Rabu, 06 Juni 2007

Kolom BYAR

Tulisan ini diambilkan dari rubrik BYAR di buletin sastra Lontar

Tergoda

Tak banyak orang seperti Joaquim Chissano. Setelah berkuasa selama 18 tahun (1986-2004) di Mozambik, ia memilih lengser. Padahal, Konstitusi negara itu masih memberinya hak untuk mencalonkan diri. Tapi, menurutnya, “demi perkembangan demokrasi saya tidak mencalonkan diri lagi…..”
Tentu masa depan demokrasi tak hanya membutuhkan hadirnya “orang yang mau mengalah” an sich. Tapi sebuah sikap: mampu menjaga jarak dengan kekuasaan dan menjamin berlangsungnya regenerasi kepemimpinan secara fair. Dan Chissano telah memberi tauladan yang baik tentang dua hal itu. Ya, karena saat ia berkuasa, Mozambik tengah dilanda perang saudara. Dan ketika ia lengser, negeri itu dipandang telah makmur, demokratis dan damai. Ibarat orang mendorong mobil mogok, Chissano tak ikut naik apalagi sampai terlena menikmati laju mobil. Ia menyilahkan generasi berikutnya untuk mengemudikan mobil yang telah lempang berjalan. Menakjubkan dan mengharukan !
Chissano juga menggugurkan asumsi sementara teori, bahwa di negera berkembang sulit muncul “negarawan”. Langkanya sikap kenegarawanan dari para politisi di negara berkembang inilah yang acapkali menyebabkan suksesi mesti disertai percik darah. Dan itu tak terjadi di Mozambik dibawah kepemimpinan Chissano. Padahal dibanding Indonesia, Mozambik ibarat “anak kemarin sore”. Negeri hitam itu baru merdeka pada 25 Juni 1975.
Alhasil, sikap kenegarawanan tak mesti berbanding lurus dengan usia dan kultur negara. Amerika, bangsa modern yang mendaku pelopor demokrasi, sejatinya telah berulangkali (bahkan secara telanjang) menciderai demokrasi –dibawah kepemimpinan seorang presiden yang tidak saja gagal sebagai negarawan, tapi juga bodoh. Sementara di “negeri katrok”, muncul seorang Cissano: lelaki kelahiran Desa Malehice (Provinsi Gaza), 22 Oktober 1939 itu adalah pribadi yang unik (bisa berbicara, menghargai dan duduk bersama oposisi di meja perundingan ) dan amsal seorang “negarawan yang khusnul khatimah”: mengakhiri kekuasaan dengan elegan.
Siapapun tentu ingin mengakhiri kekuasaan dengan elegan. Persoalannya, seperti juga harta dan wanita, tahta memang selalu menggoda. Dan umumnya kita lebih memilih untuk tergoda.***
SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 12/Th.I/November 2007


