu mudah tercipta ruang bagi penetrasi modal ke desa.
Pelaksanaan program Gerbang Dayaku di Kutai Kartanegara (Kukar) bisa menjadi contoh yang tepat atas kesalahan paradigma ini. Program yang amat terkenal karena besarnya alokasi dana (setiap desa 1 miliar) tersebut awalnya didesain untuk tiga hal: ekonomi kerakyatan, pengembangan sumber daya manusia, dan pembangunan infrastruktur. Namun, pelaksanaan di lapangan ternyata ditangani sekretariat Gerbang Dayaku tingkat kabupaten dengan melibatkan kontraktor yang sebagian merupakan anggota eksekutif dan legislatif di lingkungan Pemkab Kukar.
Kedua, belum ada peraturan yang betul-betul berpihak pada desa. Di samping itu, peraturan tentang desa juga banyak yang tumpang tindih. Contohnya, UU No 34/2000 tentang pajak dan retribusi daerah menyebutkan sedikitnya 10 persen hasil dari pajak dan retribusi daerah dibagikan ke desa. Klausul ini tidak terdapat pada UU No 22/1999, UU No 25/1999, PP No 76/2001, UU No 32.2004, dan UU No 33/2004. Banyak Perda kabupaten/kota yang juga tidak mengacu klausul tersebut.
Ketiga, kekeliruan dalam orientasi pembangunan desa. Selama ini orientasi pembangunan desa lebih didominasi pembangunan sarana dan prasarana fisik ketimbang social sustainability. Di desa, pembangunan fisik menjadi indikator keberhasilan pembangunan. Karena itu, program pengembangan kecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoretis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananya pun lebih untuk pembangunan fisik. Bahkan, di Sumenep (Madura), karena kuatnya peran kepala desa (di sana disebut klebun) dalam mengarahkan dana PPK untuk pembangunan fisik semata, istilah PPK sering diplesetkan menjadi proyek para klebun.
Menyimak realitas di atas, memang benar bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah "pembangunan di desa" dan bukan "pembangunan untuk, dari, dan oleh desa". Desa sekadar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh aktor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut: bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat. Mereka itu, ditambah para pengonsep pembangunan desa, sejatinya adalah pihak yang bersama-sama membunuh desa.
Setelah membaca buku ini, sebagai warga yang berdomisili di desa, saya hanya bisa menjerit: "Jangan bunuh desa kami!" Sebab, seperti diungkapkan di atas, desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia. Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah keniscayaan yang diterapkan sampai ke desa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep: "membangun desa, menumbuhkan kota". Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan, tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab.
Marwanto, Aktivis Community Development, Anggota Badan Pelaksana Forum Lintas Pelaku Pembangunan (FLPP) Kabupaten Kulonprogo
Sumber: Harian KOMPAS, 12 November 2006

Nyadran dan Kearifan Budaya
Oleh Marwanto


SALAH satu aktivitas orang Jawa yang sering dilangsungkan di bulan Ruwah (Sya'ban adalah nyadran. Ritual nyadran ini sampai sekarang ternyata masih saja ada. Namun begitu, ritual yang telah dilakukan turun-temurun itu tetap saja menimbulkan dua pandangan yang bersebelahan. Ada yang memandang ritual nyadran sebagai bid'ah, sebab tak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang melihat ritual nyadran itu sebagai "syahadat" yang tidak dicapkan tapi dijalankan dalam dimensi transenden dan imanen.
Untuk mengurai masalah ini, tentu tak akan lepas dari sejarah perkembangan Islam di tanah air. Karena itu, untuk keperluan analisis lebih lanjut, paling tidak akan bersinggungan dengan tiga hal. Pertama, metode dakwah. Kedua, latar belakang budaya. Ketiga, sistem simbol. Dari ketiga hal tersebut, maka bisa dipahami, jika Islam di negeri ini cenderung berwajah kultural.

Hal yang perlu disinggung pertama adalah menyangkut metode (strategi) dakwah. Sebagaimana kita ketahui Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol keagamaan (misal bentuk bangunan peribadatan) maupun ritual keagamaan (untuk memahami nilai Islam).

Dari segi pengenalan simbol, terlihat masjid-masjid pertama yang dibangun di negeri ini bentuknya menyerupai arsitektur lokal warisan Hindu. Sebab Islam yang datang ke Indonesia lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk "membawa stupa" atau gereja-gereja Kristen yang arsitekturnya ala bangunan Barat. Sehingga, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di negara Arab, tempat lahirnya agama Islam.

Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam, beragam "ritual keagamaan" diciptakan oleh para pendakwah zaman dulu. Berbagai ritual maupun pesan keagamaan yang diciptakan oleh para pendakwah kita zaman dulu memang terlihat lebih luwes dan halus sehingga tidak terlalu mengakibatkan gegar budaya pada masyarakat kita yang heterogen. Mungkin kita masih ingat para wali, yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Para wali itu dengan mudah memasukkan nilai Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita-rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi "bingkisan" yang dibungkus budaya Jawa tapi isinya Islam.

Sebagai contoh, Sunan Kalijaga yang menciptakan kidung Jawa bernafaskan Islam: lir-ilir tandure wis sumilir. Cara dakwah seperti ini tentu akan mendapat ruang gerak yang lebih leluasa. Meminjam pendapat Mohamad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih menekankan aspek isoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan sesuatu (pesan atau nilai baru) ke dalam hati. Sehingga banyak hal dari ritus-ritus keagamaan yang diciptakan para wali itu hadir sebagai upaya penghalus rasa dan budi. Akhirnya, Islam di masa lalu lebih cenderung sufistik sifatnya.