Orang Suci

Pasca bulan Ramadhan, diam-diam, banyak orang mendaku sebagai “orang suci”. Kembali ke fitrah atau fitri. Bagai bayi merah yang baru lahir. Tak punya dosa, tak ada noda. Dari pendakuan inilah, orang lalu sering berperilaku ekstra hati-hati tatkala menjalin relasi sosial: aja cerak-cerak kebo gupak ! Memang demikian juga anjuran agama. Seperti tersurat dalam salah satu bait tembang yang diadaptasi Kiai Bisri Mustofa dari Sayidina Ali bin Abi Thalib yang kemudian dipopulerkan Emha Ainun Nadjib: wong kang shaleh kumpulana.
Barangkali ada yang alpa kita telisik: bahwa demarkasi antara mereka yang mendeklarasikan diri sebagai “orang suci” dan yang terlanjur dicap sebagai kebo gupak tadi telah sedemikian kokoh sehingga memisahkan mereka seolah-olah tak lagi sebagai hamba yang kedudukannya sekedar debu di sisi-Nya. Ada semacam kasta, yang kontra produktif bagi jalinan kemanusiaan, mulai ditegakkan di sini: kita orang suci dan alim, mereka berlumur dosa dan najis –mereka “harus” terpisah atau satu pihak mesti memisahkan diri.
Menurut Daniel H. Ludlow, dalam Encyclopedia of Mormonism, dalam bahasa Yunani kata suci berarti: "menetapkan, memisahkan, dan kudus”. Apakah maksud “memisahkan” di sini sebanding dengan demarkasi yang kokoh dan kontraproduktif terhadap jalaninan kemanusiaan tadi? Hemat saya tidak. Namun lebih ke makna memisahkan dari perbuatan tercela. Dus bukan memisahkan dari orangnya. Tapi bahwa kenyataan yang terjadi masih pada memisahkan dari orangnya, adalah sesuatu yang sulit kita tampik. Minimal hati kita acapkali masih berdendang: aku suci dan alim, kamu berlumur dosa dan najis. Lalu yang terjadi mudah ditebak: jarang ada orang yang mau ngedusi kebo gupak.
Tentu masih banyak “orang suci” yang, dalam arti luas, mau nyerak kebo gupak. Ketika terjadi Reformasi di negeri ini pada tahun 1998, “orang suci” itu diantaranya intelektual kampus yang bahu-mambahu bersama rakyat ngedusi kebo gupak (melengserkan penguasa korup). Di Myanmar, sejak 19 September lalu, orang suci (baca: biksu) menggugat kebo gupak berlabel junta militer: sebuah rejim yang konon mengalokasikan uangnya 120 kyat ke tentara, dan hanya 1 kyat ke rakyat.
Memang bukan perkara mudah, bagi orang yang sudah terbiasa memisahkan dari perbuatan tercela kemudian disuruh dekat-dekat dan membersihkan kebo gupak. Mungkin ada bimbang, dan bahkan takut, yang selalu mengintai dan menyerang. Tapi tidakkah kita ingat, bahwa takut dan bimbang adalah musuh pertama dan terbesar bagi manusia ?***
SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 11/Th.I/Oktober 2007

Gelombang Cinta

Sungguh menakjubkan memang, ketika kenikmatan mesti direngkuh dengan laku berpantang. Bayangkan, jika alam membentang ini menyajikan yang serba-boleh saja, barangkali kita akan mengulang “tragedi” yang pernah dialami Eyang Adam.
Mungkin tesis di atas ada yang membantah: bukankah yang kita pertontonkan selama ini lebih tragis daripada sekedar “kilaf” seorang Adam? Padahal, kita tahu, Tuhan telah menetapkan aturan berpantang itu?
Ah, salah sendiri manusia hanya melakoni “periode berpantang” seperti ketika murid-murid sekolah dasar atau bapak-ibu pejabat menghormat Sang Merah-Putih saat upacara Agustusan !
Ramadhan adalah salah satu “periode berpentang”, yang akan naif jika hanya dimaknai layaknya murid sekolah dasar atau para pejabat menghormat sang merah-putih saat upacara bendera. Ramadhan adalah kawah candradimuka yang menuntun manusia ke titik sublim. Sublimasi cinta seorang hamba pada Tuhan.
Dan sublimasi acapkali memang dicapai lewat laku “berpantang”, “mengasingkan diri”, atau yang lebih ekstrem, “menyiksa diri”. Zarathustra, karya monumental Nietzsche, ditulis ketika ia mengasingkan di pegunungan Alph. Novel yang menggetarkan dari Pram ditulis tatkala ia dipenjara. Dan Muhammad, manusia mulia itu, memperoleh pencerahan saat mengasingkan di gua Hira.
Sejumput kisah tersebut seakan menyadarkan kita: bahwa tujuan berpantang tak sekedar mengharap agar ketika “pelampiasan” datang kita merasakan kelezatan. Nikmatnya berpantang (puasa), pertama-tama memang ketika buka tiba (ragawi). Tapi, sejatinya ada kenikmatan (ruhani) yang jauh lebih subtil dari mereka yang berpantang: yakni bersua dengan Tuhan. Ya, karena ketika manusia dalam kondisi tak punya/bisa apa-apa, sejatinya yang ia harapkan hanyalah hadirnya Cahaya. Mirip amsal seorang mahasiswa ketika pertama kali masuk kos dengan membersihkan (mengosongkan) kamar lalu menyalakan lampu.
Kita patut bersyukur dengan adanya Ramadhan. Sebab ia merupakan skenario terindah yang dianugerahkan Tuhan untuk hambanya. Ramadhan laksana gelombang lautan. Siapa yang berani dan lulus menempuhnya, cintanya pada Tuhan (kehadiran Cahaya) kian kuat terpatri dalam diri. Dan Allah telah membuka momentum untuk menempuh gelombang itu minimal setahun sekali. Tentu ada hamba-hamba yang “tak puas” menempuh gelombang atau periode berpantang tersebut dalam jangka waktu setahun sekali. Sehingga tiap bulan, minggu, hari dan bahkan setiap detik, ia sengaja menciptakan gelombang itu dalam dirinya:
Apabila Kau anugerahkan aku rembulan, bisakah kuelus dengan hati lapang / Apabila Kau anugerahkan aku matahari, bisakah kugenggam agar gelap tak menjadi / Apabila Kau anugerahkan aku sederet kata, bisakah kutepis mana yang maya / Apabila Kau anugerahkan aku air mata, bisakah kubuang segala duka lara / Apabila Kau tuntun aku dalam sujud sunyi, semoga hanya Engkau yang mengetuk ini hati, ya Rabbi .***
SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 10/Th.I/September 2007


Bandot

Seperti apa gambaran orang merdeka itu? Ijinkan saya membayangkan Bandot, tokoh dalam salah satu prosa karya Putu Wijaya, yang dapat kita temui dalam kumpulan cerpennya: Protes. Bandot adalah seorang penjahat, yang tatkala dalam penjara punya hasrat menggebu untuk bisa hidup di dunia luar –yang menawarkan kemerdekaan, kebebasan. Benarkah ketika dikeluarkan dari penjara Bandot menikmati kemerdekaan?
Tentu. Namun kemerdekaan yang ia rasakan bukan terutama karena ia telah meninggalkan pengapnya hotel prodeo. Bandot baru merasa betul-betul menikmati kemerdekaan saat ia tak menginginkan apa-apa. Dengan kata lain, kemerdekaan itu sejatinya “ada dalam dirinya” dan bukan karena “lempangnya dunia luar”. Tampaknya Bandot tak sendirian. Orang-orang yang mengabdikan hidupnya dalam pengembaraan sunyi (asketis), sadar benar kemerdekaan itu bermula ketika manusia telah khatam dari segala keinginan.
Tapi tunggu dulu. Jangan salah arti. Khatam dari segala keinginan bukan berarti manusia tak lagi punya kebutuhan. Sebab, kebutuhan adalah konsekuensi dari eksistensi manusia. Makan, pakaian, rumah, pendidikan, adalah kebutuhan. Juga kesehatan, alat transportasi, dan yang lainnya. Nah, ketika kita sudah cukup makan dengan lauk satu tempe tapi berhasrat nambah satu lagi, itu sudah keinginan namanya. Sudah punya rumah bagus dan besar, masih mau yang mewah dan tersebar di beberapa tempat. Sudah menikah dengan isteri cantik atau suami tampan, masih melirik kebun tetangga. Dan seterusnya.
Keinginan adalah sumber penderitaan, kata Iwan Fals dalam sebuah lirik lagunya. Tapi, benarkah hidup harus steril dari “penderitaan”? Ah, rasanya kok tidak. Adam dan Hawa, ketika diturunkan ke bumi, sudah sejak awal berbekal penderitaan. Dan sejarah peradaban manusia itu sendiri tak lain adalah narasi agung tentang penderitaan. Tapi, bukankah dari penderitaan ini kebudayaan manusia digali? Untuk nantinya bisa eksis mengikuti akselerasi zaman? Dari sinilah, bagi segelintir orang, “penderitaan” bisa dijadikan titik tolak – juga pemantik sekaligus – untuk maju. Asal kita punya kemauan untuk keluar dari jebakan penderitaan.
Jadi, biarkanlah diri anda menderita oleh keinginan. Tertindih mimpi-mimpi. Jangan takut dijajah oleh obsesi. Hadapilah dan perjuangkan mimpi dan obsesimu. Sebab, seperti pesan Napoleon Bonaparte, mereka yang takut dijajah tak akan memperoleh kemenangan. Sampai akhirnya anda akan menyadari: trembelane…. betapa dalam mengolah hidup ini amat tipis beda antara keinginan dan kebutuhan. Meski esensi keduanya sangat jauh berjarak.***
SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 09/Th.I/Agustus 2007