Wujud dakwah yang dijalankan para wali seperti itu tentunya tidak lepas dari point kedua, yakni menyangkut latar belakang budaya (Jawa). Dan untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo (1991: 305) sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.

Pertanyaan pertama dan kedua akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan yang mendasarinya. Dalam positivisme, pandangan salah satu tokohnya melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas-bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.

Berbeda dengan Weber, yang dalam metodologinya menggunakan verstehen (menyatu rasa). Dari metodologi ini dapat dipahami makna subjektif dari perubahan-perubahan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal-fungsional dalam ilmu empiris-positif digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi melukiskan gejala (ideografik).

Dengan premis Weber, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi) simbol boleh berbeda.

Jadi ritual semacam nyadran itu pada level penampakannya (appearance) adalah simbol-sombol pengungkapan atas nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna "subjektif" (kata ini mesti diartikan sejauh mana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti itu ada yang menyebut sebagai "syahadat" yang tidak diungkapkan, tapi dijalankan dalam dimensi transenden dan imanen. Inilah bentuk kearifan budaya Jawa saat bersinggungan dengan masuknya nilai baru (Islam).

Hanya saja yang perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol (pengungkapan) tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berpikir, kata benda (simbol) tidak mungkin disalahkan atau dibenarkan. Jadi, yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah pernyataan yang menyertai kata benda tadi. Pendek kata, nyadran yang bagaimana? Sebab ritual tersebut, sebagai simbol (pengungkapan), dapat direkayasa oleh pernyataan yang menyertainya. Nah, kita dapat menilai (benar atau salah) dari pernyataan itu, dan bukan dari simbolnya.

Namun karena pengaruh cara berpikir Barat (baca: positivisme) kita menangkap semua itu dengan perspektif positivisme pula. Sehingga makna yang tersembul dalam ritual tadi dipahami dari kaca mata fiqih an-sich. Artinya, simbol-simbol budaya yang hanya menjelaskan gejala, sering dihakimi supaya dapat menentukan hukum halal-haram.

Dari pembicaraan mengenai simbol-simbol (untuk pengungkapan nilai) Islam yang berpotensi memunculkan bid'ah tadi, lalu muncul pertanyaan: bagaimana sebenarnya wujud budaya yang Islami?

Kalau konsep tentang budaya di awal mengacu pada perspektif "kata benda", maka untuk menjawab Islam atau tidak pada sebuah budaya, perlu perspektif "kata kerja". Dalam pengertian ini, budaya dipahami sebagai kreativitas atau rekayasa.

Dalam konteks Islami istilah "tarekat" kiranya dapat menggantikan konsep budaya sebagai "kata kerja" , yaitu ketika manusia menyambung-anyamkan antara kenyataan alam (sunatullah) dengan realitas sosial (syari'at). Atau dalam bahasa Emha Ainun Nadjib, ketika manusia "mengubah beras menjadi nasi". Nah, untuk mencapai budaya yang Islami, maka orientasi kerja "mengubah beras menjadi nasi" tadi mesti diarahkan pada kesadaran wahidy: proses perjalanan kembali pada-Nya. Itulah kreativitas (budaya) yang Islami. q - g
Marwanto SSos, Pengurus Departemen Seni dan Budaya PW GP Ansor DIY
Sumber: Harian KEDAULATAN RAKYAT, 18 September 2006