Nawm fil 'asal

Istilah nawn fil’asal saya peroleh bulan lalu, ketika seorang teman yang sedang kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo mengirim email. Thoyib Ariffin, teman saya tadi, merasa “tidur di lautan madu” selama 10 tahun tinggal di Mesir. “Dalam gemilang fasilitas, saya tak ubahnya seonggok batu yang bisu”, tulisnya.
Saya tercenung menyimak kata demi kata dalam suratnya. Sebab, sepengetahuan saya, ia bukanlah sosok yang berpangku tangan. Tidak juga larut dalam kenikmatan. Di tengah musim dingin Kairo yang mencincang tubuh kurusnya (ia mengaku sering sakit jika musim dingin tiba), ia masih akan melakukan sederet aktivitas ini: mengaji pada syeikh, menghafal 400an bait syair-syair tugas kuliah, melahap buku-buku tebal di perpustakaan, memandu para senior dari Yogya yang sedang mengerjakan desertasi. Belum tugasnya sebagai penerjemah di penerbit Maghfirah Pustaka –yang sering mencambuknya dengan deadline!
Namun, ia tetap merasa dalam kondisi nawn fil’asal. Apa ia sedang menyindir?
Mungkin tidak. Ini hanyalah bahasa seorang pekerja keras: merasa belum mengerjakan apa-apa padahal sudah banting-tulang. Sebab, kata Voltaire, kerja bisa menghilangkan rasa bosan, sepi dan dosa. Tapi, Thoyib tak sekedar pekerja keras. Ia telah menjadi antitesis dari sikap pragmatisme. Barangkali kita sudah sering mendengar cerita ini: banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Mesir lebih suka mencari uang (terutama kalau musim haji) daripada menuntut ilmu. Dan Thoyib memilih ilmu –dengan segala konsekuensinya.
Kalau orang yang telah memeras keringat menganggap dirinya “tidur”, bagaimana dengan kita? Konon, dalam seminggu kita butuh 2 hari libur. Dan di hari libur seakan “sunat” untuk bangun siang. Lembur jangan sampai larut, sebab angin malam tak baik bagi kesehatan. Jika puasa, jangan lupa makanan suplemen…. Dan perayaan kemanjaan tubuh lainnya, yang memenuhi ribuan halaman jika diuraikan. Di sisi lain, konon kita gemar pula mendengar cerita sukses seseorang.
Diam-diam, ada yang tanggal dari perjalanan karakteristik anak bangsa: kesuksesan dan proses dilihat secara terpisah. Mengingatkan saya pada seorang penulis “kemarin sore” yang baru mengirim satu dua karya –lalu menggerutu karena puisinya tak kunjung dimuat. Ia sih mengaku pengagum Emha Ainun Nadjib. Tapi jelas ia lupa (atau belum tahu), kalau Cak Nun --gara-gara kelaparan-- pernah jatuh pingsan di Malioboro dalam perjalanan kakinya menuju kantor KR dan MP,demi mengirim sepucuk amplop berisi puisi.***
*SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 08/Th.I/Juli 2007


Rahasia

Rahasia itu bagai magma, menyimpan kedahsyatan yang tak terduga. Simak misal puisi Sapardi berikut: tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan juni/ dirahasiakan rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu. Puisi tersebut menjadi indah, salah satunya, karena sisi kontradiktoris ditampilkan dengan wajah lembut. Sapardi tak serta-merta “menentang” perspektif meteorologi dan geofisika yang melihat bulan Juni sebagai kemarau.
Rindu yang lama tak terlampiaskan, adalah “hujan yang dirahasiakan”. Apa yang terjadi ketika “hujan yang dirahasiakan” tadi satu demi satu terkuak? Sebuah kedahsyatan siap menyapa. Dan apa yang terjadi ketika “hujan yang dirahasiakan” itu tak kunjung turun? Ia menjadi guru terbaik dari ketabahan dan kearifan.
Seorang pemuda yang “merahasiakan” cintanya pada pujaan hatinya bagai seorang ahlus-saum yang tak cepat patah arang. Ia juga akan merawat hubungan cintanya dengan bijak, untuk tidak egois. Seorang yang beramal dengan siri, selain menerima pahala yang dahsyat, juga mengasah ketabahan (menghadapi kesempitan maupun kelapangan) dan sikap bijak (untuk tidak “berteriak” yang bisa berakibat mengurangi pahala maupun menyakiti yang diberi). Demikianlah buah dari rahasia: dahsyat, tabah, dan bijak. Bukankah semua itu positif bagi kehidupan?
Tidak ! Pelanggaran hukum yang dirahasiakan, tidak diusut, adalah gouletin yang siap memenggal leher bangsa ini, kata seorang teman yang di tahun 1998 hampir diculik rezim Orde Baru. Teman tersebut sepenuhnya benar. Tapi benar dari segi hukum, di negeri ini, sering dikacaukan dengan: perbandingan kemanfaatan dan kemudaratan bagi kehidupan bernegara. Maka jangan heran, jika seorang Amien Rais yang semula lantang ingin mengungkap (rahasia) penggunaan dana non-budgeter DKP, tiba-tiba bersikap: dar’ al-mafasid muqqadam ‘ala jalb al-masalih (menghindarkan bahaya lebih diutamakan daripada melaksanakan kewajiban yang baik).
Benar, untuk menghindari polemik antar pemimpin yang bisa kontraproduktif bagi perjalanan bangsa, masalah tersebut mesti dibawa ke (dan diselesaikan lewat) jalur hukum. Namun persoalannya, “bahasa hukum” di negeri ini hanya milik segelintir orang. Apa-apa yang sejatinya terjadi pada proses hukum, sepenuhnya misteri, seutuhnya rahasia. Dalam atmosfir seperti ini, tidakkah Tuan Amien rindu mengulang perjuangan di tahun 1998 ketika menumbangkan Soeharto?
Memang SBY bukanlah Soeharto. Namun maafkan saya (rakyat jelata yang jauh dari Jakarta) kalau akhir-akhir ini sulit membedakan keduanya. Ya, barangkali karena ada sesuatu yang rahasia dibalik sosok mereka. Entahlah, namanya juga rahasia***
Sumber: Buletin sastra LONTAR Edisi 07/Th.I/Juni 2007


Indonesia Lain

Ketika krisis di negeri ini mencapai puncaknya pada Mei 1998, mungkin bangsa ini sedang diharuskan untuk “berwudlu sejenak”: menanggalkan residu pembangunan yang selama tiga dasawarsa lebih ditegakkan rejim Orde Baru. Mengapa bangsa ini harus “wudlu”?
Ya, karena bangsa ini telah “batal” menjalani hidup. Ada pelanggaran terhadap aturan kehidupan bernegara, baik tak disengaja maupun jsutru diciptakan oleh segelintir orang yang berkuasa. Karena itu, selain membasuh habis segala kotoran, laku “wudlu” tadi mesti dibarengi dan diteruskan dengan penataan kembali sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu sama dengan anjuran bijak: jika usai wudlu segeralah “mendirikan shalat”.
Persoalan muncul ketika elemen bangsa ini sibuk mendebatkan “tata cara mendirikan shalat” dan saling berebut “menjadi imam”. Di sini kepentingan mulai bicara. Sebab, di negeri ini, atau ini memang watak khas politik: siapa yang menjadi imam identik yang berhak menentukan berapa raka’at kita menjalankan shalat. Aturan mendirikan shalat lebih ditentukan oleh syahwat kuasa, bukan oleh akal sehat dan kebeningan nurani.
Maka, ditengah-tengah debat panjang kita tentang bagaimana mendirikan shalat (:membangkitkan bangsa ini) diam-diam kita mulai menyusun strategi agar jika nanti melakukan kesalahan tidak termasuk dalam kategori “batal”. Tapi yang namanya kesalahan, dimanapun akan ketahuan juga. Barangkali rakyat sudah lelah, sehingga tak ada itu people power yang mendesakkan bangsa ini untuk berwudlu kembali. Tapi, tidakkah kita sadar bahwa deretan panjang bencana yang datang bagai arisan di negeri ini menunjukkan bahwa bangsa ini telah batal dari wudlunya sembilan tahun lampau?
Kita belum sempat mendirikan shalat, tapi telah batal. Kita belum lagi bangkit, namun ditengah-tengah bencana, penderitaaan, dan bangkai-bangkai yang melayang, setiap hari kita rajin menggembosi tegaknya bangsa ini. Apakah riwayat Indonesia akan tamat sampai di sini?
Tidak ! “Bunga yang mekar dari bangkai kematian lebih menantang untuk menggoda….”, kata teman saya Aguk Irawan MN dalam novelnya Kitab Dusta dari Surga. Barangkali kita akan menemukan “Indonesia yang lain”, yang tak pernah kita duga sebelumnya, jika ada kemauan keras untuk melewati ujian ini. Ya, kuncinya tinggal pada kemauan. Dan, jangan lupa, Tuhan amat sayang pada hamba-hamba-Nya yang masih punya kemauan.***
*SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 06/Th.I/Mei 2007


Seribu Tahun Lagi………….