Kenaikan Gaji Elite dan Nasib Rakyat
Oleh Marwanto


Kenaikan gaji pejabat negara untuk kondisi saat ini memang tidak tepat. Namun, pernyataan bahwa "usulan kenaikan anggaran DPR guna mendukung optimalisasi fungsi dewan perlu dipahami", seperti pernah diungkapkan di media massa, baru-baru ini, semakin memperjelas bahwa memang ada niatan yang begitu besar dari anggota dewan untuk menaikkan pendapatannya.
Meski itu dengan berbagai dalih, tetap saja akal sehat kita merasa risih melihat fakta adanya kebijakan kenaikan gaji pejabat negara di tengah krisis. Hal ini juga mengingatkan kita pada kata-kata Fredrich Wilhelm Nietzsche, duaratus tahun lampau. Filsuf aliran eksistensialisme itu pernah berteriak lantang, "Demokrasi adalah pemerintahan kaum dagang semata!"
Mungkin banyak orang terkesiap mendengar ungkapan yang bernada meledek tersebut. Namun ucapan Nietzsche yang dikutip oleh Prof Fuad Hassan dalam buku Berkenalan dengan Eksistensialisme (Pustaka Jaya, 1993: 43) itu ternyata bukan omong kosong belaka. Paling tidak, ada dua alasan mengapa kita "harus menerima" ledekan dari Nietzsche di atas.
Pertama, akhir-akhir ini proses politik tak bisa lepas dari logika bisnis (dagang). Bahkan terdapat kecenderungan kian hari logika daganglah yang menjadi muara proses politik di Tanah Air. Dampak dari kecenderungan ini di antaranya adalah perilaku korupsi yang merajalela, nasib rakyat (konstituen) yang terbengkelai, dan para politikus tak lagi peka terhadap kondisi bangsa.
Kedua, semakin berhamburannya kaum dagang yang merambah ke panggung politik. Di pusat maupun di daerah, nama-nama saudagar yang terjun ke politik maupun politikus yang kemudian menekuni dunia bisnis (dagang) begitu banyak kita jumpai. Setting penghidupan mereka yang mengharuskan menggunakan nalar (logika) dagang jelas akan sangat mewarnai pemikiran dan aktivitas politik masing-masing.
Dua alasan itulah yang menyebabkan demokrasi yang berkembang dari proses politik di Tanah Air menjadi khas nalar kaum dagang. Pendek kata, ketika seorang menetapkan pilihannya terjun ke dunia politik, salah satu motifnya adalah ia ingin mengembalikan modal yang digunakan dalam berkiprah di politik.
Maka fenomena para anggota dewan yang minta pendapatannya (take home pay) dinaikkan (untuk ketua menjadi Rp 82,1 juta, wakil ketua Rp 67,7 juta, dan anggota sekitar Rp 51,8 juta), dengan tanpa memedulikan bahwa di negara kita masih banyak balita yang bergizi buruk, krisis energi kian menjadi-jadi, dan perekonomian nasional terancam bangkrut akibat nilai tukar rupiah terus melemah, adalah wujud nyata dari nalar dagang mereka.
Mengapa mereka minta imbalan (gaji) yang begitu besar? Jelas bukan semata karena kenaikan biaya hidup. Sebab, biaya hidup itu sesuatu yang debatable. Tapi, lebih karena biaya politik di negeri kita yang amat mahal. Mahalnya biaya politik di Tanah Air salah satunya disebabkan oleh faktor money politics (politik uang) yang gagal disikapi dengan tegas dan melembaga oleh semua elemen bangsa. Dua kali pemilu digelar di alam reformasi dan ratusan pilkada dilaksanakan di seluruh penjuru Tanah Air, namun politik uang selalu menjadi isu utama. Maka, tak mengherankan jika uang seakan menjadi dimensi tunggal yang menentukan proses politik di Tanah Air. Salahkan kondisi demikian?
Dunia politik adalah dunia realitas. Realitas yang terus bergerak, mengikuti perubahan yang terjadi pada umat manusia. Dan, perubahan itu kini menyeret manusia menjadi makhluk yang punya ketergantungan pada materi (uang) semata. Persis yang diramalkan Karl Marx dalam Das Kapital (terbit pertama tahun 1867): bahwa kapitalisme akan menjadi fenomena sentral kehidupan modern.
Bagi Marx, kapitalisme dapat dicermati dari bekerjanya uang, modal, dan komoditas. Uang dan modal adalah penggerak ke arah mana komoditas mesti bergerak. Tapi dalam perjalanan waktu, karena wujudnya yang fleksibel, uang menjadi faktor utama yang menentukan arah kerja kapitalisme. Alhasil, membicarakan kapitalisme adalah membicarakan uang.
Terlebih menurut analisis Herbert Marcuse (dalam bukunya One Dimensional Man) dalam masyarakat kapitalis, mau tak mau, orang menjadi berpikiran sempit alias memandang gejala dari satu dimensi saja. Pada praktik politik contohnya, money politics tidak saja telah menyita aktivitas pelaku politik tapi juga pemerhati dan masyarakat luas. Dalam hal ini, seakan uang menjadi dimensi tunggal dalam menentukan proses politik. Lobi, yang dulu dimaknai "penggunaan retorika dan persuasi untuk memengaruhi keputusan politik", sekarang tak jauh dari praktik dagang sapi yang berorientasi tunggal: keuntungan materi (uang atau jabatan).
Dalam setting kehidupan sosial seperti itu, di manakah letak fatsun dan moralitas politik? Akankah ia hanya kita dibiarkan tertulis indah di sela-sela halaman buku atau sekadar malang-melintang dalam kancah wacana kaum cerdik cendekia?
Tentu tak bisa demikian. Ketika ada statemen "politik berhak mengurusi realitas", maka sah pula jika ada statemen "moralitas berhak mewarnai realitas". Sebetulnya, mewarnai realitas (politik) dengan moralitas ini tugas dari semua orang, terutama para politikus. Namun ketika moralitas para politikus lebih digerakkan oleh kalkulasi untung rugi secara materiil, maka tak bisa dielakkan lagi para cerdik cendekia (intelektual)-lah yang seharusnya terus memberi warna moralitas pada realitas politik kita.
Tapi, bukankah itu sudah dilakukan oleh kaum intelektual kita sejak ada reformasi 1998? Benar, sejak reformasi bergulir di negeri ini, banyak sudah kaum cerdik cendekia terjun ke panggung politik. Mantan aktivis yang turut melengserkan kekuasaan Orde Baru pun kini sudah ada yang jadi anggota dewan. Namun jumlah mereka tak banyak, jadi tak kuasa mengubah sistem. Bahkan di antara mereka tak sedikit yang berhenti sebagai kaum intelektual. Mereka melepas "baju" intelektualnya dan berganti dengan "baju" kaum politikus yang bernalar dagang.
Semestinya, ketika para intelektual terjun ke politik ia tetap seorang intelektual, yang (seperti kata almarhum Kuntowijoyo), bagaikan ikan asin: hidup di laut tapi tubuhnya tak asin. Kesadaran untuk "kembali menjadi intelektual" dari para politikus (di DPR) yang mantan aktivis kampus itu semoga mampu mewarnai moralitas politik kita dari mainstream nalar dagang yang kini mendarah daging dalam kehidupan politik di Indonesia. Semoga.
Sumber: Harian SUARA KARYA, 13 September 2005