Apakah waktu / seperti yang kita angankan pada jarum jam / seperti yang ditunggu orang tua dan kereta berjalan (Menaksir Waktu, 1996)
Sepeninggal sahabat Zainal Arifin Thoha, teman saya --penyair Abdul Azis Sukarno-- menulis puisi yang bertutur “maut adalah sebuah antrian” (Minggu Pagi, No.01/Th. 60/ April 2007). Mungkin Aziz benar. Atau sedang melihat dari sudut tertentu. Tapi mungkin juga ia alpa: maut (baca: mati) bukanlah sebuah akhir dari hidup. Sebab, hidup dijalani bukan sekedar untuk antri mati.
Semisal orang membaca buku, lembar demi lembar ia baca, bukan sekedar menuju halaman terakhir lalu tamat. Pertanyaannya: ketika buku ditutup, apa ia paham isinya? Ada yang tak paham . Ada yang paham setelah selesai membaca hingga titik akhir. Namun, bagi yang bernaung di lauh al-mahfud, bisa saja paham saat baru menyimak separoh isi buku.
Analogi tersebut mendasari “definisi mati” yang tigabelas tahun lalu saya terima dari seorang pakar filsafat Timur. Terang, ilmu ini mengusik saya --dimanapun berada. Hingga menyeret pada sebuah pertanyaan tentang waktu. Saat itu saya memang belum paham terminologi zeitgeist (roh waktu). Meski begitu, penggalan puisi di atas, jelas mengarah pada terminologi zeitgeist.
Puisi tersebut saya tulis di Tawangmangu pada Ospek Fakultas Ilmu Sosial-Politik UNS Solo, dimana saya terlibat kepanitiaan. Saat menyimak jalannya Ospek itulah, terutama ketika sesama teman senior memberi “wejangan” pada mahasiswa baru, di lubuk hati saya terngiang sebuah tanya: “Apa hak mereka memlonco? Karena lebih senior?
Lamanya waktu tak menjamin seseorang lebih mutu memberi “kesaksian” atas hidup. Si A dan Si B yang penumpang kereta dari Kediri menuju Padalarang belum tentu memiliki kesamaan kualitas “kesaksian”perjalanan. Bisa jadi Si C yang berangkat dari Kediri namun turun di Wates justru lebih berbobot kesaksiannya. Tergantung intensitas mereka menggauli hidup, untuk ditarik ke garis ilahiah, dan memberi dampak pada sesama.
Memang di dalam kematian batas ditancapkan. Namun “batas” tersebut adalah ranah dimana manusia berpeluang memberi kesaksian atas hidup. Dan “kesaksian” (syahid) paling konkret membekas, kata para arifin, ada tiga hal: amal (jariyah), ilmu (manfaat) dan anak (saleh). Itulah kesaksian yang tak kan pernah “mati”.
Maka, sungguh cerdas ketika meninggal pada usia muda Chairil Anwar menulis larik sajak: Aku ingin hidup seribu tahun lagi. Chairil sadar, juga sahabat Zainal dan mereka yang mati muda lainnya: yang hidup bukanlah raganya, namun karya-karyanya --kesaksiannya.***
*SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 05/Th.I/April 2007