Marques, Politik, dan Kesunyian
Oleh MARWANTO

“PEMILU adalah sandiwara belaka”. Demikian keyakinan dr Noguera, tokoh rekaan Gabriel Garcia Marques dalam novelnya yang paling monumental, One Hundred Years of Solitude. Novel ini pertama kali terbit dalam bahasa Spanyol, Cien Anos de Soledad, tahun 1967. Kemudian penerbit Bentang Budaya, lewat Max Arifin, menerjemahkan menjadi Seratus Tahun Kesunyian (2003, 551 halaman). Novel yang mengantarkan Marques memperoleh hadiah Nobel Kesusastraan 1982 ini memang berlatar belakang pergolakan politik di Amerika Latin.
Tapi apakah Marques memang hendak bercerita tentang politik? Tak sedikit latar penceritaan dalam sebuah karya sastra dimaksudkan oleh penulisnya cuma sebagai wahana untuk menyampaikan pesan yang sesungguhnya. Hal ini kiranya juga terjadi pada novel karya Marques ini. Pergolakan politik cuma dijadikan sarana oleh Marques untuk menyampaikan pesan sesungguhnya: yakni kegetiran dan kesunyian manusia. Kegetiran di tengah hiruk-pikuk pergolakan politik, perang saudara dan konflik ideologi.
Kisah dalam novel ini diawali kehidupan keluarga Jose Arcadio Beundia yang menemukan sebuah daerah bernama Macondo. Macondo adalah daerah/kota imajiner yang hanya ada dalam benak pengarangnya -- beberapa pengamat menilai, Marques terinspirasi penulis Amerika William Faulkner, peraih hadiah Nobel Kesusastraan 1949, yang menciptakan kota imajinatif Yoknapatawpha Country dalam novel-novelnya. Dan sekitar seratus tiga puluh halaman pertama dalam buku ini dihabiskan oleh Marques untuk melukiskan kondisi di Macondo: dari soal jumlah dan bentuk rumah, ragam peralatan rumah tangga, aktivitas manusia yang berkaitan dengan roh halus, hubungan kekerabatan, hingga soal obsesi manusia dalam bidang penemuan mulai dari es (hlm.25) sampai mesin pendulum (hlm 107).
Sebagaimana pernah diakui Marques pada Marvis Guinerd (wartawan Scanaroma), sebenarnya inspirasi di Macondo itu berasal dari La Cassa, rumah kakeknya tempat ia dibesarkan. “Semua ada di situ, nenek dengan takayul Spanyol, pembantu dari Indian dan orang kulit hitam yang datang dari ladang, cerita tentang jin, tukang sihir, permadani terbang dan bajak laut”. Pengalaman di rumah kakeknya tersebut seperti menemukan “bumbunya” ketika Marques melihat foto istana Indian di sebuah toko buku. “Foto itu mengingatkan saya pada rumah kakek, dan akhirnya saya temukan plot itu: keruntuhan pelan-pelan dari sebuah rumah, sebuah keluarga, dan sebuah wilayah”, papar Marques soal asal mula penulisan novelnya. Pengalaman Marques ini mirip yang dialami AA Navis saat melihat suaru tempat ia belajar mengaji tiba-tiba roboh, sehingga melahirkan cerpen: Robohnya Surau Kami.
Dari penggambaran kondisi di Macondo, kiranya obsesi besar manusia dalam bidang penemuan mendapat penekanan tersendiri oleh Marques . Di samping soal persimpangan budaya, hubungan kekerabatan, cinta, dan sex. Namun di tengah obsesi manusia dalam penemuan-penemuan besar itu, Marques memilih akhir yang tragis bagi tokohnya. Sebagaimana dialami tokoh utama dari generasi pertama, Jose Arcadio Beundia: “didepak oleh keinginan memiliki besi magnet, kemungkinan astronomis, mimpi tentang transmutasi dan keinginan keras menemukan keajaiban, Jose Arcadio Beundia menjadi lamban dan malas” (hlm 13) sampai “kesepian di bawah pohon kastanye, tak peduli dengan lingkungan sekitar, dan akhirnya sama sekali kehilangan kontak dengan realitas” (hlm 145).
Namun karakter sedih dan murung ternyata tak hanya menimpa tokoh utama novel ini. Perempuan-perempuan Macondo yang cantik dan sebagian berpenampilan tegar, akhirnya “menyerah” dan larut dalam kesunyian. Begitu juga dengan tokoh sisipan seorang gipsi, Malquiades: “manusia yang luarbiasa ini, yang katanya memiliki kunci-kunci Nostardamus adalah seorang yang murung, terbungkus aura kesedihan dengan pandangan Asiatiknya.. (hlm.8). Dan akhirnya generasi berikut yang berkiprah dalam politik -- tak luput dari (akhir) karakter yang sedih, murung, menyendiri.
Mungkin kita akan dikejutkan membaca halaman 131 dan seterusnya. Sebab seperti tanpa “basa-basi”, plot novel ini tiba-tiba bersentuhan dengan konflik politik. Konflik yang ditawarkan Marques , meski terkesan klasik, tapi tak tanggung-tanggung: pemberontakan kaum Liberal atas golongan Konservatif. Konflik politik ini menyeret generasi kedua (keturunan Jose Arcadio Beundia) yakni Aureliano Beundia dan Jose Arcadio. Sementara Aureliano adalah jenderal yang gagah berani, Jose Arcadio adalah penguasa paling kejam yang dikenal di Macondo (hal 143). Namun, sebagaimana pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan Marques dalam novelnya ini, tokoh yang terkenal kejam dan gagah berani dalam politik (perang) itupun tak luput dari kesunyian, murung, dan akhir tragis kematian.
Barangkali Marques adalah sastrawan yang unik dalam memandang kematian. Dalam karyanya yang lain, Labyrinth dan Love at The Time of Colera misalnya, ia banyak bercerita tentang usia dan kematian. Dan memang sejak kecil ia akrab dengan suasana dimana ajal disambut bagai sebuah “pesta” yang pantas dinanti. Tapi ketika ia hendak “membunuh” tokoh-tokohnya dalam novel, ia menjadi tak kuasa menghadapi kematian. Seperti ketika plot dalam novel ini mengharuskan Kolonel Aureliano Beundia dijatuhi hukuman mati (hlm.`74-`75), Marques benar-benar tak sanggup melakukannya. Dan ketika di kesempatan lain ia “terpaksa membunuh” tokohnya itu, ia langsung masuk kamar lain dan menangis tersedu. Jelas, hal ini memperlihatkan keterlibatan Marques yang intens terhadap tokoh yang diciptakannya.
Generasi ketiga dan seterusnya dari keturunan Jose Arcadio Beundia, dan tentu saja tokoh lain yang hidup di zamannya, adalah generasi yang hidup dalam bayang-bayang perang. Mereka merasakan begitu nyata kehampaan yang terjadi setelah adanya konflik. Bahkan tokoh yang terlibat aktif dalam perang pun, seperti Kolonel Gerineldo Marques , menjadi kehilangan kontak dengan perang. Dan akhirnya novel ini ditutup dengan bencana angin puyuh yang menyapu dan meluluh-lantakkan Macondo.
Meski pesan utama novel ini adalah kesunyian manusia - di tengah hiruk-pikuk konflik dan perang - tapi kesan bahwa novel ini adalah novel pergolakan tak dapat diabaikan begitu saja. Buktinya, Komite Nobel (khusus bidang sastra) yang berkedudukan di Swedia, dalam menganugerahkan hadiah Nobel pada Gabriel Garcia Marques, melalui pertimbangan: “... sebagai penghargaan atas novelnya yang mengombinasikan realitas dan fantasi dengan sedemikian kayanya, diekspresikan dalam bahasa penuh imajinasi mencerminkan kehidupan dan konflik di Amerika Latin.
Tapi, di luar perdebatan apakah novel ini lebih tepat dipandang sebagai novel politik semata atau kemanusiaan dalam arti luas, yang jelas tak sedikit Marques berkorban untuk menyelesaikan novelnya yang dikerjakan dalam tempo 17 bulan itu. Konon, ia sampai menjual mobilnya hanya untuk membeli kertas. Bahkan saking krisisnya keuangan, Marques mengaku terpaksa menyelesaikan novel ini dengan menghilangkan bagian tertentu. “Saya menghilangkan dua generasi dari kisah ini. Sekitar dua bab penuh.”.
Marwanto, pecinta sastra tinggal di Kulonprogo.
Sumber: MINGGU PAGI, Minggu IV Desember 2004