Ghaib

Ada baiknya kita ingat Parmin. Ia memang bukan tokoh penting. Tapi di malam itu (sekitar sepuluh tahun lalu), di sebuah wartel yang sesak orang antri ingin menelpon, ia berjuang keras “melawan” kemauan “ruh”-nya.
“Cepat dong, katakan!”
“Emm.... apa harus malam ini..?”
“Ya, harus ….!!!!!!!!!”
Parmin gagal mengucapkan. Juga esok harinya, saat bertemu Siti di kampus. Meski belum mengucapkan, sejatinya ia telah menyatakan sikapnya pada Siti. Dan inilah keyakinan Parmin: cinta itu bukan sederet kata dan rayuan manis, tapi sebuah sikap. Sikap yang dilandasi hubungan intens antar “ruh”. Apakah ruh itu?
Menurut kitab suci, pengetahuan manusia tentang ruh serba terbatas –sedikit. Mungkin bisa ditafsirkan: definisi ruh tak perlu diperdebatkan. Sebab ruh itu urusan Tuhan (Ar-ruhu min amri Rabbi). Cukup manusia menjaga dengan sikap, dengan tindakan, yang merupakan manifestasi dari vibrasi ruh. Dan inilah cinta!
Cinta itu tak ada habisnya jika (hanya) dibicarakan, tapi sungguh sangat simpel bin nikmat jika dilaksanakan. Demikian seloroh seorang teman. Ia tidak salah. Sebab, mendebatkan hubungan antar ruh adalah muskil. Itu wilayah ghaib: domain yang sejatinya “tak tersentuh kata”. Ingat saat Kanjeng Nabi mi’raj? Di “langit kesatu sampai enam” beliau masih bisa berdialog dengan malaikat. Tapi, begitu menghadap Allah di langit ke tujuh (sidratul muntaha), “pertemuannya” tersebut tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Mengobral cinta dengan kata bukanlah tindakan bijak. Kecuali bagi seorang penyair. Itupun tidak untuk tujuan “mendebatkan” cinta, namun untuk menghaluskan rasa. “Alusing rasa bakal ngadohke tumindak dur-angkara”, kata teman kos saya di Solo, tahun 1997. Tapi saya menyanggah: “Bukankah penguasa kita juga berperangai halus, suka ngumbar senyum di hadapan petani pada acara klompencapir, mengapa banyak teman kita demonstran diculik?”
“Halusnya rasa tak (hanya) identik dengan senyum, Dab! Tapi, bertindak sesuai kata hati”, jawab teman tadi. Saya pun tertegun, dan kembali teringat Parmin, yang beberapa waktu lalu ditanya istrinya.
“Mas, katanya sampeyan itu penyair, kok tak bisa romantis…?”
Cukup lama Parmin merenungkan pertanyaan isterinya. Sampai pada suatu kesimpulan: “Dik, mungkin aku ini bukan tipe penyair yang suka tebar pesona………….”
*SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 03/Th.I/Februari 2007


Taman Anggur

Setiap Januari adalah memulai. Tapi, benarkah kita memulai hanya ketika Januari tiba, ketika pagi datang, saat matahari terbit di ufuk Timur?
Pergantian tahun 2006 ke 2007 ditandai peristiwa memilukan. Bencana alam dan kecelakaan. Banjir melanda Aceh dan Sumatera Utara. Sepertinya derita akibat tsunami 2 tahun lalu itu belumlah cukup bagi saudara kita di tanah rencong. Kecelakaan laut dan udara, tak sekedar sebuah kabar duka. Dan bencana lain, dan kecelakaan lain: memaksa kita berkerut kening menelusuri makna.
Dari sini seakan terbersit sebuah pesan: memulai itu tidak dari hal-hal menggembirakan. Setidaknya, ia menyimpan misteri. Memulai adalah sebuah misteri. Meskipun telah berbekal optimisme, lubuk hati kita acapkali masih bertanya: what next? Antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein), terus bergulat menghantui benak kita. Ada jarak yang misterius antara memulai (awal) dan mengakhiri (akhir).
Ketika di pagi subuh sebelum shalat Idul Adha Saddam Husein menjemput maut di tali gantungan, misteri menyelimuti dirinya --dan rakyat Irak: ini awal ataukah akhir? Mungkin seperti ketika Saddam mulai karir politiknya dengan kudeta atas Jenderal Qassim (1960), lalu mengobarkan revolusi atas Presiden Abdul Rahman (1968), dan melucuti kekuasaan sepupunya, Presiden Ahmad Hassan al-Bakr (1979). Dibalik tekad kuatnya, dan gemuruh pendukungnya, gelar “Singa Babilon” masihlah misteri.
Saddam tak sendirian. Mereka yang akhir November lalu barangkat haji, segulung misteri bersanding bercengkrama dengan keimanannya. Apakah ia membayangkan akan kelaparan hanya karena menejemen katering yang tak becus? Para petani yang menancapkan benihnya, belum tahu akan panen dengan harga gabah tinggi atau dihempas oleh ganasnya tikus dan wereng
Waktu terus membentang menyilahkan dilalui, meski awal dan akhir ada-lah misteri. Saat kita menyobek kalender, mengganti dengan tanggal dan hari baru, tak bisa memastikan itu awal atau akhir.
Maka berbahagialah bagi mereka yang telah berada dalam “maqam matahari”. Ia tak mengenal awal dan akhir. Baginya, awal atau akhir, siang atau malam, selalu “byar”. Ia, memang, masih menggegam msiteri, tapi dalam berkarya ia selalu dalam perspektif “sekarang”. Kesempatan adalah saat ini juga! Tak ada kata besok. Awal akhir adalah dialektika yang terus berkelindan. Ia terus berdendang sebagaimana Muhammad Iqbal : “Kau ciptakan tanah liat, dan aku membuatnya piala. Kau ciptakan gunung, hutan, dan rawa-rawa, lalu kubuat taman anggur.”
Kini, bentangan alam gagal kita sulap menjadi taman anggur. Justru semakin hari bumi ini (seperti judul buku cerkak-nya Akhir Lusono) semakin “ajur”. Dan, bagi siapapun yang hendak membangunnya, ia harus memulai dengan hal-hal yang tak menggembirakan. Beranikah kita berkata: “Siapa takut?!?!”
*SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 02/Th.I/Januari 2007