Coba Menghindari 'Dosa Generasi' * Karena tidak menghargai karya sastra
Oleh Marwanto


SALAH SATU persoalan 'klasik' yang dihadapi dunia kesusasteraan kita adalah tidak dihargainya karya sastra. Dalam dialog antara sastrawan (yang dimotori Taufiq Ismail dan kawan-kawan) dengan pelajar maupun mahasiswa, memperlihatkan adanya keprihatinan mendalam pada eksistensi sastra dalam masyarakat. Di samping itu, dari hasil dialog ke berbagai sekolah dan universitas itu, menunjukkan pelajaran mengarang menjadi pelajaran paling terlantar di institusi pendidikan Indonesia.

Memang sastrawan (dan budayawan umumnya) tidak akan merengek-rengek minta karya sastra dihargai. Tradisi narsisisme lambat laun sudah ditinggalkan kaum sastrawan-budayawan. Namun kita sebagai manusia biasa, seharusnya mengelus dada atas kondisi demikian. Bila dibiarkan terus-menerus, kita khawatir bisa menjadi "dosa generasi" yang efeknya akan terasa pada anak cucu kita.

Sastra, yang pada hakekatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bahasa (Andre Harjana, 1994: 10), menjadi cermin sekaligus anasir pokok bagi berlangsungnya kebudayaan dan peradaban yang berkiblat pada nilai-nilai humanisme. Peraih nobel sastra 1992, Derek Walcott memposisikan bahasa sebagai titik sentral kebudayaan. Menurut sastrawan tersebut, kebudayaan akan menjadi amburadul jika masyarakat kehilangan 'rasa hormat' terhadap bahasa. Memang bahasa tidak mungkin musnah, tapi bahasa menjadi kering jika 'rasa hormat' terhadap bahasa (sastra) berlangsung terus-menerus. Sebab, wujud akhir setiap proses penalaran muncul dalam bentuk ekspresi yang jelas, jujur dan apa adanya.

Nah, lewat sastra, ekspresi bahasa seperti itu diwujudkan sehingga dapat memperkaya (kebutuhan) batin manusia. Para sastrawan, selain orang yang jujur pada fakta dan pengungkapan, juga mampu memenuhi kebutuhan batin manusia lewat karyanya. Seperti diungkap Sapardi Djoko Damono (saat menjadi salah satu juri pada Khatulistiwa Literary Awards) kekuatan sastra memang terletak bagaimana ia mampu memperkaya kebutuhan batin manusia.

Kita dapat menyaksikan sendiri ketika bahasa dikuasai dan menjadi alat bagi kekuasaan politik. Periode rezim Soeharto (orde baru) adalah contoh yang sangat gamblang. Mungkin kita masih ingat, kata 'penyelewengan' (yang dilakukan aparat negara) sering diganti dengan kata 'salah prosedur'. Atau kata 'penangkapan' dan 'pemenjaraan' (terhadap ativis yang kritis) sering diganti dengan kata 'diamankan'. Dan masih banyak contoh 'ketidakhormatan' lain terhadap bahasa, yang dapat mengaburkan fakta sebenarnya.