Optimisme

“Matahari selalu baru, setiap pagi”, demikian Herakleitos, 400 tahun sebe-lum Masehi menggelorakan optimisme. Tapi optimisme Herakleitos bukan tanpa dasar. Ia punya pendirian, punya falsafah: Pantha rhei Khei uden menci.
Dengan falsafah itu ia pantang mengalami kejadian yang sama pada waktu yang berbeda. Sebab, segalanya “mengalir”. Hakekat sesuatu adalah “proses menjadi”. Karena itu, kita harus mampu memberi makna baru terhadap setiap “proses menjadi”. Tanpa itu, kita telah mengigkari fitrah.
Memang matahari yang kita lihat pagi ini, adalah matahari yang kemarin sore tenggelam di ujung cakrawala. Tak ada yang baru, dari sisi matahari -- Ia selalu “byar”. Yang baru adalah peristiwa yang menyertai. Itupun dengan catatan manusia mampu memberi makna. Jika tidak, manusia tak lagi otonom atas alam dan peristiwa yang menyertai. Ia hanya menjadi “mesin” atas peristiwa-peristiwa.
Kita tentu tak ingin eksis sekedar sebagai “mesin”. Karena sebagus-bagus-nya atau secanggih-canggihnya mesin, ia tak berhak menentukan kehendak. Tak berhak memberi makna baru terhadap setiap kejadian, terhadap pergan-tian hari, bulan dan tahun. Tugas kemanusiaan untuk memberi makna baru terhadap setiap kejadian itulah yang menjadi dasar dan mendorong semangat optimisme.
Tentu ada kendala menghadang, banyak kesulitan membelit. Tapi, mungkin kita telah hafal dengan pesan bijak ini: “Si optimis selalu melihat peluang di dalam kesulitan”. Sementara, “Si pesimis selalu melihat kesulitan dam setiap peluang”. Dari pesan bijak itu, satu hal pasti: bahwa “peluang” maupun “kesulitan” itu sama-sama ada. Tinggal bagaimana cara kita melihat dan menyikapi.
Melihat peluang dalam setiap kesulitan akan menjadi energi untuk sebuah perubahan, mendorong kita untuk meraih, aktif, dan berhasil. Sedang, melihat kesulitan dalam setiap peluang, adalah hantu yang menelikung, membuat kita takut, pasif dan gagal. Kita tinggal pilih yang mana?
Setiap pilihan pasti mengandung resiko. Hidup adalah sebuah resiko itu sendiri, kata seorang teman. Dan menurut ilmu psikologi, orang berprestasi (berbakat sukses) bisanya cenderung mengambil resiko yang sedang. Hal ini, pada hemat saya, tak berarti kita mesti bersikap optimisme secara tanggung atau sedang-sedang saja.
Tapi, optimisme yang kenyal. Buat apa terlalu menggelora dan menggebu-nggebu, kalau pada akhirnya (maaf, silahkan membayangkan kalau anda orgasme) lemah-lunglai? Karena itu, setelah mendengar adzan subuh, kita tak boleh langsung lari pagi. Ambil air wudlu lalu sujud. Setelah itu, song-songlah terbit fajar dengan memberi makna baru pada matahari pagi. Selamat Tahun Baru 2007.***
*SUMBER: buletin sastra LONTAR edisi 01/Th.I/Desember 2006

1 komentar:

anjar mengatakan...

Mas, blog mu terlalu banyak tulisan. bikin pembaca puyeng. nanti jadinya benar2 mark byar pet tenan.

mending dibuat folder sendiri. misal, CV, contoh tulisan, karya2, dll. jadi di di hal home lebih enak dibaca. jadi biar tidak byar oet mocone.