Di tangan rezim otoriter, bahasa tidak saja menjadi absurd dan sukar dicerna oleh akal secara wajar-jujur. Lebih dari itu, bahasa menjadi kering. Ketika rezim orde baru mencapai titik puncak keotoriterannya, Afrizal Malna lewat puisinya yang berjudul "Di Bawah Sihir Gergaji" (1997) menulis : Pilihan kata tak banyak lagi. Bahasa seperti sumber air yang mengering. Kita maklum, mengapa Afrizal menulis Pilihan kata tak banyak lagi. Sebab, kata dan istilah yang mengisi lalu-lintas wacana sebatas yang diproduksi oleh kekuasaan. Hanyalah kata dan istilah yang mendukung secara efektif doktrin kekuasaan negara otoriter.

Di bawah pemerintahan otoriter, bahasa dan sastra adalah 'anak nakal' yang harus (pertama) dipenjarakan dalam ruang gelap, pengap, sesak dan dilenyapkan sama sekali atau (kedua) dikebiri sehingga menjadi 'anak penurut'.

***

KINI zaman tak lagi berada di bawah pemerintahan otoriter. Meski 'bahaya laten' negara otoriter tetap ada, dan selalu terbuka peluang. Namun secara umum, pasca lengsernya penguasa otoriter orde baru, terbitlah era euforia. Kebebasan berpendapat, berserikat, berbicara kita rasakan. Demikian pula kebebasan untuk mengeluarkan ide, dalam bentuk apapun termasuk kesusastraan. Namun mengapa masih ada keluhan sastra terpinggirkan, tidak dihormati, tidak mendapat tempat layak di masyarakat?

Hemat penulis ada semacam sistem yang secara halus (invisible hand?) memisahkan sastra dengan masyarakat. Pada zaman otoriter orde baru, karya sastra yang cerdas-jernih memandang persoalan kemanusiaan dipasung, sehingga yang muncul hanyalah 'sastra pesanan' (kekuasaan) dan sastra populer atau tepatnya sastra yang berkiblat pada permintaan pasar. Namun demikian ada saja karya sastra brilian yang lahir (iklim represif, bagi sastrawan tertentu, justru menjadi pemacu daya kritis), meski nilai karya sastra seperti ini tak dapat disosialisasikan ke masyarakat secara efektif.

Kini di era reformasi lain lagi. Meski banyak faktor penyebab sastra tak melekat di hati masyarakat, tapi mungkin bisa dirunut dengan logika begini: era reformasi yang dihadapi masyarakat Indonesia juga masih dibarengi dengan berbagai krisis yang berkepanjangan (krisis ekonomi, hukum, kepercayaan, nilai-nilai, dsb). Menghadapi momentum demikian, sebagian besar masyarakat kita lalu berpegangan pada hal-hal yang praktis dan profan saja. Karya sastra, yang sarat muatan nilai isoterisme kemanusiaan, menjadi kontraproduktif untuk menghadapi krisis, utamanya krisis ekonomi. Kondisi demikian ternyata dibarengi dengan pertumbuhan teknologi yang semakin canggih. Dan sastra, secara umum kurang mampu mengambil 'ruh teknologi' untuk dijadikan tema-tema besar kesusastraan. Jadi dinamika teknologi dan ekonomi itulah yang menjadi semacam (invisible hand) dan memisahkan sastra dengan masyarakat.

Barangkali pandangan di atas terlalu prematur. Namun soal gamangnya kebudayaan menghadapi ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah menjadi kritikan cukup lama. Misalnya kritikan Daoed Joesoef: kebudayaan kita tidak merangkum ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang lahir dan dikembangkan oleh seni dianggap unsur budaya, tapi pengetahuan ilmiah (sains) tidak dianggap demikian. Masih ada anggapan ilmu pengetahuan mencekik seni (makalah "Satu Kebudayaan di Abad Iptek", 28-8-1991).

Selain itu di abad teknologi informasi, manusia bisa menjadi sangat terlena. Sebuah abad informasi, memang melahirkan keterbelahan, skizofrenia. Dalam lautan informasi, lautan imaji-imaji, lautan penanda-penanda, dapat saja kita tenggelam secara nyaman tanpa kegelisahan untuk menghasilkan karya budaya, apalagi karya budaya besar (Nirwan Dewanto, 1996: 33).

Lantas bagaimana menghadapi kondisi dan masalah demikian? Hemat penulis, langkah awal adalah bercermin, mengaca diri: sudahkah sastra menggambarkan fakta kehidupan secara menyeluruh dan mutakhir? Kita setuju sastra (utamanya novel) adalah potret zaman yang sedang dialami masyarakat. Kini berapa banyak karya sastra yang seperti itu ? Kalaupun banyak, adakah yang membawa pesan humanisme, yang mampu memberi pencerahan batin manusia yang hidup di zaman sumpek teknologi, informasi, limbah industri dan khayalan-khayalan ekonomi?

Dinamika teknologi dan ekonomi adalah fenomena mutakhir yang akan terus menggerus nilai-nilai humanisme, suka tak suka, mau tak mau. Bahkan menurut Dr Damardjati Supajar, sinyalemen "suatu saat manusia akan tenggelam oleh keringatnya sendiri", maksud 'keringat' disini adalah bahasa teknologi dan ekonomi. Kenyataannya amat sedikit karya sastra yang mampu menangkap ruh dinamika teknologi dan ekonomi untuk dijadikan tema kajian sastra dalam pesan-pesan humanisme. Selama ini, teknologi dan ekonomi hanya dijadikan piranti dalam memasarkan karya sastra.

Dengan demikian, pemahaman terhadap unsur-unsur kebudayaan secara luas untuk diambil dinamika yang paling fenomenal dan mutakhir, lalu dijadikan tema kesusasteraan dalam pesan nilai humanisme inilah yang akan 'menyelamatkan' eksistensi sastra dalam masyarakat. Selain itu, akan menghapus stigma terhadap kebudayaan, apakah itu kebudayaan sebagai terdakwa (istilah Mochtar Pabotinggi) atau kebudayaan sebagai kambing hitam (istilah Prof Syafri Sairin).

Mungkin pandangan tersebut terlalu sentrisme. Maksudnya, melihat teknologi dan ekonomi sebagai determinan pokok perubahan peradaban. Perlu disadari, yang dimaksud di sini adalah ruh sains dan teknologi. Jadi tidak dalam pandangan monopoli Barat-modern terhadap teknologi. Tiap masyarakat punya pandangan sendiri terhadap ruh ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi. Seperti dicontohkan dengan baik oleh Levi-strauss (dalam Nirwan Dewanto, ibid, hlm 36): apakah diagram rumit yang digambar suku Aborijin untuk menjelaskan sistem kekerabatannya kepada orang Eropa, jauh kurang ilmiah dibandingkan diagram matematis yang digambar seorang profesor di Ecole Polytechnique? Meski harus diakui ada hasil sains dan teknologi Barat-modern yang mengglobal, berpengaruh luas ke penjuru dunia.

Dengan langkah bercermin tersebut, penulis yakin sastra akan mendapat tempat layak di (hati) masyarakat. Kita tak usah memaksakan pada masyarakat untuk menikmati suguhan (karya sastra) kita, jika apa yang kita hidangkan bukan menjadi perhatian utama mereka. Ada baiknya juga langkah bercermin ini dibarengi dengan usaha yang katakanlah, bersifat materiil seperti proyek buku sastra seberat 15 ton dari Taufiq Ismail. Tentu bagi sastrawan dan budayawan yang gandrung nilai isoterisme, tidak melupakan esensi di balik materi. Semua ini adalah usaha-usaha dalam rangka penghormatan terhadap kesusastraan, yang akan menyelamatkan budaya dan peradaban.***
MARWANTO, alumnus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, pecinta sastra, bermukim di Kulon Progo, Yogyakarta
Sumber: MINGGU PAGI, Minggu I Juli 2002


Riza Nadia Hanum
Cerpen Marwanto


HUJAN turun lagi. Rumput di halaman pun kembali berseri. Dan bunga di taman mekar sepanjang hari. Hawa romantis mengalun hingga ke lubuk hati. Suasana ini mengingatkan saya pada Muhammad Ariza Yusuf, seorang sahabat yang masih membujang hingga kini.

Restoran Saiyo, 30 Agustus 2004

Jam menunjuk pukul 18.15 WIB. Kami baru saja menyelesaikan shalat Maghrib di Masjid Agung saat telepon genggam saya berdering. Suara perempuan dari seberang, ya dari restoran termegah di kota itu, memanggil kami.

“Gimana? Kami sudah menunggu lima belas menit. Gus-nya sudah datang?

“OK. Saya segera ke sana, bersama Gus”

Tiga bulan lalu saya mempertemukan pada Nadia. Kakak Nadia sendiri, yang tak lain adalah sahabat kental isteri saya, yang mengusulkan pertemuan itu.

‘Muh, apa kamu ada calon buat adikku?”

“Ada sih ada, tapi orangnya sulit ....”

“Ah, ndak masalah, asal ...”

“Tentu, ia dari keluarga pesantren!”

Karena dari keluarga pesantren itulah Nadia memanggilnya Gus. Pertemuan itu sendiri berlangsung mengesankan. Meski belum ada kata “oke” yang bulat, dua insan tadi saling tertarik. Usai meninggalkan restoran, saya coba memancing Riza.

“Gimana Riz?”

“Alhamdulillah, it’s oke Tapi ...”

Saya tahu maksud Riza dengan “tapi”. Secara fisik Nadia bukan obsesi bagi Riza. “Ayolah, dulu aku juga tak sadar kalau ternyata istriku itu cantik”.

“Muh, Muh ... Okelah, bagiku dorongan nikah juga bukan karena itu saja kok. Kakek dan Omku, kau ingat obsesi mereka?”

Sejak Sekolah Dasar Riza memang ikut kakeknya, sebab kedua orangtuanya berpisah. Jadi saya paham mengapa Riza begitu hormat, patuh dan sayang pada kakeknya. Apa yang dikatakan kakeknya, Riza tak berani membantah. Bahkan sebagai ungkapan rasa sayang, selepas menyelesaikan kuliah ia memilih menemani kakeknya mengurus pesantren. Padahal, karena telah tujuh tahun bersama di kampus, saya tahu Riza adalah orang yang berpotensial dalam segala bidang.

Lalu omnya, biasa dipanggil Om Yusuf (yang kebetulan tak punya keturunan), telah menganggap Riza sebagai anaknya sendiri. Om Yusuf pula yang membiayai kuliah Riza hingga jadi sarjana. Dan salah satu obsesi Om Yusuf adalah menjadi wali untuk pernikahan Riza.

“Bagus kalau gitu. Tapi jangan lama-lama lho, nanti keburu dipetik orang” pesan saya sambil menyodorkan nomor HP milik Nadia.



Restoran Saiyo, 25 September 2004

Kekhawatiran saya terbukti. Ketika keluarga kami makan malam di Saiyo, saya lihat Nadia menjamu seorang pria. Saya lihat Nadia terkejut juga ketika melihat kedatangan kami sekeluarga. Kami hanya menyapa dengan salam pada Nadia, lalu saya sengaja mengambil tempat duduk yang agak berjauhan supaya tidak merusak suasana. Sepulang dari Saiyo, saya calling ke Nadia.

“Teman baru ya”

“Ah ndak. Sejak kuliah dia sudah ngejar kok”

“Gimana dengan Riza?”

“Gimana lagi, hampir sebulan ndak ada perkembangan”

“Apa Riza tak mengirim SMS?”

“Ngirim sih, tapi isinya cuma basa-basi melulu”

Paginya saya tanya langsung ke Riza. Ternyata ia menjawab enteng :

“Nanti kan tiba sendiri waktunya, Muh”.

“Aku tahu, tapi persoalannya kini ada laki-laki yang mau serius padanya”

“Lha, monggo, silakan kalau memang Nadia merasa cocok. Toh di antara kami belum ada kata bulat”.

“Jangan berkata begitu Riz. Apa kamu tak ingat, dia itu hapal Qur’an? Aku tahu pasti kakekmu akan memaksamu menikahinya kalau tahu dia hapal Qur’an. Dan, ingat ndak kamu dengan obsesi Om Yusuf? Pikirkan Riz, kakekmu hampir sembilan puluh tahun. Om Yusuf juga sudah sering ke dokter. Oya, sebulan lagi kakaknya menikah, kamu harus datang. Ini kesempatan buatmu untuk mengenalkan diri pada keluarganya.”

“Ya ... Aku usahakan.”

Khayangan, 21 November 2004

Pesta pernikahan itu memang tidak mewah. Tapi begitu khidmat. Kami semua gembira sebab kakak Nadia yang berusia kepala tiga itu akhirnya nikah juga -dapat suami tampan lagi. Pesta telah lewat tengah acara, saya belum juga melihat Riza. Saat saya cek ke bagian resepsionis, di buku tamu memang belum tertulis nama Riza. Karena tak sabar menunggu, saya mengirim SMS. Tapi jawaban Riza malah membuat mata saya sembab.

“Sorry Muh, sebetulnya aku ingin datang. Tapi dua tiga hari ini aku tidak bisa ke luar kota. Kakek perlu dijaga”.

Saya tak kuasa membendung airmata. Mungkin isteri saya dan tamu lainnya menganggap itu airmata kebahagiaan buat kedua mempelai. Tapi tidak. Itu airmata duka buat Riza dan kakeknya yang sedang terbaring lemah. Apalagi di pesta itu saya lihat Nadia duduk bersanding pria yang kami temui di Saiyo sebulan lalu. Dan, menurut informasi salah satu kerabatnya, tadi malam mereka barusan bertunangan. Ah, pupus sudah tugas saya mempertemukan Riza dan Nadia.



Restoran Saiyo, 27 November 2004

Mungkin benar kata orang, persediaan wanita di dunia kiranya tak pernah habis. Ketika malam itu keluarga kami kembali makan di Saiyo, saya dikejutkan dengan kehadiran wanita cantik yang tiba-tiba menghampiri isteri saya.

“Mbak Asih ya? Pripun kabarnya Mbak?

“Ee ... Dik Hanum ya? Sini-sini ...”

Hanum adalah adik tingkat istri saya di kampus. Memang terpaut sekitar lima tahun, tapi mereka terlihat akrab karena pernah satu kost. Dari pembicaraan mereka, saya tahu Hanum masih sendiri. Dan, ia meminta istri saya membantu menemukan jalan keluar dari problem yang sedang dihadapi.

“Gimana menurut pendapat Mbak Asih? Aku tak tahu harus dengan alasan apa menolak Om Anton. Dulu aku bisa menolak dengan alasan belum wisuda, kini ...?”

Istri saya melirik ke arah saya. Saya segera tanggap maksudnya, lalu menawarkan jasa. Ternyata Hanum setuju. Tiga hari kemudian saya kirim SMS ke Riza : “Kalau memang proses dengan Nadia berat, istri saya ada stok baru. Memang tak hapal Qur’an, tapi tanggung alim”



Jln Batok Bolu, 30 November 2004

Malam itu saya dan istri sedang membicarakan Riza di meja makan ketika anak saya, Iney, memanggil : “Pa, telpon dari Om Riza”. Saya menghampirinya dengan penuh harap “ Ya, semoga ini proses terakhir.

“Assalamu’alaikum. Gimana dengan tawaranku?”

“Maaf Muh, aku tak mau bicarakan itu dulu. Om Yusuf ... Om Yusuf, Muh, kecelakaan pesawat ...”

Saya belum sempat menjawab, tapi Riza telah mengucap salam. Saya paham ia akan segera ke Solo. Tiba-tiba saya ingat pesan Om Yusuf setahun lalu : “Muh, hanya kamu yang kenal baik dengan Riza. Jadi, kupasrahkan padamu untuk mencarikan pendamping hidup”. Saya menyesal belum bisa melaksanakan amanat Om Yusuf. Selamat jalan Om, semoga tempatmu lebih mulia di sisi-Nya.

Saya beranjak menuju ruang televisi dengan langkah gontai. Dan ketika saya lihat televisi menyiarkan berita kecelakaan pesawat, tiba-tiba hujan turun begitu derasnya. Ya, hujan yang amat sangat derasnya, meski tak sederas air mata Riza.
Kulonprogo, 2004
Sumber: MINGGU PAGI , Minggu IV Desember 2004

Tidak ada komentar: